Terungkap! Ini Rahasia Tumbangnya Bashar Al Assad, dari Strategi hingga Senjata
LONDON, iNews.id - Kelompok-kelompok oposisi bersenjata Suriah, dipimpin organisasi Hayat Tahrir Al Sham (HTS), telah merencanakan penggulingan Presiden Bashar Al Assad sejak setahun lalu. Rencana itu berjalan mulus, bahkan kelompok bersenjata hanya butuh waktu tak sampai 2 pekan untuk menumbangkan rezim keluarga Assad yang sudah berkuasa 50 tahun lebih.
Seorang komandan militer HTS Hassan Al Hamwi mengatakan kepada surat kabar Inggris, Guardian, kunci dari keberhasilan mereka menggulingkan Assad adalah mempersatukan semua kelompok oposisi. HTS terkurung di Provinsi Idlib, wilayah yang menjadi benteng terakhir pertahanan pemberontak melawan pasukan rezim Assad yang dibantu Rusia dan Iran.
Menurut Al Hamwi, setelah dilemahkan dalam operasi rezim Assad pada 2019, kelompok tersebut menyadari masalah mendasar dari kekalahan mereka adalah tidak adanya pemimpin yang bisa menyatukan semua kelompok, di samping menguasai medan pertempuran.
HTS lalu memperbaiki kesalahan tersebut sambil mempersiapkan operasi menggulingkan Assad pada 2023 yang diberi nama "Pencegahan Agresi".
Mereka memperkuat kendali atas kelompok-kelompok oposisi di barat laut dan utara Suriah, melatih milisi, serta mengembangkan doktrin militer yang komprehensif.
HTS juga berusaha menyatukan kelompok pemberontak di Suriah selatan. Wilayah itu berada di bawah kendali pasukan Assad selama 6 tahun terakhir dan dijadikan sebagai "ruang perang".
Dari wilayah selatan Suriah tersebut, komandan dari 25 kelompok oposisi menyatukan kekuatan untuk mengarahkan serangan terhadap pasukan Assad. Serangan secara serentak dan tiba-tiba dari utara dan selatan efektif untuk mengalahkan pasukan rezim Assad.
Momen untuk meluncurkan operasi tersebut berlangsung pada November. Saat itu kelompok oposisi memanfaatkan situasi di mana Rusia dan Iran, sekutu dekat rezim Assad, sedang teralihkan perhatian mereka dengan konflik masing-masing.
Hasil dari semua persiapan itu, kelompok oposisi berhasil memasuki Ibu Kota Damaskus pada 8 Desember setelah merebut kota-kota di Aleppo, Hama, dan Homs di utara.
"Kami memiliki keyakinan, yang didukung oleh preseden historis, bahwa Damaskus tidak akan jatuh sampai Aleppo jatuh," kata Al Hamwi.
Kekuatan revolusi Suriah, lanjut dia, terpusat di utara sehingga mereka yakin begitu Aleppo direbut, pasukan bersenjata bisa bergerak ke selatan, menuju Damaskus.
Selain itu, kelompok bersenjata juga mengembangkan persenjataan mereka untuk melawan teknologi Rusia dan Iran.
“Kami membutuhkan drone pengintai, drone serbu, dan drone kamikaze, dengan fokus pada jangkauan dan daya tahan,” kata Al Hamwi.
Mereka memproduksi pesawat drone-drone itu sejak 2019. HTS memberi nama drone kamikaze dengan Shahin yang berarti elang, melambangkan ketepatan dan kekuatan. Shahin dikerahkan untuk pertama kali melawan pasukan Assad yakni melumpuhkan kendaraan artileri.