Saatnya Menganggap Penting Cabor Atletik dan Renang
JAKARTA, iNews.id - Bulu tangkis, cabang yang selalu diharapkan menjadi pendulang medali emas di Olimpiade, babak belur di Paris. Medali perunggu yang diraih Gregoria Mariska Tunjung menjadi pelipur lara.
Memang, Indonesia masih berbangga hati karena dua emas bisa disumbang atlet angkat besi Rizki Juniansyah dan jagoan panjat tebing Veddriq Leonardo. Inilah dua emas pertama Indonesia di luar bulu tangkis.
Pertanyaan besarnya, mengapa kita tidak serius menggali potensi di cabor lain? Atletik dan renang, misalnya.
Tak bisa dimungkiri, jika bicara prestasi di Olimpiade, atau bahkan Asian Games hingga SEA Games, jumlah medalilah yang dilihat. As simple as that.
Bila Indonesia ingin menjadi raksasa pengoleksi medali di panggung akbar olahraga tentu wajib hukumnya memiliki adalan di banyak cabor. Dan, tentu harus jeli memilah cabor mana yang menyediakan medali paling banyak.
Di Olimpiade Paris misalnya. Cabang atletik mempunyai nomor lomba paling beragam (Olympics, 2024). Sehingga total medali yang bisa diperebutkan mencapai 48 emas, secara keseluruhan berarti ada 144 medali.
Kualat dengan Kapten Timnas Indonesia Jay Idzes, Dusan Vlahovic Kartu Kuning, Juventus-Venezia 2-2
Melalui proses kualifikasi, hanya sprinter Lalu Muhammad Zohri yang bisa mewakili RI di lintasan atletik. Sayangnya, laju Zohri terhenti tanpa medali, sama seperti di Olimpiade Tokyo.
Di posisi kedua dengan nomor terbanyak adalah renang dengan 35 lomba. Sedangkan secara overall akuatik menawarkan 49 medali emas untuk diperebutkan. Di Paris, Indonesia hanya diwakili Joe Aditya W Kurniawan dan Azzahra Permatahani di cabor renang.
Kesaktian dua cabang ini terbuktinya nyata dengan kesuksesan Amerika Serikat (AS). Negera Paman Sam itu tampil jemawa dengan 19 kali menjadi juara umum dalam 28 keikutsertaannya di Olimpiade. Mayoritas medali mereka datang dari kedua cabang tersebut.
Sepanjang keikutsertaannya, AS mengoleksi 861 medali dari lintasan atletik, 358 di antaranya adalah emas. Dari cabor renang, AS meraup 606 medali, dengan rincian 265 emas, 191 perak, dan 150 perunggu.
Jay Idzes Cetak Sejarah! Pemain Indonesia Pertama Cetak Gol di Serie A, Bobol Gawang Juventus
Di level Asian Games, atletik dan renang juga menjadi cabang dengan jumlah medali paling banyak. Dengan banyaknya medali yang bisa diperebutkan sudah sepatutnya Indonesia melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), PB PASI, pemerintah daerah asal atlet, berkolaborasi dengan NOC serta stakeholders lainnya, selayaknya merancang ulang strategi demi mendulang medali di panggung akbar olahraga.
Mulai dari membenahi usia dini hingga memberikan kemudahan para atlet untuk bisa berkompetisi di panggung internasional sebagai loncatan ke kejuaraan dunia serta ajang akbar multievent.
Mengirimkan atlet muda berbakat ke negara dengan prestasi atletik mentereng seperti AS, layak dicoba. Pada 2018 lalu, Zohri sempat mendapatkan beasiswa ke AS namun PB PASI menyarankan agar atlet asal NTB itu untuk menolak.
Saat itu, Sekretaris Jenderal PB PASI, Tigor Tanjung menyebutkan kuliah di luar negeri akan membuat Zohri kesulitan mengikuti program yang sudah dibuat organisasi menyongsong Kualifikasi Olimpiade 2020.
Tak hanya Zohri, himbuan tidak belajar di luar negeri juga ditujukan kepada atlet atletik lainnya. Meskipun mengakui dengan berada di luar negeri membawa keuntungan karena banyaknya turnamen yang bisa diikuti, tapi saat itu PB PASI menganggap langkah itu tidak efektif untuk pambinaan.
Pertanyaan berikutnya, apakah semustahil itu mengirimkan atlet ke luar negeri, melalui beasiswa terutama di bidang olahraga ataupun mandiri, dan tidak bisa berjalan selaras dengan strategi PB PASI? Dengan fasilitas dan program sangat mumpuni di kampus, ditambah dengan banyaknya kejuaraan yang dapat diikuti, tentu layak menjadi bahan pertimbangan.
Sedikitnya sembilan universitas di AS yang menyediakan beasiswa olahraga bagi siswa internasional. Di antaranya Colombia College yang menyediakan beasiswa atletik, lalu ada juga University of West Alabama, University of Miami dan lain sebagainya.
Selain itu, Fulbright, The National Junior College Athletic Association (NJCAA), atau The National Association of Intercollegiate Athletics (NAIA) juga menawarkan beasiswa internasional untuk siswa-atlet berprestasi.
AS sebagai kiblat cabor atletik sudah menerapkan program intensif sejak di level sekolah menengah. Tak heran bila banyak negara mengirimkan altlet muda ke AS untuk belajar sekaligus menerpa kemampuan di lintasan.
Demikian juga dengan cabang renang. Selain AS, Australia merupakan negara dengan kultur program serta pendidikan atlet terbaik sejak masa sekolah.
Indonesia di Paris 2024
Indonesia terbang ke Paris, dengan membawa 29 atlet, enam di antaranya wakil yang bertarung di cabor tepok bulu. Sangat nyata ekspektasi dari cabang inilah setidaknya satu emas bisa direbut.
Lalu, ketika atlet kita berguguran, banyak alasan mengemuka. Mulai dari lambatnya regenerasi, hingga urusan internal PBSI.
Sedangkan dari cabor angkat besi, tim Merah Putih mengutus Eko Yuli Irawan, andalan penyumbang medali, Nurul Akmal serta atlet muda Rizki Juniansyah.
Malang tak dapat ditolak, Eko Yuli mengalami cedera ketika beraksi. Rizki yang berstatus debutan justru tampil gemilang. Rizki mampu mencatatkan angkatan 354 kilogram, unggul atas Weeraphon Wichhuma (346 kg) dan Dimitrov Bozhidar Andreev (344 kg), dan berhak atas medali emas.
Dari cabor panahan, Arif Dwi Pangestu, Diananda Choirunisa, Rezza Octavia, serta Syifa Nur Afifah Kamal pun tak mampu berbuat banyak. Wakil Indonesia dari cabor lain juga sama, yakni Rio Waida (selancar ombak), Memo (dayung), Bernard Benyamin van Aert (balap sepeda) dan Fathur Gustafian (menembak).
Di cabor senam artistik, satu-satunya atlet Indonesia Rifda Irfanaluthfi harus mengubur mimpi lantaran cedera. Atlet judo Maryam March Maharani juga pulang dengan tangan kosong.
Panjat tebing yang mengirimkan Rahmad Adi Mulyono, Desak Made Rita Kusuma Dewi, Raji'ah Sallsabilah dan Veddriq Leonardo, mampu menyumbang satu medali emas.
Cabor ini memang mendapat perhatian setelah para spiderman dan spiderwoman Indonesia tampil gemilang di sejumlah event internasional.
Dengan tambahan prestasi di Paris, Indonesia telah mengoleksi 40 medali, di mana 22 di antaranya datang dari bulu tangkis. Angkat berat berada di posisi kedua cabang penyumbang kebanggaan dengan torehan 16 medali.
Total sejak mulai ambil bagian pada Olimpiade 1952 (Indonesia tidak mengirimkan atlet pada Olimpiade 1964 dan 1980), tim Merah Putih meraih 10 emas, 14 perak dan 16 perunggu.
Dalam urusan raihan medali emas cabang tepok bulu Indonesia adalah negara kedua setelah China yang mampu naik podium terbaik di seluruh nomor bulu tangkis.
Trio panahan Lilies Handayani, Nurfitriyana Saiman dan Kusuma Wardhani menjadi lembaran pembuka catatan medali Indonesia di panggung Olimpiade. Di Seoul, trio ini berhasil naik podium kedua dan menyabet medali perak. Inilah medali pertama Indonesia selama berpartisipasi di Olimpiade.
Empat tahun berselang di Barcelona, Susi Susanti meneruskan prestasi Indonesia lewat medali emas di cabang bulu tangkis nomor tunggal putri, setelah menjinakkan Bang Soo-hyun. Tak mau ketinggalan, Alan Budikusuma pun lalu menyumbang emas dengan mengalahkan Ardy Wiranata dalam all Indonesian final.
Sukses di Barcelona seakan mentahbiskan tradisi emas Olimpiade di cabang bulu tangkis, kecuali pada edisi London 2012. Medali emas kembali diraih di Olimpiade Rio 2016 dan Olimpiade Tokyo.