Respons Anies Baswedan Terkait Gugatan 4 Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Soal Presidential Threshold

Respons Anies Baswedan Terkait Gugatan 4 Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Soal Presidential Threshold

Nasional | palembang.inews.id | Sabtu, 4 Januari 2025 - 22:00
share

JAKARTA, iNewspalembang.id – Gugatan empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, terkait kententuan presidential threshold 20 ke Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat pujian dari Anies Baswedan.

Anies yang mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengaku bangga dengan empat mahasiswa yakni, Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna itu, termasuk dalam deretan penggungat ketentuan tersebut.

"Di antara deretan nama penggugat presidential threshold melalui Mahkamah Konstitusi sejak awal hingga kini, terdapat empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam gugatan terakhir yang berhasil dimenangkan,” tulis Anies vie unggahan akun X @aniesbaswedan, Sabtu (4/1/2025).

Empat mahasiswa tersebut, dinilai Anies, merupakan anak muda yang memperkuat demokrasi Indonesia.

“Bukan anak muda yang melucutinya,” kata dia.

Anies menyebut, masa depan demokrasi di Tanah Air terjaga selama Indonesia memiliki anak muda seperti Enika dkk.

"Selama kita memiliki pemuda-pemudi seperti mereka, harapan untuk masa depan demokrasi Indonesia akan selalu menyala,” ungkap dia.

Mahasiswa tersebut, baik Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei dan Tsalis Khoirul Fatna merupakan mahasiswa prodi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga angkatan 2021. Sedangkan Faisal Nasirul Haq dari Prodi Ilmu Hukum angkatan 2021. Empat mahasiswa ini tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) Fakultas Syariah dan Hukum.

Sementara, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Noorhaidi Hasan mengapesiasi perjuangan empat mahasiswa mereka. Karena, mahasiswa tersebut mampu menerapkan kompetensi keilmuan dan keterampilan hukum yang didapat di kampus untuk beracara di MK.

“Mereka telah memperjuangkan terwujudnya demokrasi yang lebih baik dan inklusif di Indonesia,” jelas dia.

Bagi Enika, gugatan ini dilakukan setelah Pilpres 2024 untuk memastikan kajian yang dilakukan MK bersifat akademis dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik. 

“Kami hanya ingin keputusan MK benar-benar berdasarkan substansi hukum, bukan politik,” tutur dia.

Sebelumnya, MK telah mengabulkan gugatan nomor 62/PUU-XXII/2024 itu diajukan keempat mahasiswa itu. Norma yang diuji oleh keempat mahasiswa itu adalah Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Norma itu menyatakan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Namun karena gugatan itu dikabulkan, MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan, Kamis (2/1/2025).

MK menyatakan, ambang batas itu tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.

MK menilai, dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal, maka ada kecenderungan di setiap pilpres hanya terdapat dua pasangan calon.

Padahal, berdasarkan pengalaman, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi jika pilpres hanya diikuti dua paslon saja.

Ambang batas juga berpotensi menghalangi banyaknya pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” kata Saldi.

 

Topik Menarik