Balada Si Roy Review: Lika-liku Perusuh Tatanan
Dalam menjalani hidup, tentu ada banyak momen yang bisa jadi membentuk seseorang seiring waktu. Entah pengalaman baik maupun buruk, semuanya memiliki purpose sendiri dalam menentukan arah di masa depan. Singkatnya, Balada Si Roy yang sedang tayang di bioskop tak pergi jauh dari itu.
Balada Si Roy merupakan film drama aksi produksi IDN Pictures yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Gol A Gong dan diarahkan oleh Fajar Nugros. Memperkenalkan Abidzar Al Ghifari sebagai pemeran utamanya, film berlatar tahun 80an ini berpusat pada Roy yang baru saja pindah ke Serang. Akan tetapi, kehadirannya membawa ragam konflik dengan berbagai pihak, perlahan memberikan dinamika dalam caranya memandang lingkungan yang tak seramah perkiraannya.
Secara narasi, Balada Si Roy tentu berfokus pada lika-liku dari karakter Roy. Ada beragam konflik yang disajikan, seperti perseteruan Roy dengan Dullah hingga sang remaja yang tertindas karena masa lalu orang tuanya yang problematik di mata orang lain. Walau kisah-kisah tersebut ditampilkan dengan representasi yang asik, sayangnya itu yang membuat plot terasa kurang mengalir, terutama karena transisi antar kisahnya yang tampak sangat jomplang. Oleh karena itu, mengemasnya menjadi sebuah series dengan beberapa episode bisa jadi bukanlah hal yang buruk ketimbang dipaksakan menjadi film panjang seperti ini.
Esensi utama yang diusung oleh Balada Si Roy adalah remaja yang harus menghadapi peliknya mencari jati diri. Untuk mendukung ini, disematkan berbagai isu yang muncul pada tahun 80an seiring 109 menit pemutarannya. Penguasa yang menindas kaum jelata, orang-orang berjasa yang tak sejahtera pasca kemerdekaan, hingga bagaimana dosa satu orang akan terbawa terus pada keluarga dan keturunannya memberikan warna lebih pada kisah sang karakter titular sebagai perusuh tatanan yang sudah berdiri kokoh.
Demi memperkuat cerita, Balada Si Roy hadir dengan segudang karakter untuk membuat signifikansi Roy tampak nyata. Dullah sebagai main adversary , duo Andi-Toni sebagai sahabat karib, Edi si ketua OSIS, hingga trio Ani-Wiwik-Dewi sebagai perempuan terdekat dalam lika-liku remaja Roy. Meski sebagian besar di antaranya diperankan dengan baik oleh deretan muda-mudi pewarna industri sinema Indonesia, minimnya backstory dari para karakter ini membuat mereka seakan menjadi batu loncatan semata demi membuat Roy menjadi lebih berarti.
Apabila Angga Dwimas Sasongko menaruh ambisi pada Mencuri Raden Saleh kemarin, Balada Si Roy merupakan buah ambisi besar dari Fajar Nugros yang dapat dilihat dari production value -nya. Sinematografi yang banyak bermain pada steady shot dan fast-paced shot dengan color tone cenderung warm , scoring yang didominasi rock , hingga set design yang cukup berhasil dalam menampilkan lingkungan di tahun 80an membuatnya mampu memanjakan indera para penonton seiring pemutarannya.
Akhir kata, Balada Si Roy adalah film lain dengan fokus remaja dalam mencari jati dirinya seiring hadirnya konflik dengan berbagai pihak. Walau tampil dengan teknis menawan dan didukung dengan peran ciamik dari para cast -nya, plot yang disajikan ala konten episodic dengan transisi yang kurang halus membuat cerita dari Roy terasa mondar-mandir seakan tak tahu ke mana arahnya.