Fatwa Rasulullah SAW dan Pengertian Nasab yang Perlu Diketahui

Fatwa Rasulullah SAW dan Pengertian Nasab yang Perlu Diketahui

Nasional | BuddyKu | Minggu, 18 Desember 2022 - 18:19
share

Nasab memiliki kedudukan yang penting dalam sebuah keluarga Islam. Meski nasab tidak menentukan kemuliaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta\'ala (karena kemuliaan seseorang hanya dinilai berdasarkan amal shaleh), namun memahami nasab tetap perlu untuk diketahui karena nantinya akan menentukan pembagian waris , perwalian, mengetahui mahram, dan lain sebagianya.

Nasab adalah suatu tali yang menghubungkan keluarga dan hubungan darah lainnya. Secara istilah, nasab memiliki arti keturunan yang didapat dari pernikahan sah dan memiliki ikatan atau hubungan darah yang disebut keluarga, yakni baik yang merupakan hubungan darah yang bersifat vertikal atau ke atas seperti ayah, ibu, kakek, nenek dsb ataupun yang bersifat horizontal atau menyamping seperti paman, bibi, saudara dan lain-lain.

Nasab tidak menentukan posisi kebaikannya di mata Allah Ta\'ala. Apabila bapaknya seorang ahli agama dan ahli ibadah tidak otomatis anaknya akan dinilai Allah Ta\'ala sebagai ahli ibadah dan punya kedudukan mulia. Nasab tidak berguna pada Hari Pembalasan atau Hari Kiamat kelak. Allah Taala berfirman :

[arabOpen] [arabClose]

Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (QS. Al Muminun: 101).

Dalam syarah hadis Imam Muslim, penulis Imam Nawawi rahimahullah berkata, Siapa saja yang amalnya itu kurang, maka kedudukan mulianya tidak bisa menolong dirinya. Oleh karenanya, jangan terlalu berharap dari nasab atau silsilah keturunan dan keutamaan nenek moyang, akhirnya sedikit dalam beramal.

Dalam buku berjudul Fatawa Rasulullah Shallalahu \'Alaihi wa Sallam yang ditulis Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah disebutkan bahwa Rasulullah memfatwakan bahwa anak itu itu adalah anak bagi sang pemilik tempat tidur (tempat ayah ibunya berhubungan suami istri). Sebagai realisasai dari lazimnya tempat tidur sebagai tempat lahirnya anak.

(2) Melalui Pernikahan Fasid. yakni pernikahan yang dilaksanakan tidak memenuhi syarat amupun rukun nikah yang berlaku dalam agama islam. Misalnya saja pernikahan yang melibatkan mempelai wanita yang masih menjalani masa iddah talak (baca hukum talak dalam pernikahan dan perbedaan talak satu, dua dan tiga) baik cerai mati maupun cerai hidup. Adapun anak tersebut yang nantinya lahir dari sang wanita dapat terikat nasabnya dengan sang suami apabila sang suami memiliki syarat-syarat (ayah biologis, dewasa, dan berakal).

(3). Nasab yang disebabkan karena Wti Syubhat. Istilah Wi syubhat memiliki arti bahwa adanya persetubuhan yang terjadi tanpa suatu kesengajaan misalnya saja seorang lelaki menyetubuhi seseorang dalam suatu kamar tanpa penerangan atau sang laki-laki tidak dapat melihat wajah atau rupa wanita yang ia anggap sebagai istrinya. Adapaun perstubuhan wati syubhat ini merupakan suatu kesalahan dan apabila si wanita hamil maka anak yang lahir, nasabnya dikaitkan dengan pria tersebut. Adapun syarat laki-laki tersebut menjadi nasab anak yang lahir karena watisyubhat adalah jika usia kehamilannya minimal enam bulan dan masa kehamilan mwanita tersebut atau lahirnya sang anak tidak melewati masa maksimal kehamilan yakni sembilan bulan sepuluh hati. Anak yang lahir lebih lama dari masa kehamilan nasabnya tidak dapat dikaitkan dengan lelaki yang menyetubuhinya secara wati syubhat tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta\'ala berfirman :

[arabOpen] [arabClose]

"Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa." (QS. Al-Furqan : 54)

Rasulullah Shallalahu \'Alaihi wa Sallam bersabda : Wanita dinikahi karena empat hal, karena agama, harta, kecantikan, dan nasab (keturunannya). Maka pilihlah agamanya maka akan menguntungkan kamu. (HR Abu Dawud).

Namun apabila antara calon mempelai laki-laki dan perempuan terdapat hubungan nasab, maka dalam banyak hal diharamkan kawin di antara keduanya. Hubungan sepersusuan seperti ibu dan saudara perempuan sepersusuan, diharamkan untuk dikawini oleh anak atau saudara sepersusuannya. Dalam kaitan ini, nasab yang haram dikawini disebut dengan mahram.

Allah Ta\'ala berfirman :

[arabOpen] [arabClose]

"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nisa : 23)

Jadi, Allah Ta\'ala yang menciptakan seorang manusia dari air mani laki-laki dan perempuan, lalu Dia jadikan manusia itu memiliki hubungan kekerabatan dan muharah (pernikahan). Dan Allah Mahakuasa, tidak dilemahkan oleh sesuatupun, dan di antara kekuasaan-Nya adalah penciptaan manusia dari air mani laki-laki dan perempuan. Siapapun yang memiliki anak dari hasil pernikahan, maka baik suami maupun istri berhak atas nasab anak itu.

Di samping menetapkan, syariat juga mengatur hak ini dengan ketat sehingga siapa pun tidak boleh menasabkan seorang anak kepada yang bukan haknya. Demikian halnya seorang laki-laki tidak boleh mengingkari anak yang lahir dari darah dagingnya. Rasulullah menegaskan, Perempuan mana pun yang menasabkan seorang anak kepada kaum yang bukan dari kaum tersebut, maka ia tidak mendapat apa-apa (rahmat) dari sisi Allah. Dan Dia tidak akan memasukkan perempuan itu ke dalam surga-Nya. "Begitu pula laki-laki mana pun yang mengingkari anaknya, sedangkan dia melihat kepadanya, maka Allah akan menghalangi diri darinya dan Dia justru akan membuka aibnya di hadapan seluruh makhluk, baik generasi awal maupun generasi akhir, (HR Abu Dawud).

Wallahu A\'lam

(wid)

Topik Menarik