Mencari Model Bisnis Pers yang Relevan
SALAH satu isu paling populer sekaligus seksi saat ini dalam ekosistem pers nasional adalah model bisnis pers yang berkelanjutan. Isu itulah yang juga menjadi salah satu bahan pembahasan pada forum konvensi media massa nasional dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) di Kendari selama dua hari, 78 Februari 2022. Di samping isu tentang kedaulatan ekonomi digital.
Sebagaimana kita maklumi bersama, dunia pers nasional sepanjang masa pandemi, setidaknya di tahun pertama pandemi Covid-19, sungguh terpukul keras. Hampir dua bulan setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan virus Covid-19 masuk ke tanah air, Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat melakukan survei untuk mencari tahu situasi terkini kehidupan bisnis pers setelah diterpa pandemi pada April 2020. Hasilnya? Mayoritas perusahaan pers (cetak dan online) di Indonesia omzetnya turun drastis rata-rata hingga 40 persen dibandingkan posisi yang sama tahun 2019. Bahkan, separo perusahaan pers telah mulai melakukan pemotongan gaji serta mengurangi oplah dan halaman.
Di masa yang sangat sulit itu, iklan juga turun sangat drastis. Begitu sulitnya iklan diperoleh. Lembaga yang memiliki kemampuan belanja iklan di masa awal pandemi Covid-19 hanyalah lembaga negara alias pemerintah. Mulai pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Akibatnya, ketergantungan perusahaan pers terhadap belanja iklan pemerintah terasa menguat di masa-masa itu.
Tapi, apa boleh buat. Mengharap belanja iklan dari korporasi sama saja sulitnya karena kebanyakan korporasi juga terkena dampak pandemi. Belanja promosi mereka potong habis, dialihkan untuk menjadi pos proteksi bagi karyawan dan keluarganya.
Pada puncaknya, negara melalui pemerintah mengucurkan dana kerja sama pemberitaan penanggulangan Covid-19 di pengujung 2020 kepada perusahaan pers yang terpilih. Tapi, itu hanyalah sementara. Selanjutnya, eksistensi setiap perusahaan pers dikembalikan kepada kemampuan pengelolanya masing-masing untuk tumbuh secara alamiah lagi. Padahal, pandemi masih jauh dari usai.
Mencari Jawaban
Jika demikian, model bisnis pers macam apa yang relatif punya daya tahan kuat melawan pandemi dan seterusnya? Arus utama yang berkembang menunjukkan bahwa saat ini setidaknya ada dua model bisnis (baru) yang dikembangkan sebagian perusahaan pers (khususnya cetak dan online) di Indonesia dalam menjawab tantangan keberlanjutannya.
Pertama, mengikuti model bisnis platform global. Artinya, memanfaatkan situasi kehadiran iklan-iklan digital, terutama Google AdSense, dengan merangsang volume trafik setinggi-tingginya pada konten yang diciptakan di portal media online bersangkutan. Semakin tinggi trafik pengunjung, potensi iklan kian banyak semakin kuat. Tantangannya? Ada banyak potensi bias jurnalisme berkualitas. Atas nama kecepatan dan keinginan publik akan (popularitas) konten, kaidah-kaidah standar jurnalisme berkualitas masih kerap dilanggar. Belakangan sebagian media yang menganut pendekatan tersebut mulai menyadari untuk secara paralel melakukan perbaikan kualitas jurnalisme konten pemberitaan di media masing-masing.
Kisah Istri Gubernur Aceh 2 Hari Terjebak Banjir Besar, Menginap di SPBU hingga Nebeng Truk
Celah lain yang menguntit model bisnis ini adalah ketimpangan posisi antara platform dan lembaga pers. Payung hukum domestik yang mengatur relasi antara lembaga pers dan platform di Indonesia belum tersedia. Itulah sebabnya, Dewan Pers bersama komunitas pers kini tengah getol memperjuangkan segera terwujudnya publishers right, yang bertujuan memberikan perlindungan hukum bisnis bagi perusahaan pers nasional.
Kedua, berbasis konten berbayar (paid content). Mendorong warga berlangganan versi digital (PDF maupun non-PDF). Tantangan model kedua ini pada edukasi publik. Tidak mudah mengajak publik membayar konten digital media arus utama. Yang kerap muncul adalah berseliwerannya versi PDF koran-koran terkemuka di Indonesia di ruang-ruang WA group. Dan itu beredar gratis, alih-alih berbayar. Karena itu, masih sangat sedikit perusahaan pers cetak dan online di Indonesia yang berhasil menerapkan kebijakan 100 persen berbayar untuk konten digital. Jalan tengahnya, menyodorkan kebijakan freemium. Baca sedikit gratis. Mau tahu lebih banyak? Ya bayar saja.
Bagi perusahaan pers cetak, konten berbayar adalah bagian dari nadi bisnisnya meski dibayangi penurunan sirkulasi sangat drastis. Data Media Direktori 2020 SPS Pusat menunjukkan, dalam kurun 2014 hingga 2019, oplah seluruh media cetak di Indonesia jatuh sekitar 45 persen. Dari posisi 23,3 juta eksemplar menjadi 12,8 juta eksemplar.
Di luar itu, ada model lain yang punya potensi berkembang bagus, khususnya untuk perusahaan pers yang memiliki pembaca di segmen komunitas tertentu. Tidak besar sekali potensi pembacanya, namun perusahaan pers itu bisa survive, bahkan untung. Caranya? Memadukan pendekatan konten gratis dengan aktivasi offline berbayar sembari mengembangkan praktik jurnalisme berkualitas.
Segmen Pasar
Jurnalisme berkualitas selalu mengisyaratkan pentingnya sisi bisnis untuk dipenuhi. Membangun keseimbangan antara praktik ideologis dan bisnis jurnalisme. UU 40/1999 tentang Pers memastikannya sebagai fungsi lembaga ekonomi perusahaan pers (pasal 3 ayat 2). Mencari model bisnis mana yang tepat rasanya akan sangat tergantung pada kemampuan setiap perusahaan pers mengidentifikasi kebutuhan segmen pasarnya masing-masing, lalu menyodorkan konten yang relevan. Ini adalah soal kejelian manajemen masing-masing perusahaan pers menghadapi dinamika pasarnya masing-masing.
Tidak ada model bisnis pers yang sama hingga kembar identik. Sesama koran di satu kota yang sama saja model bisnisnya bisa berbeda-beda. Jika Anda yakin dan sesuai riset model bisnis pers tertentu itu relevan, jangan ragu untuk dipergunakan. Sepanjang, pastikan Anda mematuhi rambu-rambu praktik perusahaan pers yang memiliki etik dan bermartabat. Selamat Hari Pers Nasional 2022! (*)
*) ASMONO WIKAN , Sekretaris jenderal Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, anggota Dewan Pers terpilih 20222025










