Domestikasi Digital, Happy atau Kita Harus Ngeri?

Domestikasi Digital, Happy atau Kita Harus Ngeri?

Berita Utama | sindonews | Senin, 16 September 2024 - 00:45
share

Ressa Uli PatrissiaMahasiswi Program Doktor Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid Jakarta

SELAIN unsur estetik, design tempat tinggal yang cerdas tentu memerhatikan bagaimana rumah menjadi ruang yang hangat karena ada interaksi di antara anggota-anggota keluarga. Kepala keluarga kadang merancang tata letak, kamar tamu, atau bahkan sesederhana memilih warna dinding dengan maksud dan tujuan agar perbincangan verbal mekar di dalamnya.

baca juga: Kisah Inspiratif Para Polisi Dermawan, Sumbangkan Gaji hingga Bangun Rumah Pintar

Rumah yang baik dipercaya melahirkan keluarga yang harmonis, kuat dan yang kekuatannya mengalir ke masyarakat, bahkan bangsa dan negara. Maka, patutlah kita turut merenungkan sisi negatif prediksi yang dilontarkan Jenny Kennedy, Michael Arnold, Martin Gibbs, Bjorn Nansen, dan Rowan Wilken ketika para peneliti ini mengulas konsep “domestikasi digital” dan menyebarkan gagasannya ke dalam buku dengan judul yang sama.

Memang benar bahwa sisi positif intervensi teknologi digital ke dalam rumah begitu berlimpah. Secara berimbang, mereka juga menguak kengerian di balik trend homenet. Istilah yang bisa diterjemahkan dengan rumah pintar itu diambil dari kombinasi dari home dan network. Konsep jaringan rumah (home network) mulai berkembang seiring dengan meningkatnya penggunaan komputer pribadi dan konektivitas internet di rumah pada akhir 1990-an dan awal 2000-an.

Pada masa itu, banyak rumah tangga yang memiliki lebih dari satu perangkat komputer dan mulai merasakan kebutuhan untuk menghubungkan perangkat-perangkat tersebut untuk bisa berbagi koneksi internet, file, dan alat-alat seperti printer. Seiring dengan perkembangan teknologi, terutama dengan munculnya Wi-Fi dan mobile phone, konsep homenet menjadi semakin relevan.

Saat ini, rumah pintar tidak hanya mencakup komputer, tetapi juga berbagai perangkat pintar seperti smartphone, tablet, smart TV, kamera keamanan, dan berbagai perangkat Internet of Things (IoT). Homenet, sistem di dalam rumah yang mengintegrasikan smartphone, sensor terbuka, serta komputasi di mana-mana dalam rangka meningkatkan organisasi rumah tangga merupakan salah satu contoh domestikasi digital.

Jepang adalah salah satu negara dengan adopsi teknologi yang sangat maju, termasuk dalam hal jaringan rumah atau homenet. Di Jepang, sistem homenet sering kali mencakup berbagai perangkat dan teknologi yang saling terhubung untuk memberikan kenyamanan, keamanan, dan efisiensi bagi penghuninya. Konsep homenet atau jaringan rumah memang telah diterapkan secara luas di banyak negara di seluruh dunia.

baca juga: Rumah Pintar BSD City Gelar Kuliah Online Metode Belajar Negara Maju

Negara-negara maju di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Timur adalah yang paling cepat dan luas dalam mengadopsi teknologi jaringan rumah. Jangankan di Jepang dan negara-negara maju yang kita kenal dengan kemajuan teknologinya, di Indonesia pun konsep rumah pintar sudah banyak kita temukan.

Tidak hanya di sinetron-sinetron, di perumahan menengah pinggiran Jakarta kita dengan mudah menemukan pemilik mengaplikasikan domestikasi digital. Bagi penduduk urban, sudah sejak lama mereka tidak membutuhkan petugas security untuk mematikan atau menghidupkan lampu teras bila pulang kampung, menyiram tanaman, atau membuka tutup gerbang depan. Tugas-tugas itu sudah bisa ditangani teknologi digital.

Di dalam rumah pun, penghuni cukup menyebutkan kata, atau bahkan dengan kode menepuk tangan untuk membuka pintu, menyalakan TV, AC atau menyalakan kompor. Tidak perlu ada perintah dari sesama penghuni rumah. Dan, baik di dalam maupun di luar rumah, pemilik atau anggota keluarga dapat mengakses informasi yang disediakan rumah pintar.

Aplikasi dan intervensi teknologi ke dalam rumah pintar memang berkontribusi bagi kemudahan dan kepraktisan. Namun seperti disinyalir para peneliti tadi, ada sejumlah potensi negatif di balik domestikasi digital. Terutama adalah kesehatan mental. Menurut para peneliti itu, konektivitas yang terus menerus dan konstan dapat menyebabkan beban emosional dan stres. Ini bisa menimpa khususnya pada orang tua yang mungkin merasakan tekanan untuk selalu siap sedia dan tanggap.

Di sisi lain, konektivitas yang konstan ini makin mengaburkan batasan antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga yang semakin berkontribusi terhadap stres. Meskipun perangkat digital dapat menawarkan hiburan dan relaksasi, sayangnya perangkat tersebut juga dapat berkontribusi terhadap perasaan terisolasi, cemas, dan kelebihan informasi. Negosiasi mengenai ruang privat dan publik yang penting bagi “me time” juga makin sulit ditemukan para penghuni rumah pintar.

baca juga: Dukung Rumah Pintar di Indonesia, EZVIZ Luncurkan Berbagai Produk Baru

Lalu, dampak negatif terkait dengan komunikasi, yang diyakini banyak pihak sebagai elemen penting dalam membangun keharmonisan dan kekuatan keluarga. Aplikasi digital ke dalam rumah memang membantu banyak tugas, menyenangkan, memanjakan bahkan membuat hidup lebih praktis. Tetapi para peneliti mengingatkan dampaknya bagi terjadinya perubahan pola komunikasi.

Menurut para peneliti itu, teknologi digital telah mengubah cara anggota keluarga berkomunikasi satu sama lain. Pesan instan, panggilan video, dan media sosial telah menjadi sarana interaksi yang umum, terkadang menggantikan percakapan tatap muka.

Ini berarti, design rumah yang semula banyak mengondisikan percakapan para anggota keluarga di dalam rumah agar keharmonisan dan kekuatan keluarga terbangun perlahan-lahan bergeser. Satu sisi, kita merasakan happy dengan kemajuan dan aplikasi teknologi ke dalam rumah sebagai ruang domestik kita. Tapi, benarkah kita tak perlu ngeri dengan dampak negatifnya?

Topik Menarik