Mengenal Tokoh Berpangkat Jenderal Bintang 5 di Indonesia, Hanya Disandang 3 Orang!
TAHUKAH Anda Indonesia punya beberapa sosok berpangjang Jendeal Bintang 5 ? Namun, tak sembarangan orang bisa menyandang pangkat ini. Di Indonesia sejauh ini baru ada tiga orang yang menyandang pangkat Jenderal Bintang 5.
Berikut tiga sosok Jenderal Bintang 5 di Indonesia, berdasarkan buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia dari penerbit Narasi.
1. Soedirman
Secara sepintas, pendidikan militer Soedirman sebenarnya tak seberapa jika dibandingkan teman-temannya alumni Akademi Militer Belanda. Ia hanya menjalani pendidikan daidancho (setingkat komandan batalion) Peta. Ia adalah salah satu dari 69 kepala batalion yang ada di Jawa, Bali, dan Madura.
Namun ia memiliki bakat kepemimpinan Iuar biasa. Figurnya kharismatik, serta menampakkan kedewasaan yang jauh melampaui usianya. Bakat kepemimpinannya itu tampak ketika Soedirman bersama pasukan yang dipimpinnya berhasil mengusir tentara Sekutu anak buah Jenderal Bethel dari kota Magelang dan Ambarawa.
Pertempuran itu dikenang sebagai "Palagan Ambarawa" (November-Desember 1949). Dalam pertempuran yang berlangsung tanpa henti pada tanggal 12-15 1945, pasukan Sekutu berhasil dipukul mundur. Sebagai kenangan, setiap tanggal 15 Desember, negara memperingatinya sebagai Hari Infanteri.
Ketika dikeluarkan Makloemat Pemerintah pada 1 November 1945, bermunculan pasukan-pasukan bersenjata dari berbagai unsur. Banyak partai memiliki pasukan bersenjata sebagai ounderbouw-nya. Karena perbedaan ideologi, agama, dan latar belakang sosial, sering terjadi perselisihan di antara mereka. Namun,laskar-Iaskar ini dapat dipersatukan dengan tentara oleh Soedirman.
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk pada 15 Oktober 1945, dan Soedirman dipercaya mernimpin Divisi V Banyumas dengan pangkat kolonel. Ketika dilangsungkan Kongres TKR tanggal 12 November 1945 di Yogyakarta, Soedirman dipilih sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat jenderal, dan Oerip Soemohardjo ditunjuk sebagai Kepala Staf.
Dua tahun kemudian, TKR berubah nama menjadi TNI. Ia dilantik pada tanggal 18 Desember 1945. Dalam program Re-Ra tahun 1948, pangkatnya diturunkan menjadi letnan jenderal. Soedirman terkenal berwatak keras terhadap dirinya sendiri. Walaupun sakit berkepanjangan, ia tetap mernimpin langsung pasukannya bergerilya naik gunung turun jurang. Ia adalah panglima yang tak bisa duduk di belakang meja.
Selama tujuh bulan, Soedirman berada di atas tandu untuk mernimpin pasukannya bergerilya dengan rute dari Yogyakarta, Surakarta, Madiun, hingga Kediri. Mengenai penyakitnya ini, ia pernah berkata, "Kalau saja zaman damai, saya menurut saja perintah dokter. Tapi, kalau dalam masa perang seperti sekarang ini, harap dimaafkan saya menyalahi nasihat dokter. Sebab, saya harus mengikuti siasat perang."
Ketika tentara Indonesia masuk Yogyakarta setelah penarikan mundur pasukan Belanda, penyakitnya semakin parah. Jenderal Soedirman wafat di Magelang, 19 Januari 1950, dan dimakarnkan di TMP Semaki, Yogyakarta.
2. AH Nasution
Nasution nyaris menjadi korban G 30 S. Namanya termasuk dalam daftar penculikan. Beruntung, ia dapat lolos dari kepungan, walaupun kehilangan puterinya, Ade Irma Suryani. Pak Nas memang sosok yang berani terang-terangan menentang komunis. Pada tahun 1948 ia memimpin pasukan Siliwangi menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Ia juga aktif menghalangi manuver-manuver PKI, antara lain menentang usul mempersenjatai buruh dan tani.
Awal pemerintahan Orde Baru, Pak Nas sempat berperan. Semula, beberapa tokoh AD, seperti Kemal ldris, H.R.Dharsono, dan Sarwo Edi, mendesaknya untuk menjadi presiden. Tetapi, Pak Nas hanya menjadi Ketua MPRS. Tahun 1968, lewat keputusannya, MPRS mengangkat Soeharto menjadi presiden.
Kemesraan Nasution-Soeharto juga tidak lama. Setelah Soeharto berkuasa, Nasution malah disingkirkan. Keterlibatannya dalam Petisi 50 dianggap sebagai biang keladinya. Puncaknya, 1972, setelah 13 tahun memimpin angkatan bersenjata, Nasution dipensiunkan dini dari dinas militer. Sejak saat itu Nasution tersingkir dari panggung politik.
Dalam masa tuanya, Pak Nas sempat dibelit persoalan hidup. Rumahnya di JI. Teuku Vmar Jakarta, tampak kusam dan tidak pernah direnovasi. Secara misterius pasokan air bersih ke rumahnya terputus, tak lama setelah Pak Nas pensiun. Namun, setelah 21 tahun dikucilkan, tiba-tiba Nasution dirangkul lagi oleh Soeharto.
Raihan Lawatan Diplomatik Perdana
Tanggal 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, prajurit tua yang dikenal taat beribadah itu dianugerahi pangkat Jenderal Besar bintang lima. Selain Nasution, ada dua jenderal yang menyandang bintang lima sepanjang sejarah RI: yaitu Soedirman dan Soeharto. Abdul Haris Nasution tutup usia di RS Gatot Soebroto, pukul 07.30 WIB, pada tanggal 6 September 2000.
3. Soeharto
Lulus dari sekolah menengah, karena tak punya biaya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, Soeharto kembali ke Wuryantoro dan diterima bekerja menjadi pembantu kelerek di suatu bank desa (Volksbank). Ia berhenti bekerja gara-gara merobek sarung yang dipinjam dari bibinya, yang dipakai sebagai seragam kerja.
10 Perwira Lemdiklat Polri Dapat Jabatan Baru dari Kapolri Awal November 2024, Ini Namanya
Posisi sebagai kelerek memang mengharuskannya memakai pakaian Jawa lengkap. Untuk sementara, ia menganggur. 1 Juni 1940 datang surat panggilan dari Sekolah Militer KNIL di Gombong, Jawa Tengah. Setelah menamatkan latihan dasar ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Kader di Gombong. Ia kemudian ditempatkan di Batalyon XIII di Rampal, dekat Malang, Jawa Timur dengan pangkat kopral. Saat itu Jepang masuk ke Indonesia, dan Soeharto hampir saja menjadi tawanan perang.
la berhasil menyelamatkan diri dan tinggal di rumah Prawirowiharjo. Di sini ia mendapat serangan malaria. Pada zaman Jepang, Soeharto mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Pasukan Kepolisian Jepang, Keibuho. Kemudian ia menjadi anggota Peta dan diberi jabatan Shodancho atau komandan peleton.
Setelah proklamasi, Soeharto turut dalam revolusi. la bergabung dalarn ketentaraan dengan pangkat Mayor, kemudian dipromosikan menjadi Letnan Kolonel. Namanya mencuat setelah berhasil memimpin penyerbuan merebut tangsi rniliter Jepang di Kotabaru, Yogyakarta. Puncaknya, 1 Maret 1949, ia mernimpin Serangan Umum merebut Yogyakarta yang saat itu diduduki Belanda pasca Agresi Militer II.
Setelah pengakuan kedaulatan, Soeharto menduduki jabatan strategis di Kodam Diponegoro, Jawa Tengah. Saat itulah ia mulai menjalin hubungan dengan beberapa rekan dari kalangan pengusaha, antara lain Liem Sioe Liong dan Bob Hasan. Pada awal dekade 1960-an, prestasinya terukir dengan mengomandani pasukan RI untuk merebut kembali Irian Barat.
Kiprahnya di bidang politik dimulai ketika meletus Gerakan 30 September. Dengan sigap, ia mengambil langkah-Iangkah taktis dan strategis untuk memulihkan keamanan, sekaligus menanarnkan pengaruh. Tanggal 1 Oktober 1965 ia adalah satu-satunya tokoh yang paling cepat membaca pergeseran peta politik pasca gerakan coup yang gagal itu.