Penertiban Kawasan Hutan Diminta Utamakan Kepastian Hukum dan Data Valid

Penertiban Kawasan Hutan Diminta Utamakan Kepastian Hukum dan Data Valid

Ekonomi | sindonews | Senin, 28 April 2025 - 17:15
share

Pakar hukum kehutanan Dr. Sadino menekankan pentingnya penertiban kawasan hutan yang mengedepankan kepastian hukum, keadilan, serta penggunaan data yang akurat. Ia menyoroti pentingnya perlindungan terhadap Hak Guna Usaha (HGU) yang sah dalam proses penataan kawasan hutan, terutama yang berkaitan dengan lahan perkebunan sawit.

Sadino menyatakan bahwa HGU yang telah ditetapkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tidak bisa dibatalkan secara sepihak tanpa putusan pengadilan.

"HGU merupakan keputusan resmi menteri, dan tidak bisa dievaluasi atau dibatalkan setelah lebih dari empat tahun kecuali ada putusan pengadilan, sesuai asas presumption iustae causa," kata Sadino dalam keterangannya, Senin (28/4).

Asas tersebut mengacu pada prinsip hukum bahwa setiap keputusan negara dianggap sah hingga ada pembatalan melalui proses peradilan yang berkekuatan hukum tetap. Sebelumnya, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan bahwa dirinya mendapat mandat dari Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan penataan dan pemetaan pertanahan secara menyeluruh. Nusron menyebut proses ini harus dilakukan dengan prinsip pemerataan, keadilan, dan keberlanjutan ekonomi.

Dalam Surat Edaran Sekjen ATR/BPN Nomor 9/SE.HT.01/VII/2024 tanggal 12 Juli 2024, disebutkan bahwa terdapat 126 perusahaan di Riau yang telah mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) namun belum memiliki HGU. Nusron meminta agar dilakukan identifikasi terhadap posisi lahan tersebut, apakah berada di dalam atau di luar kawasan hutan.

"Harus dipilah mana HGU yang terbit lebih dulu dari peta kawasan hutan, dan mana yang setelahnya. Dalam kerja sama dengan Kementerian Kehutanan, HGU yang lebih dulu terbit akan diakui," ujar Nusron.

Sadino mendukung pendekatan tersebut dan menegaskan bahwa sesuai UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan yang memiliki kepastian hukum adalah yang telah melalui tahapan pengukuhan hingga penetapan.

Ia mengingatkan agar Satgas Penertiban Kawasan Hutan bekerja berdasarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2025 serta mengacu pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku, agar tidak menimbulkan konflik hukum berkepanjangan.

Terkait klaim kawasan hutan yang tumpang tindih dengan lahan HGU, Sadino menegaskan bahwa hak-hak pihak ketiga harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum penetapan kawasan dilakukan. Jika tidak, maka penetapan tersebut dapat dianggap cacat hukum dan digugat.

Dia merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-2011 yang mewajibkan pemerintah untuk melakukan enclave atau pengeluaran kawasan terhadap hak-hak masyarakat seperti HGU, SHM, dan HGB yang terdampak klaim kawasan hutan.

"Jika lahan HGU disita atau disegel, negara wajib memberikan kompensasi. HGU adalah hak konstitusional yang tidak bisa diambil begitu saja," tegasnya.

Sadino juga mengingatkan agar proses penertiban tidak mengganggu industri kelapa sawit nasional. Ia menilai verifikasi status lahan harus mempertimbangkan hukum pada saat perolehan, termasuk aspek lokasi (locus) dan waktu (tempus).

"Meskipun diklaim sebagai kawasan hutan, jika ada penguasaan oleh pihak lain seperti hak adat, tetap ada kewajiban ganti rugi," tambahnya.

Sadino mendorong agar data yang digunakan dalam penertiban benar-benar valid dan mencakup perizinan dari daerah, bukan hanya mengacu pada data Kementerian Kehutanan.

"Status kawasan harus dilihat secara cermat. Apakah masih berupa penunjukan, penataan batas, atau sudah ditetapkan secara hukum, sesuai Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011," pungkasnya.

Topik Menarik