Kisah Pencarian Emas Hitam Rempah-rempah Maluku oleh Portugis Berujung Perang dengan Sultan Baabullah
Demi mencari emas hitam berupa rempah-rempah, Portugis mengirim armada dari Malaka ke wilayah Maluku. Pemimpin armada Portugis, Alfonso de Albuquerque meminta pasukannya untuk merebut daerah-daerah rempah-rempah yang dilakukan pada tahun 1512.
Armada Portugis dikirim tiga keli ke Maluku yang dipimpin oleh Antonio de Abreu. Tapi sayang dari tiga armada itu, konon satu armada kapal yang memuat perbekalan karam di daerah Madura karena cuaca buruk.
Hal ini dianggap sempat menyulitkan Portugis dalam urusan logistik, untuk mencari rempah-rempah.
Apalagi tujuan utama ekspedisi ke Maluku itu untuk membangun monopoli Portugis atas perdagangan cengkih. Armada itu pertama-tama tiba di kepulauan Banda, yaitu pusat produksi pala dan fuli atau bunga pala.
Setelah satu kapal layar lagi tenggelam, sisa armada itu tiba di Ternate pada tahun itu juga.
Susah payah pasukan Portugis akhirnya tiba di Ternate pada ekspedisi pertamanya. Portugis dikutip dari buku "Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia, akhirnya menjalin hubungan dengan Sultan Aby Lais, sang Sultan Ternate.
Selanjutnya Sultan Ternate itu berjanji akan menyediakan cengkih bagi Portugis setiap tahun, dengan syarat dibangunnya sebuah benteng di Pulau Ternate.
Ia malah mengirim sebuah surat kepada Raja Dom Manuel dari Portugal dan kepada Kapitan Malaka dengan permintaan yang sama.
Awalnya hubungan Portugis dengan Sultan Ternate dirintis oleh Antonio de Brito, cukup bagus. Hubungannya dengan Sultan Ternate yang masih kanak-kanak, Kaicili Abu Hayat, dan pengasuhnya Kaicili Darwis, berlangsung sangat baik.
Pihak Ternate tanpa ragu mengizinkan De Brito membangun benteng pertama Portugis di Pulau Ternate, bernama Sao Joao Bautista atau Nossa Seighora de Rossario pada tahun 1522.
Penduduk Ternate menggunakan istilah "Kastela" untuk benteng itu, bahkan kemudian benteng itu lebih dikenal dengan nama Gamalama.
Sejak tahun 1522 hingga tahun 1570 terjalin suatu hubungan dagang atau cengkih, ntara Portugis dan Ternate. Sudah tentu tidak jarang terjadi konflik antara para penguasa Ternate dan pihak Portugis yang senantiasa mencoba mendominasi Ternate
Tidak lama setelah orang Portugis mempunyai hubungan tetap dengan Ternate, orang Spanyol yang telah menguasai Manila tiba pula di Maluku dan membuat persekutuan dengan Kerajaan Tidore untuk kepentingan perdagangan cengkih.
Akibat kehadiran kedua kekuasaan Barat itu di Maluku, dualisme antara Ternate dan Tidore yang senantiasa telah ada di sana makin meningkat tajam dan tidak jarang disertai peperangan.
Sebaliknya, Sultan Tidore juga mengizinkan Spanyol membangun sebuah benteng di Pulau Tidore. Konflik yang sering terjadi antara Portugis dan Sultan Ternate itu akhirnya meluas menjadi peperangan yang besar.
Awal peperangan itu adalah pembunuhan Sultan Khairun yang memerintah 1537-1570 yang dikhianati oleh seorang prajurit Portugis di Benteng Gamalama.
Pengkhianatan dari pihak Portugis itu membangkitkan perlawanan Sultan Baabullah (1570-1584), putra Khairun. Baabulah mengepung benteng Portugis tersebut selama lima tahun.
Selain itu, Baabullah juga berhasil mengerahkan daerah-daerah lainnya di Maluku (kecuali Tidore) untuk melawan Portugis.
Wilayah-wilayah yang melawannya, seperti Bacan, dihancurkannya. Berkali-kali ia mengirim armada-armada kora-kora Ternate ke kepulauan Ambon untuk menyerang desa-desa yang penduduknya telah beragama Kristen Katolik.
Benteng Gamalama dikepungnya secara ketat, sehingga tidak seorang Portugis pun dapat memasuki atau meninggalkannya.
Sejak pemerintahan Baabullah, Ternate menjadi pusat perdagangan yang paling ramai di Maluku. Hak monopoli Portugis dihapus, dan Ternate dijadikan pelabuhan bebas.
Para pedagang Cina, Jawa, Melayu, dan lainnya, dengan bebas berdagang di Ternate. Sementara itu, benteng Gamalama yang dikepung rapat sejak tahun 1570 itu menyebabkan penghuni benteng kekurangan makanan serta berjangkitnya penyakit.