Pertempuran Pangeran Diponegoro dengan Gurunya di Perang Sabil 

Pertempuran Pangeran Diponegoro dengan Gurunya di Perang Sabil 

Nasional | okezone | Minggu, 29 Desember 2024 - 05:31
share

PERTEMPURAN antara pasukan Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo pernah terjadi. Padahal kedua orang ini adalah sosok yang dekat, bahkan Pangeran Diponegoro konon pernah berguru ke Kiai Mojo, serta pernah menjadi panglima tempur pasukan Pangeran Diponegoro.

Kala itu mayoritas dari pasukan Kiai Mojo diisi oleh orang-orang Pajang. Hal ini menambah kesibukan Pangeran Diponegoro yang tengah berupaya melakukan perlawanan ke pemerintah kolonial Belanda.

Peperangan itu konon terjadi karena mengusung aspek kedaerahan yang terlalu kuat. Padahal kedua kubu ini sebenarnya sama-sama berjuang melawan penjajah Belanda. Bahkan sebagian besar basis pasukan mereka juga ada di Jawa tengah bagian selatan. 

Pasukan Diponegoro yang didukung kaum santri sebanyak 200 orang laki-laki dan perempuan sebagaimana dikutip dari Peter Carey dalam bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1785 - 1825)". Para pasukan sang pangeran ini terdiri dari beberapa orang Arab dan peranakan Tionghoa.

Tak hanya itu, pasukan Pangeran Diponegoro juga ada yang berasal dari golongan santri istana, yang merupakan anggota hierarki pejabat resmi islam dan resimen pasukan yang direkrut dari para santri keraton. Sementara kelompok yang dibawa Kiai Mojo yang notabene juga dekat dengan Pangeran Diponegoro.

 

Bahkan di beberapa catatan sejarah merupakan penasehat sang pangeran, diisi oleh keluarga besar Kiai Mojo dan para santrinya yang datang dari tiga pesantren di Mojo, Banderan, dekat Delanggu, dan Pulo Kadang dekat Imogiri. 

Perang Sabil namanya, menjadi catatan sejarah kelam bagi perjuangan Pangeran Diponegoro karena dimensi kedaerahan yang terlalu ditonjolkan. Alhasil beberapa kali pasukan keduanya ini bentrok di daerah-daerah seperti Demak pada Agustus - September 1825, Madiun pada November 1825 - Januari 1826, Rembang dan Jipang Rajekwesi, yang kini masuk Bojonegoro, pada November 1827 sampai Maret 1828.

Saat itu pasukan Pangeran Diponegoro didominasi laskar Mataram yang setia kepada sang pangeran sewaktu gerak maju pangeran ke Surakarta pada Agustus - Oktober 1826. Mutu tempur pasukan, menurut Pangeran Diponegoro juga tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain, sebagaimana berikut ini. 

"Penduduk Madiun bagus dalam bertahan terhadap serangan pertama, namun setelah itu mereka tidak banyak berguna. Penduduk Pajang juga terkenal pemberani, tetapi tidak lama setelah itu kondisinya sama seperti yang tadi. Penduduk Bagelen lebih baik, tapi mereka harus bertempur di daerahnya sendiri. Jika di luar itu, mereka payah. Tetapi penduduk Mataram terbaik di antara semua, mereka bertarung dengan gigih dan tahu bagaimana harus prihatin dan tabah menghadapi penderitaan akibat perang" demikian catatan pada Babad Diponegoro.

Putra tertua Pangeran Diponegoro juga mengemukakan tentang karakter orang Mataram, yaitu mereka dapat menjaga rahasia, punya hati yang tulus, dan berdisiplin dalam menaati perintah agama. 

Topik Menarik