Sejumlah Pejabat China Terjerat Skandal Keuangan, Sektor Perbankan Terguncang
Sektor perbankan China menghadapi krisis kredibilitas karena serangkaian skandal keuangan besar telah mengguncang fondasinya.
Kasus terbaru melibatkankasus Liu Liange, mantan Direktur Bank of China, yang dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan hukuman dua tahun atas korupsi dan penerbitan pinjaman ilegal. Pengadilan Kota Jinan menyatakan bahwa Liu telah menerima suap dengan total lebih dari USD16,8 juta.
Mengutip dari Daily Mirror , Kamis (5/12/2024), sejumlah peristiwa itu menyoroti tren korupsi sistemik yang melibatkan pejabat senior China, yang mengungkap kerentanan mendalam dalam sistem keuangan di negara tersebut. Sektor perbankan China yang dulunya merupakan simbol kekuatan finansial negara, kini kehilangan rasa hormat di mata publik.
Sejak beberapa tahun terakhir, beberapa eksekutif puncak di China telah terlibat dalam korupsi, yang mengungkap skala pelanggaran tersebut.
Pada Oktober 2023, Fan Yifei, mantan Wakil Gubernur Bank Rakyat China (Peoples Bank of China), dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan hukuman dua tahun karena menerima suap senilai USD53,3 juta. Kasusnya menyoroti penyalahgunaan kekuasaan di tingkat tertinggi lembaga keuangan China.
Dalam kasus serupa, vonis Liu Liange merupakan bagian dari tren yang lebih luas. Pendahulunya, Tian Huiyu, mantan Presiden China Merchants Bank, dijatuhi hukuman pada bulan Februari atas penyuapan dan perdagangan orang dalam setelah mengumpulkan lebih dari USD68,7 juta dalam bentuk keuntungan ilegal. Tian merupakan sekutu dekat mantan tsar ekonomi China.
Mungkin kasus paling mencolok melibatkan Sun Deshun, mantan Presiden China CITIC Bank, yang dihukum pada bulan November karena menerima suap senilai USD1,37 miliar. Sun menggunakan posisi kepemimpinannya selama lebih dari 16 tahun untuk mendapatkan keuntungan ilegal, yang menggarisbawahi korupsi yang mengakar kuat di sektor tersebut.
Mengikis Kepercayaan Publik
Pada tahun 2020, Cai Guohua, mantan Ketua Hengfeng Bank, dihukum karena penggelapan, penyuapan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Tindakannya membuat salah satu bank saham gabungan utama China tidak stabil, yang mendorong intervensi regulasi.Kasus-kasus tersebut menggambarkan tren korupsi sistemik yang lebih luas, di mana para eksekutif puncak mengeksploitasi koneksi orang dalam untuk menyedot miliaran dolar dari lembaga mereka.
Menurut laporan The Economist , skandal keuangan di China sering terjadi, dengan para manajer tingkat menengah, yang dilabeli sebagai "ngengat, perlahan-lahan menguras sumber daya bank. Sementara para eksekutif tingkat tinggi, yang dijuluki "hantu internal menimbulkan risiko perbankan yang lebih besar.
Sejumlah media bahkan menyebut bank-bank yang lebih kecil di China sebagai "zona bencana antikorupsi" karena maraknya jaringan penipuan, yang telah digambarkan sebagai kasus "sarang" dan "tusuk sate".
Skandal-skandal ini telah mengikis kepercayaan publik terhadap sistem perbankan China. Jutaan nasabah bergantung pada bank untuk menjaga simpanan mereka, tetapi kasus-kasus korupsi telah mengungkap industri yang penuh dengan keserakahan dan salah urus.
Di luar kepercayaan publik, korupsi juga merusak kemampuan sektor keuangan China untuk mengalokasikan sumber daya secara efektif. Penyalahgunaan dana dan pinjaman ilegal mendistorsi prioritas ekonomi, memperburuk risiko, dan memperdalam krisis seperti tantangan utang pemerintah daerah dan properti yang sedang berlangsung di China.
Pembentukan CFC dan NFRA
Pemerintahan Presiden China Xi Jinping telah menghadapi rasa malu yang signifikan karena skandal-skandal ini. Sebagai tanggapan, pemerintah telah mengintensifkan upaya menindak pelanggaran keuangan.Pada November 2023, pemerintahan Xi Jinping membentuk Komisi Keuangan Pusat (CFC), yang dipimpin oleh Perdana Menteri Li Qiang, untuk memperkuat pengawasan atas sektor keuangan senilai USD61 triliun. Tujuan CFC adalah untuk mencegah risiko sistemik dan memperkuat ambisi China untuk menjadi "kekuatan finansial utama.
Selain itu, Administrasi Regulasi Keuangan Nasional (NFRA) didirikan untuk menegakkan peraturan yang lebih ketat. Pada tahun 2024, NFRA mendenda China Construction Bank, Bank of China, dan China CITIC Bank dengan total USD1,37 juta untuk berbagai pelanggaran, yang menyoroti fokus pemerintah untuk mengatasi kelemahan dalam kontrol internal dan manajemen sistem informasi.
Namun, para kritikus berpendapat bahwa tindakan pemerintah China tidak memadai. Mereka berpendapat tindakan hukuman saja tidak cukup untuk mengatasi akar penyebab korupsi. Masalah struktural, seperti kurangnya transparansi dan akuntabilitas, masih belum teratasi.
Penangkapan eksekutif secara sederhana tidak akan mencegah terjadinya pelanggaran di masa mendatang jika kelemahan sistemik masih ada.
Reformasi Struktural
Sebuah laporan penting The Economist membahas tantangan yang sedang berlangsung di sektor perbankan China, dengan mencatat bagaimana investigasi korupsi sering kali mengungkap jaringan penipuan yang luas.Media pemerintah telah memperingatkan bahwa sektor tersebut dipenuhi "ngengat" dan "hantu internal, yang pelanggarannya mengancam stabilitas. Bank-bank yang lebih kecil, khususnya, telah dicap sebagai titik rawan korupsi.
Meski reformasi pemerintahan Xi, seperti pembentukan CFC dan NFRA, merupakan langkah ke arah yang benar, memulihkan kepercayaan publik terhadap sektor perbankan China akan memerlukan lebih dari sekadar tindakan hukuman.
Reformasi struktural yang lebih mendalam, transparansi yang lebih besar, dan kontrol internal yang lebih kuat sangat penting untuk mencegah skandal di masa mendatang dan memastikan stabilitas jangka panjang perbankan China.