Hormat ke Iringan-iringan Mobil Soeharto Sebulan Penuh, Pengamen Ini Berubah Nasib
JAKARTA Munari Ari mengambil sikap sempurna dan memberi hormat setiap kali mobil iring-iringan Presiden Soeharto melintas di depan RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Setelah sebulan Munari melakukan hal yang sama, Pak Harto akhirnya membuka kaca mobil dan tersenyum. Sejak saat itu, hidup Munari berubah.
Munari Ari adalah seorang pengamen dengan wilayah kerja dari Perempatan Bioskop Megaria hingga depan Kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba. Pria kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, 7 Mei 1964 itu menjalani hari-hari bersama kawan setianya, Herman Obos.
Sejak pertengahan 1980-an, sebagai orang jalanan, Munari dan kawan-kawannya tak memiliki tempat tinggal tetap. Siang hari mereka bekerja di wilayahnya masing-masing dan ketika malam hari, mereka menumpang tidur di depan kamar mayat RSCM.
"Jam kerja saya adalah setiap kali lampu merah menyala dan mobil-mobil serentak berhenti," kata Munari Ari dalam tulisan berjudul Hormat Pengamen dari Trotoar di buku Pak Harto The Untold Stories (2012), dikutip, Minggu (21/8/2022).
Karena setiap hari berada di Perempatan Bioskop Megaria, Munari hafal bahwa setiap Rabu dan Jumat di jam yang sama, selalu melintas iring-iringan mobil Presiden Soeharto. Dengan dikawal Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), Pak Harto menuju lapangan golf Rawamangun untuk berolahraga. Sebelum matahari terbenam, iringan-iringan mobil itu kembali pulang.
Suatu siang di tahun 1986, selepas salat Jumat, Munari dan Obos, bersiap di pinggir jalan. Keduanya tahu akan ada iring-iringan mobil presiden melintas. Sambil mengamati keadaan agar tidak diusir petugas keamanan, Munari dan Obos mencari tempat yang tepat.
Begitu iringan-iringan mobil Presiden Soeharto melintas, keduanya yang masing-masing menenteng gitar dan biola, langsung mengambil sikap sempurna dan memberi hormat. Setelah hitungan ketiga \'upacara\' itu pun selesai seiring mobil-mobil tunggangan pejabat negara itu melintas tanpa bekas.
"Saya membayangkan penumpangnya, Pak Harto, yang sering saya lihat tersenyum dan berbicara akrab dengan rakyat melalui televisi. Saya sadar bahwa tidaklah mungkin saya memperdengarkan suara saya ke Pak Harto. Namun, keingingan saya untuk berinteraksi dengan beliau tidaklah surut. Saya yakin beliau tidak akan marah kepada saya," kata Munari.
Sikap sempurna sambil hormat terus dilakukan Munari ketika iring-iringan mobil presiden melintas. Hingga sebulan kemudian, terjadilah keajaiban. Mobil berpelat nomor RI 1 itu berjalan makin pelan ketika mendekat posisi Munari dan Obos berdiri tegap. Tiba-tiba kaca jendela belakang mobil turun perlahan dan muncullah senyuman khas Pak Harto.
"Selamat siang, Paak!" seru Munari dan Obos. Melihat hal itu, Pak Harto tersenyum dan mengangguk kepada keduanya. Sementara mobil terus melaju pelan hingga menghilang selepas perempatan.
Peristiwa itu tak hanya membuat hati Munari dan Obos bahagia bukan kepalang tapi juga mengubah garis hidup keduanya. Suatu siang pada bulan Juli 1986, utusan Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut datang ke RSCM mencari Munari. Ia menyampaikan bahwa Mbak Tutut ingin bertemu.
Munari dan Obos kemudian diajak ke Kantor Citra Lamtorogung Persada saat itu berada di lantai 23 Gedung Bank Bumi Daya, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat.
"Ini pengamen yang sering hormat sama Bapak, ya?" tanya Mbak Tutut yang kemudian meminta Munari dan Obos bernyanyi.
Waktu itu duet pengamen itu membawakan lagu Nenek-nenek Senam Pagi yang sedang populer. Saat itu juga sedang digalakkan program pemerintah yang terkenal dengan semboyan \'Mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga\'.
Rupanya, Munari dan teman-teman pengamen lainnya diminta menghibur tamu undangan dalam acara ulang tahun pernikahan Pak Harto dan Bu Tien. Mbak Tutut kemudian menyediakan pelatih seni untuk melatih para pengamen itu agar terlihat profesional saat menghibur para tamu undangan.
Hari yang ditunggu itupun tiba. Munari dan teman-temannya tampil di acara ulang tahun pernikahan Pak Harto dan Bu Tien. Mereka membawakan dua lagu di hadapan para menteri dan tokoh masyarakat yang hadir. Dalam kesempatan itu, Presiden Soeharto juga berdialog dengan para pengamen.
"Kamu namanya siapa?" tanya Pak Harto.
"Saya Ari, Pak."
"Sekolah di mana?" tanya lagi.
"Saya hanya tamat SMA, Pak," jawab Munari.
"Setelah ini kelanjutannya bagaimana?"
"Terus terang saya ingin maju, Pak. Kalau bisa jangan ngamen terus," ucap Munari.
Setelah acara itu, Munari dan teman-teman pengamennya tak lagi tidur di kamar mayat RSCM. Mereka disediakan rumah kontrakan. Sandang dan pangan juga dipenuhi.
Namun setelah tiga bulan, Munari bosan. Ia ingin lebih maju lagi. Ia pun akhirnya melamar ke Kantor PT Citra Lamtorogung Persada. Ia langsung diterima bekerja tanpa tes. Munari diberikan tugas memperlancar beragam Program Banpres dari Pak Harto. Ia mengawasi distribusi bantuan seperti mesin pengolahan kopi dari Jakarta hingga ke daerah.
"Saya mendapat gaji Rp135.000 per bulan pada tahun 1989. Pada waktu itu gaji sarjana saja sudah sebesar itu," katanya.
Setelah ada perombakan manajemen, Munari dipindah ke bagian administrasi dan surat-menyurat. Ia pun menjadi lebih dekat dengan keluarga Cendana.
Pada 1993, Munari kembali menyanyi di acara ulang tahun pernikahan Pak Harto dan Bu Tien. Ia mengisi dengan penyanyi ternama Rinto Harahap.
"Bagaimana Ri, setelah bekerja?" tanya Pak Harto.
"Saya sudah alhamdulillah sekali, Pak. Sekarang saya sudah punya istri dengan lima anak, juga punya rumah," jawab Munari disambut Soeharto dengan manggut-manggut.
"Tolong ditekuni ya," kata Pak Harto.
Setelah tak lagi bekerja di PT Citra Lamtorogung Persada, Munari membuka usaha biro jasa yang cukup sukses.
(abd)