NU 102 Tahun: Dari Kolaborasi Menuju Peradaban Inklusif

NU 102 Tahun: Dari Kolaborasi Menuju Peradaban Inklusif

Nasional | sindonews | Selasa, 28 Januari 2025 - 21:34
share

Eko ErnadaAnggota Badan Pengembangan Jaringan Internasional (BPJI-PBNU)Ketua PCI NU Australia-New Zealand (2007-2012)

APA makna 102 tahun (31 Januari) bagi sebuah organisasi sebesar Nahdlatul Ulama (NU)? Bagi NU, usia ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari perjalanan panjang yang penuh dedikasi dalam menjaga keutuhan bangsa dan memperjuangkan nilai-nilai Islam moderat. Pencapaian ini menggambarkan peran historis NU sebagai motor penggerak perdamaian, harmoni, dan pemberdayaan masyarakat. Motto kepengurusan NU di bawah Kiai Miftachul Akhyar dan Kiai Yahya Cholil Staquf, "Merawat Jagat, Membangun Peradaban" menjadi panduan strategis yang mempertegas pentingnya kolaborasi dalam membangun masa depan.

Kolaborasi mencerminkan semangat untuk tolong-menolong dalam kebaikan yang tidak hanya bersifat pragmatis tetapi juga bernilai spiritual. Prinsip ini diabadikan dalam QS Al-Maidah: 2, yang berbunyi: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran". Dalam konteks ini, kolaborasi menjadi alat strategis sekaligus cerminan nilai spiritual Islam yang mendalam.

Dengan lebih dari 56,9 penduduk Indonesia, atau sekitar 159 juta orang, yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari NU (data LSI 2023), organisasi ini memiliki kapasitas besar untuk menjadi katalis dalam mewujudkan semangat kolaborasi ini. Basis anggota yang masif ini menunjukkan tidak hanya kekuatan demografis NU, tetapi juga tanggung jawab besar dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam rahmatan lil alamin ke dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Tantangan zaman yang dihadapi saat ini jauh lebih kompleks, mencakup dinamika geopolitik, populisme agama, krisis ekologi, dan disrupsi sosial akibat perkembangan teknologi digital.

Secara historis, Islam telah membuktikan bahwa kolaborasi adalah pilar utama peradaban. Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, ilmuwan Muslim bekerja sama dengan berbagai budaya seperti Yunani, Persia, dan India untuk menghasilkan inovasi besar dalam ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi. Kolaborasi lintas budaya ini menjadi bukti bahwa kemajuan peradaban tidak bisa dicapai secara eksklusif, melainkan melalui sinergi yang inklusif.

Peradaban inklusif, sebagaimana ditegaskan oleh pemikir Islam seperti Ibn Khaldun, adalah peradaban yang terbuka terhadap dialog lintas budaya dan lintas agama, menciptakan ruang bagi keberagaman untuk berkembang menjadi kekuatan bersama. Hal ini tetap relevan di era modern, di mana tantangan global seperti perubahan iklim, disinformasi, dan ketimpangan sosial memerlukan pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.

Tantangan zaman saat ini menempatkan agama dalam sorotan yang semakin tajam. Konflik berbasis agama di Timur Tengah terus menciptakan ketegangan yang meluas lintas negara. Di sisi lain, meningkatnya Islamofobia di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan tantangan persepsi global terhadap Islam yang perlu dijawab dengan narasi Islam moderat. Populisme agama, yang mempolarisasi masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia, semakin memperjelas urgensi untuk memperkuat narasi keberagaman dan toleransi. NU, dengan warisan Islam moderatnya, memiliki posisi strategis untuk menjawab tantangan ini melalui kolaborasi lintas agama dan budaya.

Selain itu, krisis ekologi telah menciptakan ancaman nyata yang memerlukan solusi berbasis nilai keagamaan. Pemanasan global, kerusakan lingkungan, dan eksploitasi sumber daya alam menuntut respons yang terkoordinasi. Dalam hal ini, NU dapat memainkan peran penting melalui pendekatan keberlanjutan yang terinspirasi oleh nilai-nilai Islam. Muktamar Fiqih Peradaban, misalnya, dapat menjadi ruang untuk merumuskan strategi berbasis ajaran Islam yang relevan dengan pelestarian lingkungan dan keadilan ekologi.

Perkembangan teknologi digital juga menghadirkan disrupsi sosial yang tidak kalah signifikan. Teknologi digital telah menciptakan peluang sekaligus tantangan bagi organisasi seperti NU. Di satu sisi, teknologi dapat digunakan untuk memperluas jangkauan dakwah, mempromosikan Islam moderat, dan membangun kesadaran global tentang nilai-nilai keislaman yang inklusif.

Namun, di sisi lain, teknologi juga digunakan untuk menyebarkan disinformasi, narasi ekstremis, dan hoaks yang merusak harmoni sosial. Oleh karena itu, literasi digital menjadi agenda penting bagi NU untuk memastikan penggunaan teknologi yang mendukung keberlanjutan peradaban.

Bagi NU, kolaborasi mencakup penguatan sinergi internal dan eksternal. Secara internal, NU perlu memperkuat struktur organisasi dari pusat hingga ranting, serta mempererat hubungan antar lembaga dan badan otonom seperti LP Ma'arif NU, Muslimat NU, Fatayat NU, dan Ansor. Komunikasi yang efektif dan koordinasi yang terstruktur adalah fondasi utama untuk mewujudkan visi rahmatan lil alamin secara konsisten. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan pembinaan berkelanjutan juga menjadi langkah strategis agar kader NU mampu beradaptasi dengan tantangan zaman.

Secara eksternal, kolaborasi NU dengan elemen bangsa telah menjadi teladan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada Muktamar NU tahun 1928, para kiai menyerukan "perang kebudayaan" untuk melawan kolonialisme melalui penguatan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat. Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936 menetapkan Indonesia sebagai “Darul Islam” yang harus diperjuangkan. Puncaknya, Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 mewajibkan umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajahan. Seruan ini memobilisasi ribuan santri dan masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan dalam pertempuran Surabaya.

Di tingkat global, NU dapat menggunakan platform seperti Religion of Twenty (R20) untuk memperkuat dialog antaragama dan melawan narasi ekstremis. R20, yang menjadi bagian dari forum G20, menciptakan ruang bagi dialog lintas agama untuk membahas isu-isu global seperti ketidakadilan sosial, konflik berbasis agama, dan pelestarian lingkungan. Dengan peran aktif dalam inisiatif ini, NU menunjukkan kepemimpinannya dalam mempromosikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

NU juga perlu melanjutkan inisiatif seperti Muktamar Fiqih Peradaban untuk menawarkan solusi terhadap isu-isu global. Dalam muktamar ini, NU dapat mengembangkan narasi Islam yang relevan dengan tantangan zaman, seperti pelestarian lingkungan berbasis nilai-nilai keagamaan, keadilan sosial, dan resolusi konflik yang mengutamakan dialog dan toleransi. Sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Umum PBNU Kiai Yahya Cholil Staquf, "Agama memiliki tanggung jawab untuk mendorong perdamaian dan mengatasi berbagai masalah global yang muncul akibat ketidakadilan dan ekstremisme".

Namun, menerjemahkan kolaborasi menjadi aksi nyata bukanlah tanpa hambatan. Tantangan internal seperti resistensi terhadap perubahan dan fragmentasi organisasi harus diatasi melalui pendekatan yang strategis. Di sisi lain, tantangan eksternal seperti disinformasi, populisme agama, dan meningkatnya sentimen Islamofobia memerlukan penguatan literasi digital serta kesadaran kolektif di semua elemen organisasi. Literasi digital tidak hanya penting untuk melawan hoaks tetapi juga untuk memperluas jangkauan dakwah NU secara global.

Momentum Harlah ke-102 NU adalah kesempatan untuk merumuskan langkah strategis yang visioner dan memperkuat peran NU dalam menjawab tantangan zaman. Dengan lebih dari satu abad keberadaannya, NU memiliki landasan historis dan demografis yang kokoh untuk membawa perubahan signifikan di tingkat nasional maupun global.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai rahmatan lil alamin dan semangat kolaborasi ke dalam setiap kebijakan dan program, NU dapat terus menjadi penjaga peradaban yang membawa manfaat luas bagi umat manusia. Dengan merujuk pada prinsip peradaban inklusif yang membuka ruang dialog lintas budaya dan agama, NU dapat membuktikan bahwa 102 tahun adalah awal baru bagi perjalanan sebagai jam’iyyah yang kokoh dan strategis.

Topik Menarik