Review Film Indiana Jones and The Dial of Destiny, Senja Sang Arkeolog

Review Film Indiana Jones and The Dial of Destiny, Senja Sang Arkeolog

Seleb | BuddyKu | Rabu, 28 Juni 2023 - 19:33
share

www.gwigwi.com 15 tahun silam INDIANA JONES AND THE Kingdom OF THE CRYSTAL SKULL (2008) dirilis dan menjadi film berpendapatan terbesar ketiga di belakang THE DARK KNIGHT (2008) dan IRON MAN (2008). Apakah hal tersebut yang mendasari Lucasfilm memutuskan menyetujui dibuatnya kisah akhir arkeolog ikonik Hollywood ini dengan INDIANA JONES AND THE DIAL OF DESTINY (2023) atau apakah para filmmaker memang memiliki konsep yang memang layak ditonton para Gen-Z?

Review Film Indiana Jones And The Dial Of Destiny, Senja Sang Arkeolog

Review Film Indiana Jones And The Dial Of Destiny, Senja Sang Arkeolog

Tahun 1969. Neil Armstrong dan kawan-kawan mendarat di Bulan. Menjanjikan masa depan yang cerah nan berkilau dibandingkan mempelajari situs tua beserta artifaknya. Indiana Jones (Harrison Ford) tak pernah merasa salah zaman seperti ini. Saat nongkrong di bar, Indy kedatangan Helena Shaw (Phoebe Waller Bridge), anak dari teman lamanya Basil Shaw (Toby Jones) yang menawarkan petualangan baru. Terdorong anak baptisnya ini, Indy terpaksa mengenakan topi ikoniknya dan menenteng cambuk lagi sebelum Jrgen Voller (Mads Mikkelsen), ilmuwan Nazi, menyatukan Dial of Destiny yang bisa mengubah sejarah selamanya.

Barangkali daya tarik naratif yang membuat pede film ini di green light adalah Indy yang sudah merasa tak punya tempat. Sudah umur, kelas arkeologi tak ramai dan perhatian di tahun itu adalah melihat ke depan. Klimaksnya merefleksikan itu dengan luar biasa. Momen yang emosional bagi Indy dan dibawakan dengan apik oleh Harrison Ford. Boleh jadi salah satu akting terbaik sepanjang karirnya. Sayangnya perjalanan ke sana tak semenarik itu.

Review Film Indiana Jones And The Dial Of Destiny, Senja Sang Arkeolog

Review Film Indiana Jones And The Dial Of Destiny, Senja Sang Arkeolog

Entah kenapa set up Indy di masa baru ini tak terfleksikan di aksinya atau bagaimana ia menghadapi kawan dan lawan. Seolah hanya ada di awal dan di akhir saja. Kontras Indy dan Helena hanya Indy idealis dan Helena mata duitan tapi tak terlihat ada scene yang menohok soal itu. Dinamik antar mereka jadi kurang berasa. Beda dengan Indy dan ayahnya di INDIANA JONES AND THE LAST CRUSADE (1989).

Interaksi antar karakter pun minus pesona dan komedi yang nendang walau terlihat sekali Phoebe Waller Bridge berusaha total. Its just doesnt have that extra factor beside Harrison Ford charisma.

Review Film Indiana Jones And The Dial Of Destiny, Senja Sang Arkeolog

Review Film Indiana Jones And The Dial Of Destiny, Senja Sang Arkeolog

Petualangan sepanjang film berasalifeless. Beberapa set piece aksi memang wah; saat full tracking shot kejar-kejaran di Tangier terlihat raw dan nyata namun begitu di close up reaksi aktornya keliatan backgroundnya CG. Dampaknya terasa berkurang. Ditambah kurangnya dinamik para karakter, meskipun atraksinya menarik di mata tapi rasa tidak ikut nyangkut. Jadi sulit ikut merasa tegang.

Beruntung desain produksi yang cakap bisa menjual eksotisme tempat-tempat yang didatangi Indy jadi nuansa petualangannya tetap terjaga.

Saat screening hampir atau malah nihil reaksi saat karakter lama bermunculan. Tak bisa disalahkan karena franchise sudah terlalu uzur hingga hype koneksi ini hanya bisa dirasakan sebagian fans saja. Semoga saja filmnya punya kekuatan sendiri tanpa perlu itu semua. Apakah Indy memang sudah saatnya pensiun total? Harrison Ford sih setuju saja.

Topik Menarik