Perbandingan Nagarakretagama dan Pararaton Gambarkan Keadaan Kerajaan Singasari
JAKARTA - Dua kitab kuno Kakawin Nagarakretagama dan Pararaton sama-sama menggambarkan bagaimana kondisi Kerajaan Kediri dan Tumapel, yang berubah nama menjadi Singasari. Kedua kitab kuno itu jadi rujukan sejarah saat ini mengenai deskripsi penggambaran kehidupan kedua kerajaan di masa itu.
Jika dibandingkan keduanya memang ada beberapa kesamaan yang ditulis oleh dua orang berbeda. Tapi ada perbedaan eksplisit di antara keduanya. Pada Kakawin Pararaton misalnya terdapat uraian yang lebih luas berkat adanya tambahan-tambahan sumber lain.
Sedangkan di Kakawin Nagarakretagama Pupuh XL disebutkan tentang Raja Rajasa jadi inti uraian Pararaton tentang cerita Ken Arok dari lahirnya sampai pencandiannya di Kegenengan pada tahun 1227. Uraian Pararaton tentang cerita Ken Arok diperluas dengan tambahan mendetail.
Sejarawan Prof. Slamet Muljana pada bukunya "Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit" menjelaskan, Nagarakretagama pupuh XL itu mencakup tempat Raja Rajasa mendirikan kerajaannya di sebelah timur Gunung Kawi, dalam hal ini diidentikkan dengan Singasari.
Kemudian kedua adanya pemberontakan Raja Rajasa terhadap Raja Kertajaya di Kediri pada tahun 1222 berakhir dengan kemenangan Tumapel. Ketiga pecandian Raja Rajasa di Kagenengan pada tahun 1227, berikutnya Raja Rajasa menjadi leluhur raja-raja di Singasari dan di Majapahit.
Pada Nagarakretagama Pupuh XL uraiannya hanya terdiri lima bait atau 20 baris itu. Hal itulah yang diperluas oleh penulis Pararaton menjadi 16 halaman, dengan diberi judul Katuturanira Ken Arok. Sesudah itu Pararaton menyajikan, uraian tentang raja-raja Singasari dan Majapahit mulai dari Anusapati pada tahun 1227 sampai Sang Mokta ri kadaton pada tahun saka 1400 (=1478 Masehi).
Salah satunya cerita ketika anak janda dari Jiput yang sanggup menjadi tumbal untuk pembangunan pintu gerbang pertapaan Tapawangkeng dari mandala Bulalak. Nama Tapawangkeng dari mandala Bulalak itu jelas diambil dari Tantu Panggelaran. Cerita tentang perjalanan brahmana Lohgawe dari India ke Jawa, dengan naik tiga helai daun kekatang untuk mencari Ken Arok sebagai titisan Dewa Wisnu mirip sekali dengan perjalanan Mpu Bharada dari Jawa ke Pulau Bali untuk bertemu dengan pendeta Kuturan dalam Calon Arang.
Mpu Bharada juga dikatakan naik daun kekatang (keluwih). Mpu Bharada dalam Calon Arang menjadi pola brahmana Lohgawe dalam Pararaton. Lain daripada itu garis besar uraian Pararaton dari Raja Rajasa Sang Amurwabhumi memang sejajar sekali dengan uraian Nagarakretagama pupuh XL sampai XLIX, dengan tambahan fakta sejarah yang masih beredar dalam masyarakat.