Kisah Johan Peneliti Aktivitas Matahari Kini Jadi Ilmuwan Antariksa

Kisah Johan Peneliti Aktivitas Matahari Kini Jadi Ilmuwan Antariksa

Terkini | okezone | Rabu, 1 Mei 2024 - 10:11
share

JAKARTA - Kecintaannya pada ilmu Fisika mengantarkannya jadi ilmuwan di bidang Antariksa. Tahun 2008 menjadi titik awal Johan Muhamad mendedikasikan diri menjadi seorang peneliti yang berfokus pada riset terkait aktivitas Matahari.

Menjadi peneliti berawal saat dirinya diterima bekerja di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) (sebelumnya LAPAN). Sejak awal, Johan berfokus pada riset fisika matahari pada khususnya, dan cuaca antariksa pada umumnya.

Saat ini, Johan diberi amanah sebagai Ketua Kelompok Riset Matahari dan Aktivitasnya, di Pusat Riset Antariksa (PRA) BRIN. Bagi pria kelahiran Jakarta ini, aktivitas Matahari menarik untuk dikulik. Sebab, belum banyak periset yang menekuni riset tersebut.

Bisa dibilang, riset aktivitas Matahari belum terlalu populer di Indonesia dibandingkan fokus riset lainnya di bidang Antariksa. Jumlah perisetnya pun bisa dihitung dengan jari, tutur Johan dilansir laman resmi BRIN, Jakarta, Rabu (1/5/2024).

Matahari yang kita lihat dengan mata telanjang, ternyata bukanlah objek langit yang diam saja. Sama halnya dengan planet seperti Bumi, Matahari sebagai Bintang terdekat dari Bumi memiliki aktivitas yang perlu untuk dikaji.

Salah satu kajian Matahari dan aktivitasnya yang dilakukan oleh Johan dan tim adalah tentang pergerakan dan karakteristik bintik Matahari (sunspot). Bintik Matahari terlihat pada bagian permukaan atau fotosfer Matahari. Bintik Matahari muncul karena adanya fluktuasi medan magnet dari lapisan dalam atau interior Matahari.

Bintik Matahari memiliki konsentrasi medan magnet lebih besar daripada daerah Matahari lainnya. Di bintik Matahari atau sekitarnya menjadi tempat yang sangat potensial terjadi ledakan di Matahari, atau yang orang awam sering sebut sebagai badai matahari, jelas Johan.

Selain bintik Matahari, Johan juga mengkaji fenomena lidah api Matahari atau filamen (prominensa). Lidah api Matahari bisa terlepas atau menghasilkan ledakan (flare) yang dapat sampai ke Bumi.

Johan mengkaji filamen mulai evolusi pembentukan sampai karakteristiknya. Sehingga, kita bisa ketahui kira-kira yang akan berbahaya bagi Bumi itu seperti apa, katanya.

Jebolan S3 Fisika, Nagoya University, Jepang ini juga mengkaji penjalaran lontaran masa korona coronal mass ejection/CME). CME adalah pelepasan massa dari struktur korona Matahari, disertai pelepasan energi dan medan magnet.

Jadi seperti yang tadi saya sampaikan, filamen bisa terlepas kemudian sampai ke Bumi, itu perlu dikaji terlepasnya seperti apa, apakah kira-kira sampai ke Bumi atau tidak. Kemudian dampaknya seperti apa dengan memprediksi arah komponen medan magnet, jelasnya.

Selain itu, Johan melakukan kajian gerhana matahari. Misalnya pada 2023 lalu, terjadi gerhana matahari total, khususnya bisa diamati dengan jelas dari belahan Indonesia bagian timur.

Johan dan tim melakukan ekspedisi untuk pengamatan gerhana matahari dari Stasiun Bumi BRIN di Biak. Dirinya juga bekerja sama dengan Institut Teknologi Sumatera (ITERA) yang melakukan pengamatan gerhana matahari dari Timor Leste.

BRIN dan ITERA kemudian saling berkolaborasi dalam penggunaan dan analisis data pengamatan gerhana. Kerja sama ini membuahkan hasil, dengan diterimanya makalah berjudul The Coronal Flattening Index at the 20 April 2023 Total Solar Eclipse and the Prediction of Solar Cycle 25, untuk diterbitkan di Jurnal Solar Physics.

Data dari pengamatan Matahari digunakan untuk mengkaji bentuk korona Matahari. Korona Matahari yaitu lapisan terluar dari atmosfer Matahari yang bentuknya menyerupai mahkota dan dapat menjadi penanda siklus matahari.

Siklus matahari adalah daur aktivitas matahari yang berulang setiap sekitar sebelas tahun sekali.

Artinya, aktivitas Matahari tidak selalu sama di setiap saat. Terkadang, matahari sangat aktif melepaskan energi eksplosif. Sementara, di periode lainnya matahari bersikap sangat tenang.

Korona Matahari akan terlihat lebih jelas saat gerhana matahari, karena ada bagian Matahari yang tertutupi oleh piringan Bulan. Korona itu bentuknya bisa berubah-ubah sesuai dengan fase siklus matahari, jelas Johan yang tahun ini genap berusia 40 tahun.

Saat ini, pihaknya juga sudah menggunakan teknik kecerdasan buatan (AI) untuk melakukan analisis prediksi aktivitas Matahari, selain juga menggunakan pemodelan.

Topik Menarik