Harmoni di Tengah Kebisingan: Belajar Hidup Berbangsa dari Pengajian dan Pedagang Asongan
Muhammad Irfanudin Kuniawan Dosen Universitas Darunnajah
Bisakah sebuah bangsa besar menemukan harmoni di tengah keramaian dan kebisingan? Pertanyaan ini mungkin terasa retoris, tetapi sangat relevan bagi Indonesia, negara dengan 273 juta penduduk yang beragam latar belakang.
Di tengah perbedaan, sering kali muncul gesekan. Namun, seperti sebuah pengajian akbar yang ramai dengan suara pedagang asongan, apakah kita bisa belajar melihat kebisingan itu sebagai bagian dari harmoni?
Bayangkan anda hadir di sebuah pengajian siang bolong, di bawah terik matahari. Di lapangan kecil yang biasanya digunakan untuk bermain sepak bola, bersama ratusan jamaah duduk lesehan di atas terpal, mendengarkan ceramah tentang rasa syukur dan kemerdekaan. Di tengah suasana yang khidmat, suara sang penceramah beradu dengan teriakan pedagang: “Es teh! Es teh dingin!”
Suasana menjadi semakin riuh dengan bunyi terompet pedagang pentol, diiringi mainan anak-anak yang berputar, dan sesekali teriakan bocah yang memecah keheningan. Panitia? Cuek. Pedagang? Tetap semangat mencari nafkah. Sang penceramah? Berusaha menyesuaikan nada dengan harmoni yang tidak terduga.
Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat sebagai kekacauan. Tetapi, jika dilihat lebih dalam, ini adalah wajah Indonesia: kompleks, berwarna, dan penuh dinamika. Pengajian bukan sekadar forum keagamaan; ia adalah cermin kehidupan masyarakat yang mencoba berdampingan di tengah perbedaan.
Peristiwa di atas mengingatkan kita pada tantangan dalam kehidupan bernegara. Seperti suara pedagang yang bersahut-sahutan di tengah ceramah, suara rakyat sering kali bersinggungan dengan kebijakan pemerintah.
Pedagang es teh yang berjuang mencari nafkah di pengajian adalah representasi dari masyarakat kecil yang mencoba bertahan hidup di tengah sistem ekonomi yang sering kali tidak berpihak pada mereka.
Di sisi lain, pemerintah seperti penceramah di pengajian berusaha menyampaikan pesan, menerapkan kebijakan, dan membangun fondasi bangsa. Namun, seperti dalam pengajian itu, jika tidak ada koordinasi antara “penceramah” dan “pedagang,” yang terjadi adalah kebisingan yang tidak terarah.
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), Indonesia memiliki lebih dari 64 juta UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Namun, sektor ini juga yang paling terdampak oleh pandemi dan perubahan ekonomi global. Banyak dari mereka, seperti pedagang asongan di pengajian, harus bersiasat di tengah ketidakpastian demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di sisi lain, pemerintah menggalakkan program digitalisasi UMKM, subsidi, dan pinjaman lunak. Namun, seperti sang penceramah yang berusaha menyesuaikan dengan suara pedagang, kebijakan ini sering kali tidak cukup menyentuh akar persoalan. Koordinasi antara pemerintah dan rakyat, antara suara ceramah dan suara pedagang masih perlu diharmoniskan.
Lantas, bagaimana cara kita sebagai bangsa untuk mengelola keberagaman ini? Pertama, perlu ada kesadaran bahwa setiap suara, sekecil apa pun, memiliki peran dalam membangun harmoni nasional. Sama seperti pedagang asongan yang melengkapi dinamika pengajian, rakyat kecil juga adalah bagian integral dari kehidupan bernegara.
Kedua, dialog antara pemerintah dan masyarakat harus lebih intensif dan inklusif. Jika penceramah di pengajian bisa berkompromi dengan suara pedagang, pemerintah juga harus mampu mendengar dan merespons suara rakyat dengan bijaksana.
Ketiga, penting bagi kita untuk melihat keberagaman ini bukan sebagai sumber konflik, melainkan sebagai potensi. Seperti orkestra yang menghasilkan harmoni dari berbagai instrumen, Indonesia juga bisa menemukan harmoni dalam keberagamannya asal ada koordinasi, komunikasi, dan kesadaran bersama.
Mari kita belajar dari kisah pengajian di atas. Di tengah hiruk-pikuk suara pedagang dan ceramah, ada pelajaran besar tentang kehidupan bernegara: bahwa keberagaman adalah keniscayaan, dan harmoni hanya bisa tercipta jika kita saling mendengar dan memahami.
Sebagai rakyat, mari kita terus bersuara dengan cara yang konstruktif. Dan sebagai pemerintah, mari kita menjadi pemimpin yang tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengar. Karena, seperti dalam QS. Al-Baqarah:126 yang sering dikutip para penceramah, doa untuk tanah air tidak hanya tentang keberkahan, tetapi juga tentang bagaimana kita menjaga harmoni di dalamnya.
TNI Bentuk Satgas Tindak Prajurit Terlibat Judi Online, Narkoba, Penyelundupan, dan Korupsi
Indonesia adalah rumah bagi kita semua. Suarakanlah harapan, dengarkanlah mimpi, dan jadikan keberagaman ini sebagai kekuatan untuk melangkah bersama menuju masa depan yang lebih baik. Bisakah kita menemukan harmoni di tengah kebisingan? Tentu saja bisa—asal kita mau mendengar.