Review Film Oppenheimer, Gelegar bom yang tak sempurna

Review Film Oppenheimer, Gelegar bom yang tak sempurna

Seleb | BuddyKu | Kamis, 20 Juli 2023 - 11:24
share

www.gwigwi.com Julius Robert Oppenheimer (Cillian Murphy) sedang memberikan pernyataan pada Komisi Energi Atom Amerika (AEC) yang mencurigainya sebagai mata-mata Uni Soviet yang entah bagaimana juga memiliki bom atom. Sudut pandang cerita dari beliau yang menggunakan warna dinamakan Fission, mengacu pada pembelahan atom.

Sudut pandang kedua, yang disebut Fusion dan monochrome (hitam putih) berasal dari Lewis Strauss (Robert Downey Jr) seorang perwira Angkatan Laut Amerika yang sedang disidang oleh Komite Perdagangan Senat terkait usulan Presiden Dwight D. Eisenhower yang merekomendasikannya sebagai Menteri Perdagangan. Namun, hal itu terbentur perlakuan Strauss pada Oppenheimer di masa lalu yang bisa jadi membatalkan promosi tersebut.

Review Film Oppenheimer, Gelegar Bom Yang Tak Sempurna

Review Film Oppenheimer, Gelegar Bom Yang Tak Sempurna

Kedua POV (Point of View) ini tampaknya menceritakan hal berbeda walau kadang bersilangan; Fission tentang kehidupan personal Oppenheimer, bersinggungan dengan simpatisan komunisme, proses penciptaan bom atom dari teori hingga praktis, hingga sidang dituduhnya si ilmuwan sebagai pengkhianat.

Fusion adalah intepretasi Strauss akan kehidupan Oppenheimer dan berusaha mencari momen yang barangkali menobatkan si ilmuwan sebagai pengkhianat negara tulen. Sekalian juga usahanya untuk mendapat jabatan prestis Menteri Perdagangan sekaligus dampak sidang Oppenheimer pada pendapat Komite Perdagangan Senat terhadap si perwira.

Review Film Oppenheimer, Gelegar Bom Yang Tak Sempurna

Review Film Oppenheimer, Gelegar Bom Yang Tak Sempurna

Oppenheimer dan para ilmuwan ingin menghentikan perang dengan kekuatan bom atom namun meski Perang Dunia 2 usai akhirnya politiklah yang membuat konflik baru yang tak berkesudahan. Ironisnya, tanpa politik tersebut keinginan Oppenheimer tak akan terlaksana. Beliau paham itu dari jauh hari. Pada akhirnya merasa tak ada yang bisa dilakukan dan hanya bisa hidup dalam konsekuensinya.

Warna-warni di Fission barangkali menggambarkan Oppenheimer yang berpikir luas dan jauh ke depan terkait penemuannya. Dia tak terpengaruh ambisi politik dan berpikir pada kanvas yang lebih besar lagi.

Review Film Oppenheimer, Gelegar Bom Yang Tak Sempurna

Review Film Oppenheimer, Gelegar Bom Yang Tak Sempurna

Sedangkan monochrome di Fusion seakan adalah pikiran Strauss yang melihat permasalahan terlalu simplistik, hitam putih, yang terkesan kuno dan dipenuhi nafsu pribadi yang pada akhirnya menyempitkan pandangannya.

Seolah Fission fokus pada gonjang ganjing ilmuwan dengan ketidak sempurnaan sifatnya (Oppenheimer doyan main cewek) dan usaha para ilmuwan untuk mencipta. Mereka juga bergulat dengan masalah moralitasnya.

Review Film Oppenheimer, Gelegar Bom Yang Tak Sempurna

Review Film Oppenheimer, Gelegar Bom Yang Tak Sempurna

Fusion adalah representatif imbas penemuan bom atom pada dunia politik. Sibuk memperseterukan kekuasaan, adu kekuatan dan menyampingkan isu yang lebih besar untuk merasa lebih dominan dari lawan baik orang maupun negara lain.

Format IMAX justru bukan untuk jualan skala pemandangan tapi untuk membuat adegan intim terasa granduer atau besar. Karena konsekuensi segala lini kehidupan Oppenheimer yang dibahas pada akhirnya mengarah pada senjata luar biasa, ya sah saja.

Gemuruh suara hentakan kaki mau pun ledakan yang ditunggu menggetarkan kursi dan score dari Ludwig Gransson menegaskan ketegangan adegan bahkan sebagai pilar utama ketika momen tak terlalu intens. Dan tentunya sinkron dengan mood granduer dari format IMAX.

Review Film Oppenheimer, Gelegar Bom Yang Tak Sempurna

Review Film Oppenheimer, Gelegar Bom Yang Tak Sempurna

Momen pamungkas paduan audiovisualnya ini adalah saat-saat sebelum uji coba ledakan bom atom atau disebut Proyek Trinitas. Puluhan mungkin ratusan adegan ledakan sudah saya lihat tapi tak satu pun yang membuat saya beneran brace for impact selain film ini. Momen yang menurut saya justru lebih wah dibanding saat bomnya meledak.

Intensitas. Inilah kunci Nolan memaku perhatian penonton yang disuapi bermacam karakter, isu dan teori. Suspense kerap diberikan dalam berbagai bentuk di pelbagai adegan untuk terus menjaga ketegangan. Bagai desis terbakarnya sumbu bom perlahan menuju mesiu.

Sebenarnya pantas saja karena kulminasinya adalah perubahan besar dalam sejarah tapi apakah perlu sekonstan itu?

Dialog cepat, cutting cepat, didukung akting berkomitmen dan skor yang menjaga mood tegang ya efektif namun bosan juga kalau terlalu membombardir. Jarang ada waktu untuk meresapi apa yang terjadi walau tak separah BLACK ADAM (2023).

Menariknya momen yang lebih perlahan jadi mencuat seperti melakukan Tes Trinity, Oppenheimer menyemangati para ilmuwan setelah bom dijatuhkan di Hiroshima tapi dia sendiri merasa hampa mengingat korbannya dan pembicaraan dengan Einstein sembari melihat ratusan riak di air. Seolah simbolisasi efek penemuannya yang tak akan berhenti hingga kiamat.

OPPENHEIMER menasbihkan Nolan sebagai auteur doyan main berbagai genre dan memahami tiap mainan barunya. Namun seperti yang terjadi juga di TENET (2020) beliau belum sepiawai penulis Aaron Sorkin dalam menyajikan penceritaan yang cepat nan padat. Moga dia nemu formulanya. Atau mungkin main genre lain lagi.

Nudity yang aneh dan tak perlu. R rated.

Topik Menarik