Hubungan Bung Karno dengan NU Terganggu Setelah Pecah G30S, Karnaval Banser Diserang PKI
JAKARTA, iNewsAsahanRaya.id - Hubungan baik Bung Karno dengan Nahdlatul Ulama (NU) terganggu setelah peristiwa kelam pemberontakan 30 September 1965 oleh PKI atau G30S PKI
Bung Karno dan NU yang sebelumnya begitu harmonis dan selalu sejalan dengan kebijakan politik tiba-tiba menjadi terbalik.
NU meminta Bung Karno segera membubarkan PKI dan berpandangan situasi politik akan terus keruh selama Partai Komunis Indonesia (PKI) masih ada.
Namun Bung Karno tidak segera merespons tuntutan pembubaran PKI. Ia masih mencari skema yang tepat bagaimana situasi politik kembali kondusif.
NU pun terus melakukan gerakan yang menghantam PKI. Sebagai organisasi yang sangat konsisten anti komunis, maka NU terus melakukan kampanye di masyarakat untuk menolak segala bentuk ajaran Marxisme Leninisme, demikian dikutip dari buku Benturan NU PKI 1948-1965, Selasa (27/9/2022).
Di sisi lain, setelah peristiwa G30S, di sepanjang 1965-1966 hingga 1967-1968, benturan sosial antara massa nahdliyin, terutama Banser NU (Barisan Ansor Serbaguna) dengan sisa-sisa pengikut PKI terus terjadi di mana-mana. Terutama di kantong-kantong suara PKI, seperti Kediri, Blitar, Madiun, Bojonegoro, Banyuwangi, dan hampir seluruh daerah Provinsi Jawa Tengah.
Pada 12 Oktober 1965, di Kota Kediri, Jawa Timur. Banser Kediri yang tengah menggelar apel dan karnaval dengan bersenjata lengkap di wilayah Burengan, tiba-tiba diserang para pengikut PKI.
Mereka menyerang dengan menyemprotkan cairan kimia. Juga ditambah lemparan batu, serangan bambu runcing serta senjata tajam. Perang pun tak terelakkan.
Pasca peristiwa G30S, PKI berusaha melakukan serangan balik kepada NU dan aparat keamanan. Termasuk mencoba bangkit dengan mempraktikkan tesis Kritik Oto Kritik (KOK) Sudisman di Blitar Selatan, Jawa Timur.
Bung Karno meminta NU untuk tidak berbenturan dengan PKI. Presiden Soekarno memanggil Ketua Umum PBNU KH Idham Khalid dan bertanya, Kenapa NU gontok-gontokan dengan PKI?.
Idham Khalid mengatakan NU tidak gontok-gontokan, melainkan diserang oleh PKI, lalu membalas. Kalau NU tidak diserang, NU tidak akan membalas. Tetapi kalau digontok dan dikasari maka NU akan bertindak kasar dan siap gontok-gontokan, tegas Idham Khalid seperti dikutip dari Benturan NU PKI 1948-1965.
Dalam Benturan NU PKI 1948-1965, Abdul Mun\'im DZ menulis, kerenggangan itu membuat posisi politik Bung Karno semakin lemah.
Dengan sindiran halus setengah berkelakar, NU membuat dalil politik yang ditujukan kepada Bung Karno. Sukarno tanpa NO akan menjadi Sukar. Bung Karno tanpa NO akan menjadi Bungkar.
Sukar adalah sulit dan Bungkar merujuk pada situasi porak poranda. Sedangkan kata NO dibelakang nama Soekarno atau Bung Karno diartikan sebagai ejaan lama NU (Nahdlatul Oelama). Dalam posisi politik yang semakin terjepit, pada tahun 1967, Bung Karno akhirnya lengser dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia dan digantikan oleh Soeharto.
Pada peringatan Harlah NU ke-40 di Jakarta tahun 1966, Bung Karno hadir. Harlah dipadati warga nahdliyin, khususnya Banser se Indonesia. Bung Karno kembali menyampaikan harapannya kepada NU. Ia ingin NU memelopori kembalinya stabilitas nasional.
NU menerima tawaran itu dengan syarat tanpa melibatkan PKI. Artinya PKI harus dibubarkan. Sikap tegas yang tak bisa ditawar itu yang membuat hubungan NU dengan Bung Karno semakin renggang.