Pengamat Undiknas Bali: Larangan Air Minum Kemasan Ukuran Kecil Perlu Kajian Mendalam

Pengamat Undiknas Bali: Larangan Air Minum Kemasan Ukuran Kecil Perlu Kajian Mendalam

Nasional | sindonews | Selasa, 22 April 2025 - 08:46
share

Surat Edaran (SE) Pemprov Bali yang melarang produksi dan distribusi air minum kemasan plastik sekali pakai di bawah satu liter perlu dilakukan kajian mendalam. Hal ini untuk mencegah terjadinya kontroversi di masyarakat yang akhirnya membuat kebijakan itu menjadi tidak efektif saat diterapkan. Hal itu disampaikan akademisi dan pengamat kebijakan publik dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Bali I Nyoman Subanda. Dia mengaku setuju dengan gagasan Gubernur Bali untuk mengurangi sampah plastik.

“Saya setuju dengan gagasan Gubernur Bali I Wayan Koster untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai di Bali. Cuma permasalahannya, kebijakan itu kan perlu dikaji lebih jauh lagi apakah sampah seperti kemasan air minum ukuran kecil itu yang memang benar-benar paling berat atau malah ada sampah plastik lainnya seperti kresek dan sachet,” ujarnya, Selasa (22/4/2025).

Dosen Tetap Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Undiknas Denpasar ini menilai, permasalahannya itu perlu dikaji lagi lebih jauh. Karena, dalam membuat sebuah kebijakan itu tidak boleh dilakukan secara terburu-buru. Kemudian, sebuah kebijakan itu bisa terimplementasi secara efektif apabila ada sumber daya dan sumber dana yang mendukung.

“Yang lain adalah adanya komunikasi yang didahului dengan komunikasi awal yang kita sebut dengan sosialisasi,” tuturnya. Selain itu, di dalam kebijakan itu juga harus ada semacam kelayakan dan struktur birokrasi yang linier. Artinya, birokrasi provinsi harus juga didukung kabupaten/kota sampai dengan desa. “Kebijakan provinsi itu tidak akan efektif jika tidak didukung aparat desa atau dusun daerahnya,” tuturnya.

Seperti diketahui, SE Gubernur Koster yang meniadakan air minum kemasan di bawah satu liter itu masih memunculkan beban baru bagi masyarakat adat ketika melaksanakan kegiatan adat yang melibatkan warga banjar. Karena, baik dari kegiatan di Pura, Pitra Yadnya atau manusia Yadnya, semua membutuhkan air kemasan plastik sekali pakai ukuran kecil dalam jumlah besar. Karena, keberadaan air kemasan ukuran kecil itu dianggap sangat simple saat menjalankan kegiatan adat di Bali. “Itu artinya, kebijakan Pemprov masih belum linier dengan masyarakat desa,” ungkapnya. Pemprov Bali juga harus memiliki sumber dana yang cukup saat menjalankan kebijakannya itu. Tujuannya, sebagai dana kompensasi yang harus dibayarkan kepada pihak-pihak yang dirugikan oleh kebijakan tersebut. Termasuk para pengusahanya, menurut dia, harus ada kajian terhadap berapa besar kerugiannya dengan adanya kebijakan itu.

”Itu penting dinegosiasikan dengan mereka. Bagi pengusaha yang dirugikan penting melakukan negosiasi itu, karena mereka kan bukan hidup untuk dirinya sendiri, tapi juga menghidupi para karyawan. Itu kan harus ada kompensasi pemerintah terhadap itu? Jadi, tidak bisa Pemprov itu seenaknya memaksakan kebijakannya itu wajib harus dijalankan dan disetujui. Jadi, harus ada kajiannya dan solusinya bagi pihak-pihak yang dirugikan,” katanya. Begitu juga terhadap kantor-kantor, perhotelan dan restoran-restoran, menurut Subanda, Pemprov Bali dalam hal ini Gubernur Bali juga harus memikirkan juga solusi dari dampak kebijakan yang dibuat itu. Kalau hanya disediakan beberapa air galon guna ulang saja, menurutnya, itu akan membuat banyak masyarakat yang akhirnya tidak bisa minum. “Begitui juga dengan gelas-gelas minumnya, apakah Pemprov bisa mengawasi gelas-gelas itu memiliki standar kesehatan yang baik atau bukan. Hal-hal seperti ini juga harus masuk dalam kajian sebelum membuat surat edaran itu,” ucapnya. Pemprov Bali juga harus memikirkan nasib dari ekonomi masyarakat di Bali, terutama yang menggantungkan kelangsungan hidupnya dari berjualan air minum kemasan ukuran kecil itu. “Mereka-mereka ini pasti akan kehilangan nafkahnya. Nah, apakah Pemprov juga sudah memikirkan jalan keluarnya saat kebijakan itu diterapkan nanti,” katanya. Dia mengatakan semua dampak-dampak yang disebabkan dari kebijakan yang dilakukan Pemprov Bali ini tidak akan bisa terpecahkan jika tidak dilakukan kajian-kajian terlebih dulu. “Dan diskusinya nggak bisa di pemerintah saja karena menyangkut paradigma baru yang disebut New Public Service dalam kebijakan itu. Jadi, semua pihak-pihak terkait harus diajak berdiskusi, diajak mikir dan ketika merumuskan kebijakan itu pun harus dilibatkan,” tukasnya.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra Kardaya Warnika juga menyambut positif kebijakan pengurangan sampah plastik yang dilakukan Pemprov Bali. Tapi, dia juga menyarankan agar Pemprov bersedia untuk merembukkannya kembali jika masih ada mekanisme-mekanisme yang belum pas di masyarakat. “Mungkin bisa dirembukkan, diatur kembali sehingga sesuai dengan mekanisme yang pas,” ujarnya. Dia juga berharap pembenahan sampah plastik sekali pakai di Bali ini tidak hanya sebatas untuk air minum kemasan saja, tapi juga untuk semua jenis plastik sekali pakai termasuk sampah sachet.

Topik Menarik