Sidang Kasus Timah, Saksi Ahli Sepakat Kerugian Negara Hanya Bisa Dihitung BPK
JAKARTA - Dalam persidangan dugaan kasus korupsi timah, saksi ahli yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Penasihat Hukum (PH) Terdakwa sepakat bahwa lembaga yang dapat melakukan penghitungan atas kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan.
Saksi dari JPU, Kartono selaku Pakar Hukum Lingkungan menerangkan lembaga yang berwenang untuk menghitung kerugian negara adalah BPK sesuai Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saat ditanyai Hakim Ketua Eko Aryanto.
"Siapa sih yang berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara dan juga termasuk perekonomian negara," tanya Hakim Eko kepada Kartono dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Rabu (23/10/2024).
"Kalau yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan negara sudah ada yang mulia rambunya, patokannya baik itu di Undang-Undang BPK dan Undang-Undang yang lainnya Tentu BPK," jawab Kartono.
Dalam persidangan lanjutan yang digelar pada Rabu (20/11/2024), Saksi Ahli Hukum Keuangan Negara, Dian Puji Simatupang yang diajukan oleh PH Terdakwa juga mengungkapkan hal yang sama terkait lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara.
Dian menjelaskan, yang berwenang untuk melakukan, menilai, dan menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan Pasal 23E ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan turunannya Pasal 10 ayat 1 UU 15 Tahun 2006 Tentang BPK.
"Kalau kita bisa membaca Perpres 192 tahun 2014 tentang BPKP yang diubah pada 2022, itu BPKP hanya diberikan fungsi menghitung kerugian negara, tapi itu juga dalam rangka pengendalian intern pemerintah, jadi melakukan identifikasi, pencegahan, dalam rangka mencegah pemberosan efektivitas terhadap penggunaan APBN," kata Dian.
Dalam aturan yang berlaku, hanya BPK yang berwenang sebagai lembaga untuk melakukan perhitungan kerugian negara. BPKP tidak dapat melakukannya.
"Jadi kalau dicari seluruh peraturan perundangan tidak ada satu pun lembaga, kecuali BPK di pasal 10 ayat 1 BPK berwenang menilai kerugian negara akibat perbuatan hukum atau kelalaian di keuangan negara, APBN, APBD, dan seluruh pengolahan negara lainnya, jadi penegasan itu memang yang mulia hanya kewenangan itu ada di BPK sendiri," jelasnya.
Dian juga merinci, BPKP memiliki fungsi yang tertuang di dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 Tentang SPIP. Fungsi BPKP apabila diberikan mandat oleh BPK, atau dari Presiden yang didelegasikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri untuk melakukan menghitung kerugian negara.
"Pertama Presiden yang menugaskan, Menteri Keuangan yang memberi delegasi atau Menteri Dalam Negeri yang meminta. Jadi tiga itu saja, atas dasar itu maka fungsi BPKP melakukan penilaian ke negara dapat dilakukan. Tapi kalau misalnya pPesiden tidak meminta, BPK tidak, Menteri Keuangan tidak meminta, sehingga berarti kan tidak bisa melaksanakan fungsi penilaian kerugian negara tersebut," jelas Dian.
Apabila, BPKP melakukan perhitungan kerugian negara tanpa ada mandat dari BPK atau Presiden, maka perhitungannya menjadi tidak sah.
"Jadi tadi ada syarat kewenangan di pasal 56 ayat 1 huruf A. Pasal 56 ayat 1 menyebabkan menjadi produknya menjadi tidak sah," ujar Dian.
Seperti diketahui, kerugian negara akibat tambang timah di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan dari tahun 2015 - 2022 sebesar Rp271 triliun diumumkan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo.
"Kalau semua digabungkan kawasan hutan dan nonkawasan hutan total kerugian akibat kerusakan yang harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," kata Bambang saat Konferensi Pers di Gedung Kejaksaan Agung, Senin (19/2/2024).
Menurut perhitungan dari Bambang, kerugian lingkungan hidup untuk galian yang terdapat dalam kawasan hutan senilai Rp233,26 triliun, hal tersebut terdiri dari biaya kerugian lingkungan hidup (ekologis) Rp157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp60,27 triliun dan biaya pemulihan lingkungan Rp5,26 triliun.
Kemudian, kerugian lingkungan hidup untuk galian yang terdapat dalam non kawasan hutan senilai Rp47,70 triliun, hal tersebut terdiri dari biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp15,2 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp6,63 triliun.