Membongkar Budaya Diam: Antara Loyalitas dan Kebenaran dalam Institusi Penegak Hukum

Membongkar Budaya Diam: Antara Loyalitas dan Kebenaran dalam Institusi Penegak Hukum

Nasional | bogor.inews.id | Jum'at, 28 Maret 2025 - 16:14
share

BOGOR, iNewsBogor.id – Fenomena budaya diam atau Code of Silence dalam institusi penegak hukum menjadi sorotan publik dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai kasus yang menyita perhatian menunjukkan pola serupa: penanganan lambat, kurangnya transparansi, dan komunikasi yang minim empati. Fenomena ini menggambarkan dilema antara loyalitas terhadap sesama anggota dan kewajiban menegakkan kebenaran.

Budaya diam adalah norma tidak tertulis di mana anggota institusi memilih untuk tidak melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh rekan mereka. Carl B. Klockars menyebut fenomena ini sebagai bentuk solidaritas yang justru dapat melanggengkan impunitas. Bahkan, sosiolog Maurice Punch menggambarkannya sebagai “penyimpangan yang dilegalkan oleh struktur organisasi.”

Di Indonesia, gejala ini terlihat dalam berbagai kasus yang melibatkan aparat penegak hukum. Dari dugaan rekayasa informasi hingga keterlambatan dalam penyelidikan, semua menunjukkan bahwa Code of Silence bukanlah mitos—melainkan sesuatu yang sistemik dan berdampak luas.

 

Mengapa Code of Silence Berbahaya?

Budaya diam bukan sekadar persoalan etika internal, tetapi juga berimplikasi pada integritas organisasi dan kepercayaan publik. Klockars (2004) menekankan bahwa semakin kuat budaya diam dalam sebuah institusi, semakin rendah tingkat integritasnya. Ketika integritas melemah, kepercayaan masyarakat pun terkikis.

Menurut survei Edelman Trust Barometer 2023, lembaga penegak hukum di berbagai negara mengalami penurunan kepercayaan akibat kurangnya transparansi dalam menangani kasus internal. Dalam konteks Indonesia, sorotan publik terhadap institusi keamanan semakin tajam—bukan karena kebencian, tetapi karena harapan yang tinggi.

Loyalitas vs. Kebenaran

Esprit de Corps merupakan nilai yang membentuk solidaritas di institusi seperti Polri dan TNI. Namun, ketika nilai ini lebih diutamakan daripada kesetiaan terhadap hukum dan kebenaran, maka loyalitas bisa berubah menjadi distorsi nilai.

“Dilema klasik yang sering muncul adalah memilih membela rekan atau membela integritas institusi. Namun, membela kebenaran justru merupakan bentuk loyalitas tertinggi terhadap institusi itu sendiri,” ujar Kompol M. Fadli Amri, mahasiswa pascasarjana STIK–PTIK dan Founder @TanyaPolisi.

Krisis Komunikasi, Krisis Kepercayaan

Dalam banyak kasus, kegagalan komunikasi publik justru memperparah krisis. Ketika sebuah peristiwa serius hanya dijawab dengan keheningan atau candaan yang tidak pantas, masyarakat akan menilai bahwa negara abai terhadap keadilan.

Dalam ilmu komunikasi krisis, respons pertama yang harus dikedepankan adalah empati—menunjukkan keprihatinan, menjelaskan langkah konkret, dan memberikan harapan kepada publik. Tanpa itu, persepsi publik akan terbentuk liar dan kepercayaan terhadap institusi semakin melemah.

 

Solusi: Membongkar Budaya Diam

Code of Silence tidak bisa dihapus hanya dengan instruksi atau himbauan. Diperlukan perubahan budaya organisasi yang menyeluruh melalui langkah-langkah berikut:

  1. Sistem Pelaporan Internal yang Kuat
    Perlu ada mekanisme pelaporan yang aman dengan perlindungan maksimal bagi pelapor, serta sistem independen dalam menindaklanjuti laporan.

  2. Pendidikan Etika dan Integritas
    Etika harus menjadi bagian dari pelatihan di setiap jenjang, bukan hanya sekadar teori, tetapi juga praktik dalam kehidupan sehari-hari.

  3. Kepemimpinan dengan Keteladanan Moral
    Pemimpin harus menunjukkan keberanian moral, tidak hanya ketegasan struktural.

  4. Kolaborasi dengan Masyarakat dan Media
    Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi budaya dalam institusi, dengan keterlibatan masyarakat sipil dan media sebagai kontrol sosial.

  5. Evaluasi Budaya Organisasi
    Selain menilai kinerja operasional, evaluasi terhadap budaya organisasi perlu dilakukan secara berkala untuk memastikan transparansi berjalan dengan baik.

     

Saatnya Berani Bicara

Budaya diam hanya akan semakin mengakar jika terus dibiarkan. Sebaliknya, membongkar budaya ini merupakan langkah awal dalam menegakkan integritas institusi penegak hukum.

Keberanian untuk mengakui kesalahan dan komitmen untuk memperbaikinya adalah bentuk loyalitas sejati terhadap institusi. Pada akhirnya, kualitas demokrasi tidak hanya ditentukan oleh kekuatan hukum, tetapi juga oleh kejujuran individu di dalamnya.

"Jika kita sungguh mencintai institusi ini, maka kita harus berani menyuarakan kebenaran. Tidak ada kehormatan dalam menutupi pelanggaran, tetapi kehormatan sejati ada dalam keberanian untuk memperbaiki kesalahan." – Kompol M. Fadli Amri.

Topik Menarik