KPU Jakarta Beri Santunan Kepada Keluarga Petugas KPPS yang Meninggal saat Hari Pencoblosan di Jakut
Terkini | okezone | Jum'at, 29 November 2024 - 18:37
Pada 2009 ini, sebagai dampak dari pengaruh krisis global, diramalkan kita akan kembali mengalami krisis. Pertumbuhan ekonomi akan melamban, daya beli masyarakat akan menurun, pengangguran akan meningkat, dan kehidupan masyarakat secara umum akan lebih sulit.
Kesulitan itu sebetulnya akan terasa ringan, bahkan kemungkinan dapat dielakkan, manakala modal sosial kita sebagai warga bangsa dapat dikuatkan. Francis Fukuyama (dalam Social Capital and Development, 2002) meyakinkan kita bahwa dengan modal sosial yang kuat, masyarakat akan menyatukan kekuatan dan energi dalam membangun dan dalam menghadapi krisis.
Fukuyama melanjutkan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi yang terjadi di berbagai belahan bumi dan terutama di negara-negara berkembang Asia, Afrika, dan Amerika Latin, determinan utamanya adalah tidak berfungsinya komponen-komponen modal sosial yang idealnya tumbuh di tengah masyarakat.
Membalik Kecenderungan
Setidaknya terdapat empat komponen utama modal sosial yang dapat memperkuat kita menghadapi krisis. Pertama, kemampuan membangun kembali semangat resiprokal, yaitu semangat bersama untuk saling memberi. Kecenderungan saat ini, daya resiprokal tersebut semakin lemah.
Di suatu desa yang penduduknya miskin, semangat untuk saling memberi pertolongan dari mereka yang relatif mampu ke mereka yang miskin menipis. Anak-anak yatim tetap dibiarkan dalam kesendirian dan menderita. Pembagian zakat mal dan fitrah di saat mendekati Lebaran terkesan sebagai sekadar memenuhi tuntutan kewajiban, bukan karena didasari budaya resiprokal dan empati untuk saling membantu sesama umat yang membutuhkan pertolongan.
Di perkotaan semangat resiprokal tersebut mengalami kehancuran yang lebih parah. Tiap pihak berusaha mencuri dan menggerogoti pihak lain. Dalam istilah Melayu lebih dikenal sebagai budaya "panjat pinang". Yang berada di atas berusaha diturunkan, yang sukses berusaha dihalangi, dan yang berniat baik berusaha difitnah untuk dihancurkan imejnya. Kedua, bagaimana membangun kembali trust. Kenyataan saat ini, rasa saling memercayai (trust) antaranggota masyarakat semakin tipis.
Para tokoh di tingkat nasional dan terutama di tingkat daerah, tokoh agama, termasuk akademisi, yang selama ini paling dipercaya pun ternyata tidak luput dari perilaku korup. Kepala desa, camat, bupati, gubernur, anggota legislatif, aparat penegak hukum, dan bahkan beberapa tokoh agama sekalipun hidup dalam kemakmuran, sementara tetangganya dalam kemiskinan.
Daya integrasi sosial akhirnya semakin lemah. Ketiga, bagaimana kita mampu menghidupkan kembali jaringan sosial yang menjembatani (bridging) untuk menyubstitusi jaringan sosial yang bonded (tertutup). Keterisolasian budaya di beberapa tempat di Pulau Jawa maupun di luar Jawa dan dengan semangat otonomi daerah telah diterjemahkan sebagai kebanggaan kesukuan dan kelompok primordial yang sangat berlebihan.
Modal sosial yang tersisa hanya berbentuk bonded social capital, yaitu masyarakat yang hidup dalam rekatan primordial dan kelompok yang sempit, bukan bridging social capital, yaitu suatu bentuk kekohesifan sosial kelompok yang bersimbiosis dengan dimensi eksternal secara positif. Semangat bonded ini yang telah menggerogoti pembangunan dan melemahkan kita dalam menghadapi berbagai musibah dan krisis. Keempat, membangun kembali dengan lebih kukuh semangat toleransi dan semangat kemanusiaan.
Di dalam masyarakat Indonesia saat ini semangat tersebut mulai pudar. Rasa cinta kasih dan toleransi terhadap sesama semakin hari dirasakan semakin jauh. Kita rela tanpa merasa bersalah mengganggu dan mengambil hak orang lain. Kecenderungan sosial ini yang dapat menerangkan mengapa terjadi korupsi, kelangkaan gas elpiji, hilangnya BBM dari pompa bensin, rebutan minyak tanah, dan beragam problem sosial lain.
Perasaan kemanusiaan kita sangat rendah dan membutuhkan penyembuhan kembali. Bangsa ini akan mampu menghadapi krisis apabila keempat komponen modal sosial tersebut mendapat perhatian kuat untuk kembali dihidupkan dan digerakkan oleh semua pihak. Dari 227 juta penduduk Indonesia sebagian besar sebetulnya mendambakan kekohesifan sosial yang resiprokal, amanah, terbuka dan altruistis. Mereka menunggu sikap proaktif masyarakat sipil untuk membangun modal sosial bersama.
Menciptakan Modal Sosial
Secara historis negara tidak memiliki tradisi bagi penciptaan modal sosial. Kata Fukuyama (dalam Social Capital and Civil Society,1999), modal sosial tersebut bersumber atau by product dari agama, tradisi, dan pengalaman bersama yang selalu berulang di tengah masyarakat.
Implementasi konkretnya bahwa menghidupkan modal sosial bangsa adalah tanggung jawab semua pihak, terutama organisasi-organisasi berbasis keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan tentu saja pemerintah sebagai fasilitatornya. Saat-saat di ambang krisis seperti sekarang ini, kita senantiasa teringat pada organisasi-organisasi berbasis keagamaan yang terkadang mengklaim memiliki anggota puluhan juta orang, tapi selalu senyap.
Senyap dari tindakan yang konkret dalam membangun kekuatan bersama untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan hidup masyarakat bangsa. Senyap dalam membangun kekuatan dalam menghadapi berbagai bentuk krisis. Suara itu dan gerakan itu terkesan baru bergemuruh ketika urusannya adalah pornografi, Palestina, dan politik kekuasaan. Ada pekerjaan rumah sosial dan kebudayaan yang sangat menantang kita. (*)
Jousairi Hasbullah
Kepala Biro Hukum dan Humas BPS
Kesulitan itu sebetulnya akan terasa ringan, bahkan kemungkinan dapat dielakkan, manakala modal sosial kita sebagai warga bangsa dapat dikuatkan. Francis Fukuyama (dalam Social Capital and Development, 2002) meyakinkan kita bahwa dengan modal sosial yang kuat, masyarakat akan menyatukan kekuatan dan energi dalam membangun dan dalam menghadapi krisis.
Fukuyama melanjutkan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi yang terjadi di berbagai belahan bumi dan terutama di negara-negara berkembang Asia, Afrika, dan Amerika Latin, determinan utamanya adalah tidak berfungsinya komponen-komponen modal sosial yang idealnya tumbuh di tengah masyarakat.
Membalik Kecenderungan
Setidaknya terdapat empat komponen utama modal sosial yang dapat memperkuat kita menghadapi krisis. Pertama, kemampuan membangun kembali semangat resiprokal, yaitu semangat bersama untuk saling memberi. Kecenderungan saat ini, daya resiprokal tersebut semakin lemah.
Di suatu desa yang penduduknya miskin, semangat untuk saling memberi pertolongan dari mereka yang relatif mampu ke mereka yang miskin menipis. Anak-anak yatim tetap dibiarkan dalam kesendirian dan menderita. Pembagian zakat mal dan fitrah di saat mendekati Lebaran terkesan sebagai sekadar memenuhi tuntutan kewajiban, bukan karena didasari budaya resiprokal dan empati untuk saling membantu sesama umat yang membutuhkan pertolongan.
Di perkotaan semangat resiprokal tersebut mengalami kehancuran yang lebih parah. Tiap pihak berusaha mencuri dan menggerogoti pihak lain. Dalam istilah Melayu lebih dikenal sebagai budaya "panjat pinang". Yang berada di atas berusaha diturunkan, yang sukses berusaha dihalangi, dan yang berniat baik berusaha difitnah untuk dihancurkan imejnya. Kedua, bagaimana membangun kembali trust. Kenyataan saat ini, rasa saling memercayai (trust) antaranggota masyarakat semakin tipis.
Para tokoh di tingkat nasional dan terutama di tingkat daerah, tokoh agama, termasuk akademisi, yang selama ini paling dipercaya pun ternyata tidak luput dari perilaku korup. Kepala desa, camat, bupati, gubernur, anggota legislatif, aparat penegak hukum, dan bahkan beberapa tokoh agama sekalipun hidup dalam kemakmuran, sementara tetangganya dalam kemiskinan.
Daya integrasi sosial akhirnya semakin lemah. Ketiga, bagaimana kita mampu menghidupkan kembali jaringan sosial yang menjembatani (bridging) untuk menyubstitusi jaringan sosial yang bonded (tertutup). Keterisolasian budaya di beberapa tempat di Pulau Jawa maupun di luar Jawa dan dengan semangat otonomi daerah telah diterjemahkan sebagai kebanggaan kesukuan dan kelompok primordial yang sangat berlebihan.
Modal sosial yang tersisa hanya berbentuk bonded social capital, yaitu masyarakat yang hidup dalam rekatan primordial dan kelompok yang sempit, bukan bridging social capital, yaitu suatu bentuk kekohesifan sosial kelompok yang bersimbiosis dengan dimensi eksternal secara positif. Semangat bonded ini yang telah menggerogoti pembangunan dan melemahkan kita dalam menghadapi berbagai musibah dan krisis. Keempat, membangun kembali dengan lebih kukuh semangat toleransi dan semangat kemanusiaan.
Di dalam masyarakat Indonesia saat ini semangat tersebut mulai pudar. Rasa cinta kasih dan toleransi terhadap sesama semakin hari dirasakan semakin jauh. Kita rela tanpa merasa bersalah mengganggu dan mengambil hak orang lain. Kecenderungan sosial ini yang dapat menerangkan mengapa terjadi korupsi, kelangkaan gas elpiji, hilangnya BBM dari pompa bensin, rebutan minyak tanah, dan beragam problem sosial lain.
Perasaan kemanusiaan kita sangat rendah dan membutuhkan penyembuhan kembali. Bangsa ini akan mampu menghadapi krisis apabila keempat komponen modal sosial tersebut mendapat perhatian kuat untuk kembali dihidupkan dan digerakkan oleh semua pihak. Dari 227 juta penduduk Indonesia sebagian besar sebetulnya mendambakan kekohesifan sosial yang resiprokal, amanah, terbuka dan altruistis. Mereka menunggu sikap proaktif masyarakat sipil untuk membangun modal sosial bersama.
Menciptakan Modal Sosial
Secara historis negara tidak memiliki tradisi bagi penciptaan modal sosial. Kata Fukuyama (dalam Social Capital and Civil Society,1999), modal sosial tersebut bersumber atau by product dari agama, tradisi, dan pengalaman bersama yang selalu berulang di tengah masyarakat.
Implementasi konkretnya bahwa menghidupkan modal sosial bangsa adalah tanggung jawab semua pihak, terutama organisasi-organisasi berbasis keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan tentu saja pemerintah sebagai fasilitatornya. Saat-saat di ambang krisis seperti sekarang ini, kita senantiasa teringat pada organisasi-organisasi berbasis keagamaan yang terkadang mengklaim memiliki anggota puluhan juta orang, tapi selalu senyap.
Senyap dari tindakan yang konkret dalam membangun kekuatan bersama untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan hidup masyarakat bangsa. Senyap dalam membangun kekuatan dalam menghadapi berbagai bentuk krisis. Suara itu dan gerakan itu terkesan baru bergemuruh ketika urusannya adalah pornografi, Palestina, dan politik kekuasaan. Ada pekerjaan rumah sosial dan kebudayaan yang sangat menantang kita. (*)
Jousairi Hasbullah
Kepala Biro Hukum dan Humas BPS