Kisah Masyarakat Kasta Terendah Era Kerajaan Majapahit, Kenakan Baju dari Pembungkus Mayat
Kerajaan Majapahit menerapkan sistem pembagian kasta di masyarakat. Ada empat kasta yang berlaku kala itu, yakni brahamana, ksatria, waisya, dan sudra. Keempat golongan ini disebut sebagai warna.
Istilah warna digunakan baik dalam bahasa Sanskerta maupun bahasa Jawa kuno berdasarkan kelahiran. Istilah ini bisa diterjemahkan dengan kata kasta, pada mulanya menunjukkan status sosial. Namun selain empat kasta tersebut, ternyata ada golongan lapisan masyarakat lain yang hidup di masa pemerintahan Kerajaan Majapahit, tetapi tidak termasuk dalam warna.
Mengutip Okezone.com , golongan ini berjumlah tiga yang disebut pada Kakawin Nagarakretagama pupuh 81 / 4 yakni candala, mleccha, dan tuccha. Secara singkat, mereka adalah orang yang diharamkan dalam masyarakat.
Sebagaimana dikutip dari buku " Tafsir Sejarah Nagarakertagama " dari Prof Slamet Muljana, ada beberapa yang menyebut golongan ini sebagai warna kelima atau pancana. Menurut undang-undang, anak yang lahir dari perkawinan campuran mempunyai status lebih rendah daripada ayahnya.
Demikianlah anak yang lahir dari perkawinan campuran antara laki-laki sudra dan perempuan dari ketiga golongan lainnya, statusnya lebih rendah daripada sudra. Kebanyakan candala itu orang-orang yang lahir dari perkawinan campuran di atas itu.
Golongan candala disebut tidak diizinkan tinggal bersama dengan golongan Arya, baik di kota maupun di desa. Mereka berkampung di luar batas kota. Meskipun mereka itu mempunyai mata pencaharian lain, kebanyakan di antara mereka adalah tukang penggotong dan pembakar jenazah atau algojo penjahat yang dijatuhi hukuman mati.
Menurut undang-undang, pakaian mereka dibuat dari bahan pembungkus jenazah yang mereka bakar. Tempat makannya ialah barang pecah-pecahan (kereweng) dan perhiasannya dibuat dari besi.
Keempat golongan warna menjauhkan diri dari mereka agar jangan terjejas oleh keharamanannya atau jatuh ke tarafnya. Pada zaman Gupta, mereka itu diperlakukan sama dengan penderita lepra di Eropa pada abad pertengahan. Jika masuk kota, diharuskan membunyikan keprak kayu sebagai isyarat kepada golongan Arya, untuk menyingkir.
Golongan Mleccha, ialah semua bangsa di luar Arya tanpa pandang bahasa dan warna kulit. Mungkin yang dimaksud dengan Mleccha pada zaman Majapahit ialah pedagang-pedagang asing yang tinggal di kota-kota pelabuhan seperti disebut dalam Negarakertagama pupuh 83 / 3, yakni pedagang-pedagang India, Kamboja, Campa, Siam, dan Cina, yang tidak menganut agama Hindu, sehingga mereka itu tidak bisa masuk anggota masyarakat Arya.
Golongan orang haram terakhir di Kerajaan Majapahit adalah Tuccha. Di dalam bahasa Sanskerta, tuccha berarti kosong. Mungkin golongan ketiga ini mencakup orang-orang haram, yang dianggap sepi atau tidak berguna, bahkan merugikan masyarakat, dengan kata lain penjahat.
Menurut undang-undang Kutara Manawa, siapapun yang melakukan tatayi, jika terbukti maka akan dijatuhi hukuman mati. Menjatuhkan hukuman mati kepada penjahat tatayi adalah salah satu kewajiban raja yang tidak dapat dielakkan dalam melaksanakan dharmanya.
Perbuatan yang termasuk tatayi adalah membakar rumah orang, meracuni sesama, menenung, mengamuk, menfitnah, dan merusak kehormatan perempuan. Pidana itu dijatuhi hukuman tanpa pandang bulu, termasuk guru, anak - anak, orang tua, brahmana, cendekiawan dan semua orang yang disebut pendeta sekalipun. Jika terbukti melakukan kejahatan tatayi dikenakan pidana mati.
(msd)