4 Masjid Tertua di Sulawesi Utara Saksi Peradaban Islam

4 Masjid Tertua di Sulawesi Utara Saksi Peradaban Islam

Nasional | BuddyKu | Rabu, 22 Maret 2023 - 15:52
share

MANADO Peradaban Islam di wilayah Nusantara, termasuk di Sulawesi Utara, salah satunya ditandai dengan berdirinya bangunan masjid. Tak hanya sebagai tempat ibadah, masjid dalam sejarahnya juga tumbuh menjadi ruang untuk berinteraksi sosial masyarakat.

Sejumlah masjid didirikan para penyebar agama Islam di wilayah Sulawesi Utara, untuk memudahkan melakukan syiar dan juga melakukan kehidupan sosial bermasyarakat. Usianya pun sudah mencapai ratusan tahun, dan hingga kini masih dipertahankan.

Berawal dari jalur laut, interaksi sosial masyarakat di pesisir Sulawesi Utara, dengan para penganut Islam semakin berkembang. Islam diterima dan berkembang menjadi ajaran yang dianut di Sulawesi Utara. Berikut empat masjid tertua di wilayah Sulawesi Utara, yang menjadi saksi peradaban Islam:

1. Masjid Al-Muttaqin Masjid ini tidak terlepas dari sejarah masuknya agama Islam di Kota Manado, lewat jalur pesisir laut yang dibawa oleh rombongan Kesultanan Ternate. Mereka mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Dua rombongan nelayan dari Kesultanan Ternate ini, datang ke wilayah Sulawesi Utara, sekitar tahun 1750, satu kapal ke Manado, sedang satu kapal lagi ke Sangihe.

Para nelayan itu masuk lewat pesisir laut, dan tiba di Pondol. Pada waktu itu, Pondol, merupakan kampung yang letaknya paling ujung, di sebelah utara masih merupakan gunung dan hutan rimba. Pondol berasal dari bahasa Bantik, yang artinya ujung.

Selain menangkap ikan, mereka juga mulai berdakwah tentang ajaran Islam kepada masyarakat pesisir. Lama-kelamaan mereka mulai menetap dan semakin berkembang, sehingga dibangunlah Masjid Al Muttaqin pada tahun 1775

Masjid Al Muttaqin yang terletak di Kampung Pondol, Kelurahan Wenang Selatan, Kecamatan Wenang, Kota Manado, juga tidak lepas dari sejarah Kesultanan Yogyakarta. Di kawasan Masjid Al Muttaqin, dahulu disebut Pondol Raden Mas yang merupakan tempat tinggal dari Pangeran Arya Suryeng Ngalaga, Putra Sultan Hamengku Buwono V dari istrinya Kanjeng Ratu Sekar Kedaton.

Kanjeng Ratu Sekar Kedaton di buang ke Manado, sekitar tahun 1855. Di Manado, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, dan putranya bersama para pengikutnya menetap di Kampung Pondol. Pada waktu itu Pondol terbagi dua, Pondol Keraton, dan Pondol Raden Mas. Sayangnya peninggalan-peninggalan benda sejarah dari masjid ini sudah tidak ada lagi, karena masjid tersebut pernah hancur terkena bom pada masa perang dunia dua.

2. Masjid Agung Awwal Fathul Mubien Masjid Agung Awwal Fathul Mubien berdiri sejak tahun 1802. Masjid yang terletak di Kelurahan Kampung Islam, Kecamatan Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara ini, merupakan saksi sejarah perjalanan ajaran Islam di Indonesia bagian timur.

Dahulu, masjid ini tak semegah sekarang. Masih berbentuk sederhana berdinding bambu dengan pondasi batu karang dan berlantai papan dengan luas 4 x 4 meter. Bangunan masjid sudah mengalami lima kali renovasi. Sayangnya, bukti sejarah bangunan awal masjid itu sudah tidak ada lagi, karena pada 2016 masjid tersebut dirombak secara total, dan dibangun kembali menjadi seperti bentuknya yang sekarang.

Yang tersisa hanyalah sebuah mimbar. Mimbar yang dihiasi dengan berbagai ukiran dan ornamen melayu ini, dibuat oleh salah satu keturunan Raja Palembang. Sehingga, tak heran mimbar ini memiliki bentuk dan sama persis dengan mimbar di Masjid Agung Palembang.

3. Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo merupakan masjid peninggalan Kyai Mojo, dan para pengikutnya yang dibuang oleh Belanda ke Tondano, pada akhir tahun 1829, menjelang berakhirnya Perang Jawa.

Letak masjid ini sekitar 1 km sebelum lokasi Makam Kyai Mojo tersebut, dibangun sekitar tahun 1856, di Kampung Jawa Tondano, Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Bangunan Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo yang dulunya masih berbentuk mushola sederhana, dengan dinding terbuat dari bambu dan beratap rumbia tersebut, kini telah berganti menjadi dinding beton serta telah mengalami beberapa kali pemugaran.

Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo bergaya joglo dengan atap limasan tumpang, menyerupai bentuk bangunan Masjid Agung Demak di Jawa Tengah. Meski telah mengalami beberapa kali pemugaran, namun ada beberapa bagian dalam masjid yang masih asli, seperti empat sokoguru atau tiang penyangga setinggi 18 meter, dinding sebelah barat, mimbar, bedug, dan kentongan, serta masih ada juga barang-barang peninggalan lainnya yang tersimpan di gudang.

Bagian dalam atap Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo sepenuhnya terbuat dari kayu yang ditata dengan rapi dan sangat artistik. Ukiran halus bercitarasa tinggi ditoreh di kayu bersilang lengkung yang berada di bagian pusat, yang juga masih asli peninggalan dari bangunan lama.

4. Masjid Al-Huda Masjid Al-Huda terletak di Desa Kopandakan Satu, Kecamatan Kotamobagu Selatan, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara. Masjid tertua di Kotamobagu ini, dibangun pada masa Kolonial Belanda, yakni Februari 1926.

Walau sudah dilakukan renovasi, namun beberapa ornamen bagian dalam masjid masih menunjukan keasliannya, di antaranya, mimbar berbahan kayu adow. Hingga sekarang mimbar berukuran panjang 1 meter, lebar 1,2 meter dan tinggi 2 meter, dengan empat tiang penyangga itu posisinya masih ada hingga sekarang.

Bangunan Masjid Al-Huda selesai dibangun pada Maret 1928. Arsitek yang membangun berasal dari China. Kondisi Masjid Al-Huda sebelum direnovasi keseluruhan berbahan kayu, dengan ukuran awal 14 x 14 meter, bisa menampung 300 jemaah untuk sholat.

Setelah dilakukan pemugaran, bangunan telah berubah ukuran menjadi 17 x 17 meter dan bisa menampung 500 jemaah. Dahulu untuk mengumandangkan Adzan, muazin harus naik ke atas masjid dengan menggunakan anak tangga, lalu mengumandangkan adzan tanpa pengeras suara.

(eyt)

Topik Menarik