Target Penerimaan Meleset, Efisiensi Wajib

Target Penerimaan Meleset, Efisiensi Wajib

Nasional | sindonews | Senin, 13 Januari 2025 - 06:33
share

Candra Fajri Ananda. Staf Khusus Menkeu RI

PENERIMAAN negara merupakan salah satu komponen vital dalam mendukung pembangunan dan stabilitas ekonomi nasional. Setiap tahunnya, pemerintah menetapkan target pendapatan yang harus dicapai melalui berbagai sektor, seperti pajak, cukai, bea masuk/keluar, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Target ini bertujuan untuk memastikan bahwa kebutuhan pembiayaan negara, termasuk untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan berbagai program sosial lainnya, dapat terpenuhi. Sayangnya, pencapaian target tersebut sering kali menghadapi tantangan yang memengaruhi stabilitas fiskal negara. Faktor-faktor seperti kondisi ekonomi global, dinamika perdagangan internasional, serta tingkat kepatuhan wajib pajak turut memengaruhi kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pendapatan yang telah ditargetkan.

Sepanjang tahun 2024, perekonomian global bergerak sangat dinamis, terutama dipengaruhi Elnino, meningkatnya tensi geopolitik, perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, dinamika USA, pelemahan Eropa, pemilu di lebih dari 70 negara. Kondisi tersebut memicu fragmentasi, proteksionisme, terganggunya rantai pasok, voltilitas harga komoditas, tekanan terhadap inflasi, nilai tukar dan suku bunga serta stagnasi pertumbuhan ekonomi global.

Bayang-bayang gelap ekonomi dunia kian diperparah tatkala ketidakpastian arah kebijakan moneter global masih tetap tinggi, meski tekanan inflasi mereda dan suku bunga global mulai menurun. Alhasil, situasi tersebut mutlak memicu kerentanan rantai pasok dan gejolak pasar keuangan, terutama menimbulkan tekanan nilai tukar dan suku bunga di pasar negara berkembang. Meski demikian – di tengah ketidakpastian global – perekonomian Indonesia pada tahun 2024 tetap resilien, dengan pertumbuhan ekonomi tetap kuat, inflasi yang terkendali, surplus neraca perdagangan, serta tekanan nilai tukar dan suku bunga yang relatif moderat dibanding negara lain.

Pada perkembangannya, target penerimaan pajak, cukai, bea masuk/keluar, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Tahun 2024 yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak sepenuhnya tercapai. Meski pendapatan negara mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 2,1 dengan total realisasi Rp2.842,5 triliun, capaian tersebut masih berada di bawah ekspektasi.

Penerimaan perpajakan yang mencapai Rp2.232,7 triliun dan tumbuh 3,6 secara tahunan – tak lepas dari tantangan – khususnya dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang mengalami penurunan akibat merosotnya profitabilitas sektor pertambangan batu bara dan industri kelapa sawit karena moderasi harga komoditas. Di sisi lain, penerimaan dari sektor kepabeanan dan cukai hanya mampu mencatatkan angka Rp300,2 triliun atau tumbuh 4,9 dibandingkan tahun sebelumnya.

Peningkatan ini didorong oleh aktivitas ekspor-impor, namun masih diwarnai oleh fenomena "downtrading" pada konsumsi hasil tembakau. Pun meski penerimaan dari bea keluar menunjukkan tren positif, namun bea masuk justru mengalami tekanan akibat pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) yang mengurangi tarif efektif. Begitu juga realisasi PNBP tahun 2024 yang tercatat mencapai Rp579,5 triliun atau 117,8 dari target APBN, namun masih menunjukkan tren kontraksi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Artinya, meskipun penerimaan negara tumbuh positif, tantangan ekonomi global yang penuh ketidakpastian membuat capaian tersebut belum optimal.

Tantangan Ekonomi 2025

Tahun 2025 diproyeksikan akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi pemerintah dalam mengamankan pendapatan negara, terutama di tengah berbagai faktor eksternal yang dapat memengaruhi kinerja ekonomi nasional. Pasalnya, di tahun 2025, situasi ekonomi global yang tidak menentu diperkirakan akan memberikan tantangan besar bagi pencapaian penerimaan negara Indonesia.

Ketidakpastian geopolitik, perlambatan ekonomi di negara mitra dagang utama seperti Tiongkok, serta fluktuasi harga komoditas seperti minyak dan batu bara menjadi faktor yang memengaruhi prospek ekonomi domestik. Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan stagnan di angka 2,8 pada tahun 2025, sebagaimana proyeksi di tahun sebelumnya. Kondisi ini mencerminkan bahwa masih terdapat tantangan struktural yang berkelanjutan, seperti investasi yang lemah, pertumbuhan produktivitas yang lambat, tingkat utang yang tinggi, dan tekanan demografi. Tak hanya itu, Dana Moneter Internasional (IMF) juga telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2025 menjadi 3,2, menandakan adanya peningkatan risiko dari konflik hingga proteksionisme perdagangan.

Saat ini, pemerintah Indonesia telah menetapkan target pendapatan negara sebesar Rp2.996,9 triliun untuk tahun 2025. Target ini terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp505,4 triliun. Akan tetapi, dengan situasi ekonomi global yang diprediksi stagnan, terdapat kekhawatiran bahwa target tersebut mungkin sulit untuk direalisasikan.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang masih lemah, terutama di negara mitra dagang utama seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, dapat berdampak pada aktivitas perdagangan dan investasi di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam mengamankan sumber-sumber penerimaan negara.

Kinerja sektor ekspor dan investasi yang selama ini menjadi andalan penerimaan negara diperkirakan akan mengalami tekanan akibat perlambatan ekonomi global. Ketergantungan Indonesia pada pasar komoditas dunia, seperti batu bara, minyak sawit, dan gas alam, membuat pendapatan negara sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas. Penurunan harga komoditas ini dapat memengaruhi pendapatan dari sektor pertambangan dan perkebunan yang selama ini menjadi salah satu kontributor utama PNBP.

Begitu juga fluktuasi harga komoditas yang terus terjadi dan ketidakpastian pasar global juga memicu tantangan dalam menjaga stabilitas ekonomi domestik. Ketidakpastian kebijakan moneter di negara maju, konflik geopolitik, dan proteksionisme perdagangan dapat memengaruhi arus investasi asing ke Indonesia. Investasi yang melambat dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga berdampak pada kemampuan pemerintah dalam mencapai target pendapatan negara.

Sinergi Kebijakan Fiskal

Sebagai upaya memperkuat stabilitas fiskal dan meningkatkan penerimaan negara, diperlukan reformasi yang komprehensif pada sektor perpajakan. Salah satu langkah strategis yang harus dilakukan adalah memperluas basis pajak dengan mengidentifikasi objek pajak baru serta mengintegrasikan sistem perpajakan secara digital. Integrasi sistem ini bertujuan untuk menekan biaya pemungutan pajak atau collection cost, termasuk menggali pajak di semua sektor lebih optimal sehingga pendapatan negara dapat dikoleksi lebih efisien dan transparan. Reformasi sistem perpajakan yang modern dan transparan ini juga diharapkan akan memudahkan pengawasan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Selain reformasi pada penerimaan, pemerintah juga perlu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Bertambahnya pelaku usaha akan memperluas potensi penerimaan pajak, terutama dari sektor UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Demi mencapai hal ini, kebijakan yang mendukung digitalisasi usaha, penyederhanaan perizinan, serta akses pembiayaan yang lebih mudah bagi pelaku usaha baru sangat diperlukan. Dengan semakin banyaknya entitas bisnis yang muncul, potensi pajak dari sektor perdagangan, industri kreatif, dan teknologi juga akan meningkat secara signifikan.

Di samping itu, berbagai program yang diusung oleh Presiden Prabowo – yang menekankan keberpihakan pada Masyarakat – juga menjadi faktor kunci dalam mempercepat pencapaian efisiensi ekonomi dan fiskal. Fokus pada pengurangan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, dan pemerataan pembangunan harus dilakukan dengan kebijakan yang tepat sasaran dan transparan.

Penting bahwa berbagai program tersebut juga harus diiringi dengan pemberantasan korupsi secara menyeluruh, mengingat korupsi menjadi salah satu penyebab utama kebocoran anggaran negara. Upaya ini akan menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sekaligus memperkuat pondasi fiskal negara. Artinya, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan mampu menutup celah potensi kebocoran anggaran negara.

Pada konteks pengelolaan belanja negara, efisiensi harus menjadi prioritas utama. Belanja negara yang tidak produktif dan tidak memberikan dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat perlu dikurangi. Pemerintah harus melakukan evaluasi secara berkala terhadap alokasi anggaran untuk memastikan bahwa belanja yang dilakukan benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Optimalisasi belanja negara ini akan membantu pemerintah menjaga defisit anggaran dalam batas yang aman serta meningkatkan ruang fiskal untuk mendanai program prioritas.

Sinergi antara reformasi penerimaan, pertumbuhan ekonomi, dan efisiensi belanja negara menjadi kunci untuk memperkuat perekonomian Indonesia. Pemerintah diharapkan dapat menerapkan kebijakan yang pro-rakyat sekaligus mampu menjaga stabilitas fiskal. Melalui langkah-langkah tersebut, Indonesia tidak hanya mampu meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Upaya ini sangat memerlukan komitmen yang kuat dari seluruh elemen pemerintah serta partisipasi aktif dari masyarakat untuk menciptakan ekosistem ekonomi yang sehat dan berdaya saing tinggi di era globalisasi. Semoga.

Topik Menarik