Ada Larangan Membukukan Hadis di Era Sahabat tapi Abu Bakar Mengoleksi Ratusan

Ada Larangan Membukukan Hadis di Era Sahabat tapi Abu Bakar Mengoleksi Ratusan

Terkini | sindonews | Minggu, 29 September 2024 - 06:13
share

Cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid atau Cak Nur mengatakan kitab Suci al-Qur'an telah dibukukan dalam sebuah buku terjilid (mushhaf) sejak masa Khalifah Abu Bakar (atas saran Umar bin Khattab) dan diseragamkan oleh Utsman bin Affan untuk seluruh Dunia Islam berdasarkan mushhaf peninggalan pendahulunya itu.

Dalam hal ini Hadis berbeda dari al-Qur'an, karena kodifikasinya yang metodologis (dengan otentifikasi menurut teori al-Syafi'i) baru dimulai sekitar setengah abad setelah Imam Syafi'i sendiri.

Pelopor kodifikasi metodologi itu ialah al-Bukhari (wafat 256 H [870 M]), kemudian disusul oleh Muslim (wafat 261 H [875 M]), Ibn Majah (wafat 273 H [886 M]), Abu Dawud (wafat 275 H [888 M]), al-Turmudzi (wafat 279 H [892 M]) dan, akhirnya, al-Nasa'i (wafat 308 H [916 M]).

"Mereka ini kemudian menghasilkan kodifikasi metodologis Hadis yang selanjutnya dianggap bahan referensi utama di bidang hadis, dan secara keseluruhannya dikenal sebagai al-Kutub al-Sittah (Buku yang Enam)," tulis Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban".

Baca juga: Perkembangan Ilmu Tafsir dan Hadis Masa Dinasti Abbasiyah

Masa yang cukup panjang, yang ditempuh oleh proses pembukuan hadis sehingga menghasilkan dokumentasi yang dianggap final itu --berbeda halnya dengan masalah al-Qur'an-- adalah disebabkan adanya semacam kontroversi mengenai pembukuan hadis ini hampir sejak dari masa Nabi sendiri.

Al-Syaikh Muhammad al-Hudlari Bek dalam bukunya yang terkenal, "Tarikh al-Tasyri al-Islami" (Sejarah Penetapan Hukum Syari'at Islam) menyebutkan adanya delapan kasus tindakan menghambat pencatatan hadis. Lima di antaranya dihubungkan dengan 'Umar, dan tiga lainnya dengan masing-masing Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah ibn Mas'ud.

Hal yang dihubungkan dengan Abu Bakar, Al-Syaikh Muhammad al-Hudlarf Bek dalam "Tarikh al-Tasyri' al-Islami" (Beirut: Dar al-Fikr, 1387 H/1967), menulis begini:

"Bahwa (Abu Bakar) al-Shiddiq mengumpulkan orang banyak setelah wafat Nabi mereka, kemudian berkata, "Kamu semuanya menceritakan banyak hadis dari Rasulullah SAW yang kamu perselisihkan. Padahal manusia sesudahmu lebih banyak lagi perselisihan mereka. Maka janganlah kamu sekalian menceritakan (hadis) sesuatu apa pun dari Rasulullah. Dan jika ada orang bertanya kepada kamu, maka katakanlah, 'Antara kami dan kamu ada Kitab Allah, karena itu halalkanlah yang dihalalkannya dan haramkanlah yang diharamkannya.'"

Baca juga: Pangkal Pertumbuhan Ilmu Fikih: Sudah Berkembang Sejak Zaman Nabi Muhammad SAW

Selain itu, al-Hudlari Bek juga menuturkan adanya lima kasus yang mendorong periwayatan hadis, tiga di antaranya dikaitkan dengan 'Umar dan dua lainnya masing-masing dengan Abu Bakar dan Utsman. Yang dikaitkan dengan Abu Bakar dituturkan demikian:

" ... Seorang wanita tua datang kepada Abu Bakar meminta keputusan mengenai waris. Maka dijawabnya, "Tidak kudapati sesuatu apa pun untukmu dalam Kitab Allah, dan tidak kuketahui bahwa Rasulullah SAW menyebutkan sesuatu apa pun untukmu."

Kemudian dia (Abu Bakar) bertanya kepada orang banyak, maka berdirilah al-Mughirah dan berkata, "Aku dengar Rasulullah SAW memberinya seperenam."

Lalu Abu Bakar bertanya, "Adakah seseorang bersamamu?" Maka Muhammad ibn Maslamah memberi kesaksian tentang hal yang serupa, kemudian Abu Bakar ra pun melaksanakannya.

Baca juga: Ilmu Fikih: Beda Aliran Pikiran Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafii

Sedangkan yang terkait dengan 'Umar dituturkan demikian:

" ... Diriwayatkan bahwa 'Umar berkata kepada Ubay, dan dia ini telah meriwayatkan sebuah hadis untuknya, "Engkau harus memberikan bukti atas yang kau katakan itu!"

Kemudian Umar keluar, ternyata ada sekelompok orang dari golongan Anshar, maka disampaikanlah kepada mereka ini. Mereka menyahut,"Kami benar telah mendengar hal itu dari Rasulullah SAW" Maka kata 'Umar, "Adapun sesungguhnya aku tidaklah hendak menuduhmu, tetapi aku ingin menjadi mantap."

Oleh karena itu, kata Cak Nur, sesungguhnya sejak masa amat dini pertumbuhan umat Islam telah ada catatan-catatan pribadi tentang hadis meskipun belum sistematis.

Disebutkan bahwa Khalifah Abu Bakar sendiri mempunyai koleksi sekitar 400 hadis, dan 'Umar sendiri pernah terpikir untuk membuat rencana besar untuk mengumpulkan semua hadis, sekurang-kurangnya dalam hafalan, yang sering dia bacakan di Masjid Agung Kufah di masa kekhalifahannya.

Baca juga: Ilmu Fikih: Agama yang Paling Disukai Allah adalah Al-Hanifiyyat Al-Samhah

'Abdullah ibn 'Amr ibn al-'Ash juga dilaporkan mengumpulkan banyak hadis atas persetujuan Rasulullah sendiri, dan dituliskan dalam sebuah buku yang diberi nama al-Shahifat al-Shadiqah. Buku ini sempat beredar selama dua abad, kemudian sebagiannya dihimpun dalam Musnad Ibn Hanbal.

Sebelum adanya al-Kutub al-Sittah sebenarnya juga telah ada berbagai koleksi Hadis yang cukup sistematik, meskipun tanpa metode otentifikasi al-Syafi'i. Selain Musnad Ibn Hanbal yang telah disebutkan itu, yang paling terkenal dari banyak koleksi itu ialah al-Muwaththa' oleh Malik ibn Anas dari Madinah.

"Tetapi memang harus diakui bahwa mengenai persoalan Hadis ini, disebabkan oleh masalah proses pembukuannya yang sedikit-banyak problematik itu, terdapat beberapa hal kontroversial sejak dari semula," ujar Cak Nur.

Seorang tokoh pembaharu Islam di abad moderen dari Mesir, Rasyid Ridla, misalnya, menganut pandangan bahwa penulisan Hadis memang pada mulanya dibenarkan (oleh Nabi atau para khalifah pertama), tetapi kemudian dilarang.

Sebabnya ialah, menurut teori Rasyid Ridla, Nabi tidak memaksudkan Hadis-hadis itu sebagai sumber hukum yang abadi atau pun sebagai bagian dari agama.

Oleh karena itu kemudian Nabi melarang menuliskan Hadis, yang larangan itu, menurut Rasyid Ridla ditaati oleh para sahabatnya, khususnya para khalifah empat yang pertama.

Baca juga: Peran Daulah Umayyah Mendorong ke Arah Penyusunan Sistematik Ilmu Fikih dan Kodifikasinya

Bahkan mereka ini katanya, dengan keras menentang penulisan itu.

Para Tabi'in, Muslim dari generasi sesudah para sahabat Nabi, tidak menemukan rekaman tertulis (shahifah) dari para sahabat, dan mereka itu mencatat Hadits hanya jika ada permintaan dari penguasa seperti khalifah.

Oleh karena itu, menurut Rasyid Ridla, berbagai Hadis yang mengisyaratkan persetujuan atau apalagi anjuran menuliskan Hadis adalah lemah dan dikemukakan hanya untuk tujuan tertentu saja.

Teori Rasyid Ridla ini dibantah oleh Muhammad Musthafa al-A'dhami dengan data-data dan analisa yang lebih lengkap. Tetapi Rasyid Ridla hanya salah satu dari banyak sarjana yang mempersoalkan kedudukan Hadis.

Imam Syafi'i adalah sarjana yang paling besar jasanya dalam meletakkan teori tentang kritik dan otentifikasi catatan Hadis. Jalan pikiran al-Syafi'i kemudian diikuti oleh para pemikir di bidang fiqh yang datang kemudian, khususnya Ahmad ibn Hanbal (wafat 234 H [855 M]).

Sebagai pengembangan lebih lanjut teori al-Syafi'i, aliran pikiran Hanbali mempunyai ciri kuat sangat menekankan pentingnya Hadis yang dipilih secara seksama.

Baca juga: Ilmu Fikih: Kisah Harun Ar-Rasyid Meminta Abu Yusuf Menulis Buku Sistem Perpajakan

Akan tetapi, tanpa menolak metode analogi atau qiyas, aliran Hanbali cenderung mengutamakan Hadis, biarpun lemah, atas analogi, biarpun kuat, Mazhab Hanbali mempunyai teori tersendiri tentang analogi. Sebagaimana dijabarkan oleh salah seorang tokohnya yang terbesar, Ibn Taimiyyah (wafat 728 H [1318 M7).

Metode ijma' pun mengandung persoalan. Sekurang-kurangnya Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa ijma' hanyalah yang terjadi di zaman salaf, yaitu zaman Nabi sendiri, para sahabat dan para tabi'in.

Topik Menarik