Cara Licik Belanda Bikin Calon Raja Jawa Divonis Gangguan Kejiwaan

Cara Licik Belanda Bikin Calon Raja Jawa Divonis Gangguan Kejiwaan

Infografis | sindonews | Minggu, 15 Desember 2024 - 10:19
share

GUSTIRaden Mas Pratistha atau Pangeran Juminah telah disiapkan Jumeneng (bertakhta) sebagai Sultan Hamengkubuwono VIII (HB VIII). Itu setelah Pangeran Akhadiyat, sang kakak kandung meninggal dunia pada usia 17 tahun. Peristiwa itu berlangsung pada tahun 1893.

Sebelum naik takhta, Sultan Hamengkubuwono VII (HB VII) terlebih dahulu mengangkat Pangeran Juminah sebagai putra mahkota atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom.

Dihimpun dari berbagai sumber, Pangeran Juminah merupakan putra HB VII hasil pernikahannya dengan permaisuri GKR Hemas. Pemilihan dan pengesahan calon Raja Jawa (suksesi kekuasaan) ini harus sepengetahuan sekaligus restu Pemerintah Hindia Belanda.

Upaya Belanda mencampuri kerajaan terkait erat dengan MoU atau kerja sama antara Keraton Yogyakarta dengan pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda melalui residen Yogyakarta Ament menyodorkan kontrak politik Kroonprins Verklaring kepada Pangeran Juminah. Sedikitnya ada 5 pasal bagi Pangeran Juminah yang amat merugikan kedudukannya ketika kelak diangkat sebagai Raja Jawa (HB VIII).

Salah satunya tentang hak bangun rezim kolonial di wilayah Kesultanan Yogyakarta. Kemudian, sultan dipaksa merelakan monopoli penjualan garam dan candu.

Pangeran Juminah menolak, namun diperlihatkan dengan cara mengulur waktu atau sengaja tidak menandatangani kontrak politik yang disodorkan.

Ament, Residen Yogyakarta merasa gusar. Dia melihat Juminah tidak sesuai dengan ekspektasi pemerintah Hindia Belanda. Kesalahan pun mulai dicari-cari.

Sebagai putra mahkota dan sekaligus calon raja, Pangeran Juminah kedapatan sering meninggalkan keraton. Dia kerap dijumpai meditasi di Mancingan, Pantai Parangkusumo.

Kemudian juga sering menziarahi makam HB I di pemakaman Imogiri. Sementara kolonial Belanda masih merasa trauma dengan peristiwa Perang Jawa (1825-1830) yang pernah dikobarkan Pangeran Diponegoro.

Sebelum memberontak, Pangeran Diponegoro kerap melakukan laku spiritual di Mancingan Parangkusumo. Begitu juga dengan HB I dikenal sebagai Raja Jawa pembenci kolonial Belanda.

Residen Ament melihat sosok pemberontak ada pada diri Pangeran Juminah. Pada tahun 1902, dia mendesak HB VII membatalkan status putra mahkota Pangeran Juminah.

Pemerintah Hindia Belanda juga berniat mengadili Pangeran Juminah dengan dalih melanggar adat, namun HB VII meminta keraton menggunakan mekanisme pengadilannya sendiri.

Hal itu mengingat Pangeran Juminah merupakan keluarga keraton sekaligus putra raja. Sementara di sisi lain HB VII khawatir berkonflik dengan pemerintah Hindia Belanda.

HB VII kemudian menggelar Pradata Ageng, pengadilan khusus kerabat keraton yang dianggap melanggar adat. Hasilnya, Pangeran Juminah divonis mengalami gangguan kejiwaan.

Akibatnya status Pangeran Juminah sebagai putra mahkota dan calon Sultan HB VIII dicopot. Sejak itu Pangeran Juminah lebih banyak hidup di luar keraton dan memilih tinggal di ndalem buminatan.

Sementara yang kemudian diangkat sebagai putra mahkota dan jumeneng sebagai HB VIII adalah GRM Sudjadi, adik kandungnya.

Pangeran Juminah diketahui hidup hingga masa HB IX. Ketika meninggal dunia, dia tidak dimakamkan di Kompleks Astana Imogiri melainkan di Kompleks Hastarengga, Kotagede.

Topik Menarik