Masalah Tafsir Hukum atas UU Tipikor Tahun 1999

Masalah Tafsir Hukum atas UU Tipikor Tahun 1999

Nasional | sindonews | Kamis, 14 November 2024 - 07:39
share

Romli Atmasasmita

Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Tipikor ) Tahun 1999 telah berlaku kurang lebih 25 (dua puluh lima) tahun yang lampau sampai saat ini. Dari pengalaman praktik penegakannya sering menimbulkan penafsiran hukum berbeda dari para ahli, praktisi hukum, dan akademisi hukum.

Perbedaan tafsir hukum tersebut sejatinya dipicu oleh kurangnya pemahaman mengenai aspek historis, tujuan pembentukannya (teleologis), normative-sistematis dan abstraksi logis, serta tafsir hukum lainnya yang berkaitan erat dengan perkara korupsi yaitu berasal dari sumber hukum umum hukum pidana yaitu, undang-undang, doktrin hukum pidana, dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (yurisprudensi).

Kelaziman praktik aparat penegak hukum (APH) menggunakan kedua UU Tipikor tersebut merupakan wujud nyata aliran/paham legalistik yang bertumpu pada asas tiada pidana tanpa kesalahan. Konsekuensi logis pemahaman aliran legalistik menimbulkan tafsir hukum khususnya atas ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor 1999 sebagai berikut: sekalipun modus operandi suatu pelanggaran itu masuk wilayah peraturan perundangan lain, akan tetapi bila unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi telah terpenuhi, maka UU Tipikor dapat diterapkan.

Pendapat ini berbeda dengan pendapat bahwa, ketentuan Pasal 144 UU Tipikor 1999 harus ditafsirkan sesuai dengan maksud dan tujuan pembentuk UU yaitu membatasi perluasan penerapan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor 1999 terhadap setiap pelanggaran UU yang telah menimbulkan kerugian keuangan negara.

Pendapat pertama dilandaskan pada asas legalitas, sedangkan pendapat kedua dilandaskan pada tafsir teleologis. Adanya perbedaan tafsir hukum tersebut mencerminkan belum terdapat kepastian hukum tentang penerapan UU Tipikor 1999/2001 terhadap pelanggaran UU yang menimbukan kerugian keuangan negara.

Masalah tafsir hukum yang kedua adalah mengenai unsur perbuatan yang bersifat melawan hukum (PMH) yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor `1999. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor mengemukakan sebaga berikut: Yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Dalam ketentuan ini, kata "dapat" (menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara) sebelum frasa "merugikan keuangan atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Selanjutnya dinyatakan bahwa, benar tindak pidana korupsi adalah tindak pidana formil.

Masalah tafsir ketiga dari UU Tipikor 1999/2001 adalah mengenai unsur kerugian keuangan negara. Unsur kerugian keuangan negara telah berhasil dirumuskan pengertiannya secara hukum, yaitu terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yaitu Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Kerugian keuangan negara secara hukum titik beratnya adalah adanya kerugian yang nyata dan pasti; yang dimaksud dengan kerugian yang nyata dan pasti berdasarkan Putusan MKRI, adalah, kerugian yang dapat dihitung ialah kerugian aktual (actual loss) bukan hanya diperkirakan atau indikasi semata-mata. Kerugian keuangan yang tidak dapat dihitung secara nyata dan pasti tidak memenuhi asas kepastian hukum yang rentan terhadap perlindungan hak asasi terdakwa selama dan dalam proses permeriksaan di sidang pengadilan.

Tiga masalah tafsir hukum sebagaimana diuraikan merupakan hambatan yang menghadapi jalan buntu untuk menemukan kebenaran materiel yang merupakan landasan mencapai kepastian hukum,mkeadilan dan kemanfaatan dengan alasan bahwa, ketiga tujuan hukum pidana tersebut tidak sekali-kali dimaksudkan hanya berpihak untuk Negara melainkan juga bagi terdakwa. Hanya mengandalkan kekuatan keyakinan hakim saja dalam sistem pembuktian negatif (negative wettelijke beginsel) tidak memadai karena keberhasilan bekerjanya sistem peradilan pidana dikembalikan kepada (keyakinan) hakim yang rentan terhadap subjektivitas.

Selain faktor tersebut, dapat dikemukakan bahwa, pemahaman Undang-Undang Tipikor terutama ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang merupakan momok pencari keadilan juga penasihat hukumnya adalah disebabkan kedua pasal aquo memuat 4 (empat) aspek hukum yang memang sulit dipisahkan satu sama lain sekalipun dapat dibeda-bedakan sehingga tidak mudah dipahami oleh APH maupun hakim.

Keempat aspek hukum tersebut adalah aspek hukum pidana , aspek hukum perdata, aspek hukum tata usaha negara, dan aspek hukum keuangan. Keberadaan keempat aspek hukum di dalam ketentuan UU TIpikor tersebut mengakibatkan proses peradilan tindak pidana tipikor tidak dapat diselesaikan secara efisien dan efektif kecuali menggunakan tenaga jasa ahli dalam bidang hukum masing-masing.

Topik Menarik