Kaleidoskop 2024: Diwarnai Upaya Pembunuhan dan Segudang Kontroversi, Donald Trump Kembali Terpilih Sebagai Presiden AS
JAKARTA – Donald Trump terpilih kembali sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) Ke-47 setelah kemenangannya dalam pemilihan presiden AS (Pilpres AS) atas kandidat dari Partai Demokrat, Kamala Harris. Kemenangan Trump menjadi sebuah kebangkitan politik besar bagi taipan real estate New York itu, yang akhir masa jabatan pertamanya pada 2020 diwarnai dengan serangkaian kontroversi yang dapat mengakhiri karier politiknya, bahkan membuatnya mendekam dalam penjara.
Peristiwa 6 Januari
Masa jabatan pertama Trump berakhir dengan sebuah peristiwa besar, yang dikenal sebagai peristiwa 6 Januari, tanggal saat pendukungnya menyerbu Gedung Capitol di Washington untuk menghentikan penghitungan suara elektoral yang mengesahkan kemenangan Joe Biden dalam Pilpres AS 2020.
Insiden di awal 2021 itu berbuntut pada pemakzulan Trump oleh Kongres AS atas dugaan perannya dalam memprovokasi pendukungnya untuk melakukan peristiwa tersebut. Meski kemudian dia dinyatakan tak bersalah oleh Senat AS, peristiwa 6 Januari terus menjadi ‘noda’ yang digunakan lawan politik Trump untuk menyerangnya.
Peristiwa ini tidak hanya menjadi salah satu masalah hukum yang dihadapi Trump sepanjang perjalanannya untuk kembali ke Gedung Putih, tetapi juga menjadi tantangan bagi keabsahannya untuk kembali mencalonkan diri sebagai Presiden AS.
Satu hal yang menolong Trump dalam upayanya untuk kembali menjabat sebagai Presiden AS adalah kepopulerannya yang tetap tinggi di mata para pendukungnya, terutama dari kelompok sayap kanan AS. Slogan ‘Make America Great Again’ (Buat Amerika Kembali Hebat) atau MAGA, yang digaungkan Trump sejak kampanye masa jabatan pertamanya pada 2016, menjadi sebuah jargon politik yang efektif mempertahankan dukungan bagi pria berusia 78 tahun itu di tengah berbagai kontroversi dan masalah hukum.
Masalah Hukum
Perjalanan Trump juga terkendala segudang permasalahan hukum yang dia hadapi, mulai dari gugatan terkait pembayaran bawah tangan, kasus pelecehan seksual, penyelidikan kriminal terkait penanganan dokumen rahasia negara, hingga tuduhan kecurangan pada Pilpres 2020. Trump juga diselidiki terkait perannya dalam peristiwa 6 Januari, yang dapat membuatnya tidak dapat kembali mencalonkan diri dan ‘membunuh’ peluangnya untuk maju dalam Pilpres AS 2024.
Trump sendiri menyebut rentetan perkara hukum itu sebagai upaya dari Partai Demokrat dan petahana Joe Biden untuk mencegahnya kembali mencalonkan diri pada Pilpres 2024, sebuah tuduhan yang tampaknya dilihat juga oleh para pendukungnya.
Bahkan di tengah banyaknya masalah hukum tersebut, dukungan untuk Trump dari kelompok MAGA tetap tinggi. Mereka meyakini bahwa pemerintahan Joe Biden yang berkuasa menggunakan institusi peradilan dan federal, terutama Biro Penyelidik Federal (FBI) untuk menjegal langkah Trump kembali ke Gedung Putih.
Elektabilitas Tinggi
Dukungan kelompok MAGA membuat elektabilitas Trump tetap tinggi, bahkan di antara kandidat Partai Republik lainnya, yang di antaranya diisi tokoh seperti mantan duta besar AS untuk PBB Nikki Haley, Gubernur Florida Ron DeSantis. Kepopuleran Trump membuatnya menyapu setiap pemilihan pendahuluan dan kaukus untuk menjadi calon presiden Partai Republik, praktis tanpa lawan.
Namun, meski populer di kalangan pemilih Republik, Trump dipandang sebagai tokoh yang kontroversial dan mengkhawatirkan di kalangan warga AS secara umum. Kebjiakannya selama masa jabatan pertama, terutama tindakan keras terhadap imigran ilegal dan politik luar negerinya, ditambah dengan dugaan perannya dalam Peristiwa 6 Januari 2021 membuat banyak pemilih AS skeptis.
Percobaan Pembunuhan dan Mundurnya Biden
Di tengah persaingan ketat dengan petahanan Joe Biden, yang kembali mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua, sebuah peristiwa besar memberikan sorotan dan mendongkrak popularitas Trump.
Pada 13 Juli 2024, saat sedang berkampanya di Butler, Pennsylvania, Trump ditembak dalam sebuah upaya pembunuhan yang menggegerkan AS. Tembakan yang dilepaskan oleh Thomas Matthew Crooks, (20) menyerempet telinga Trump yang sedang berpidato, sementara tembakan berikutnya menewaskan seorang penonton dan melukai dua lainnya.
Ini menjadi upaya pembunuhan pertama terhadap kandidat presiden dalam lebih dari tiga dekade, dan kembali memperlihatkan situasi politik di AS yang tegang. Upaya pembunuhan ini juga terjaid menyusul serangkaian retorika dari Presiden Joe Biden, yang menyebut Trump dan MAGA sebagai ancaman terhadap demokrasi dan AS, yang oleh sebagian pihak, bisa dianggap sebagai motivasi untuk menyingkirkan kandidat dari Partai Republik tersebut.
Insiden ini meningkatkan popularitas Trump, membuatnya dianggap sebagai ‘orang yang terpilih’ untuk memimpin AS. Di sisi lain, kegagalan Dinas Rahasia AS, untuk mencegah terjadinya penembakan ini menjadi sorotan, bahkan ada yang mencurigai pemerintah AS sebagai dalang dari upaya pembunuhan terhadap Trump.
Berselang sepekan setelah upaya pembunuhan terhadap Trump, Presiden Joe Biden mengumumkan mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai kandidat Presiden AS dari Partai Demokrat. Pengunduran diri Biden ini terjadi menyusul tekanan keras terhadap mantan Senator Delaware itu dari internal Partai Demokrat atas penampilan buruknya dalam debat calon Presiden beberapa pekan sebelumnya, yang membuat popularitasnya merosot tajam.
Mundurnya Biden mendorong Partai Demokrat mencalonkan Kamala Harris, yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden, sebagai penggantinya.
Kemenangan Trump
Hingga hari pemilihan 5 November, jajak pendapat menunjukkan bahwa Pilpres AS 2024 antara Donald Trump dan Kamala Harris akan berlangsung ketat. Pengamat sepakat bahwa kemenangan salah satu kandidat akan ditentukan oleh suara di tujuh Negara Bagian Pertempuran atau Battleground States.
Pada kenyataannya, Pilpres AS 2024 menjadi salah satu pilpres paling “tidak seimbang” dengan kemenangan telak Trump atas Harris.
Penghitungan menunjukkan Donald Trump mendapatkan 312 elektoral - jauh di atas 270 suara yang dibutuhkan untuk terpilih - sementara Kamala Harris mendapatkan 216 suara elektoral. Donald Trump juga memenangi suara populer dengan memperoleh 77.2 juta suara berbanding 75 juta suara yang diperoleh Kamala Harris.
Hasil ini menjadikan Trump sebagai Presiden Terpilih AS, sebelum kemenangannya diputuskan secara resmi pada penghitungan suara elektoral di Washington pada 6 Januari 2025 mendatang. Setelah pengesahan, Trump akan dilantik sebagai Presiden Ke-47 AS pada 20 Januari 2025.
Kemenangan Trump dipandang sebagai kebangkitan politik yang luar biasa, dan memunculkan harapan baru, sekaligus kekhawatiran bagi tidak hanya warga AS, tetapi juga dunia. Trump telah menjanjikan berbagai hal, seperti perdamaian di Ukraina dan Gaza, tetapi di sisi lain dia juga menyampaikan retorika konfrontatif dengan China, bahkan beberapa negara sekutu AS.
Masih perlu dilihat bagaimana masa jabatan kedua Trump ini akan berjalan.