Sejarah Suku Maori Selandia Baru dan Awal Mula Konflik dengan Pendatang Eropa
JAKARTA, iNews.id - Sejarah Suku Maori dicari banyak orang belakangan ini terkait video viral perempuan anggota parlemen Selandia Baru dari suku tersebut yang menentang rancangan undang-undang baru. Dia melakukan protes dengan melantunkan lagu tradisional, memelototkan mata, hingga merobek dokumen.
Sehari kemudian atau Selasa (19/11/2024), demonstrasi besar-besaran diikuti puluhan ribu orang pecah di Ibu Kota Wellington.
Massa demonstran menentang desakan kubu konservatif yang ingin mendefinisikan ulang perjanjian pendirian negara. Sebuah partai kecil dalam pemerintahan koalisi konservatif mengusulkan RUU untuk mendefinisikan ulang Perjanjian Waitangi 1840.
RUU itu sebenarnya tidak mungkin disahkan, namun telanjur membuat marah penduduk asli hingga memicu demonstrasi terbesar di Selandia Baru dalam beberapa dekade. Lebih dari 35.000 turun ke jalan di Wellington, memblokade jalan yang ramai sembari meneriakkan 'Haka'.
Sejarah Suku Maori
Penemuan arkeologi memperkirakan Suku Maori sudah ada di Selandia Baru sekitar tahun 1300 Masehi. Mereka merupakan penduduk asli Polinesia, berasal dari para pemukim dari Polinesia Timur yang tiba di Selandia Baru dalam beberapa gelombang pelayaran kano antara tahun 1320 hingga 1350.
Beberapa Suku Maori awal juga pindah ke Kepulauan Chatham, di mana keturunan mereka menjadi kelompok etnis Polinesia asli Selandia Baru lainnya, Moriori.
Dalam bahasa Maori, kata maori berarti normal, alami, atau biasa. Dalam legenda dan tradisi lisan, kata tersebut membedakan manusia biasa (tangata maori) dari dewa dan roh (wairua).
Dikutip dari Britannica, setelah Inggris mengambil alih kendali Selandia Baru pada 1840, orang-orang Eropa mulai berdatangan, membangun permukiman, bahkan pemerintahan Eropa. Kondisi itu membuat Suku Maori khawatir, terutama di Pulau Utara. Sebagai bentuk protes atas meledaknya pendatang Eropa, pada 1845 beberapa kepala Suku Maori menghancurkan Bay of Islands dan wilayah lain di ujung Pulau Utara. Peristiwa itu disebut sebagai Perang Maori I.
Suku tersebut ditumpas pada 1847 oleh pasukan kolonial di bawah Gubernur Sir George Grey. Kemenangan itu menghasilkan perjanjian damai yang berlangsung dari tahun 1847 hingga 1860.
Saat itu muncul apa yang disebut dengan Gerakan Raja sebagai respons atas meningkatnya ancaman terhadap tanah Maori. Pada 1857, beberapa suku di wilayah Waikato, Pulau Utara, memilih Te Wherowhero sebagai raja.
Selain memilih raja, mereka membentuk dewan negara, sistem peradilan, dan organisasi kepolisian, yang semuanya dimaksudkan untuk mendukung tekad Maori guna mempertahankan tanah mereka serta menghentikan perang antarsuku.
Namun tidak semua Suku Maori menerima otoritas raja, namun mayoritas dari mereka sepakat dengan Gerakan Raja demi mempertahankan tanah leluhur.
Hingga 1860, Suku Māori masih memiliki sebagian besar tanah di Pulau Utara, namun peningkatan besar jumlah imigran pada 1850-an menyebabkan tuntutan pembelian tanah yang sangat besar oleh pemerintah. Suku Maori bertekad tidak menjual tanah mereka.
Pada 1859, Te Teira, seorang suku Maori dari Taranaki, menjual tanahnya di Sungai Waitara kepada pemerintah kolonial tanpa persetujuan tetua yang memicu Perang Taranaki Pertama (1860–1861).
Bagi sebagian besar Suku Māori, menjadi anggota berarti mengakui dan memuliakan leluhur mereka, mengklaim atas tanah keluarga, dan memiliki hak untuk diterima sebagai penduduk asli di desa leluhur. Praktik ini yang membuat tradisi leluhur tetap terjaga sampai saat ini.
Banyak praktik budaya Maori yang masih hidup di Selandia Baru kontemporer. Semua pertemuan resmi Maori disertai dengan pidato dalam bahasa Maori, nyanyian aksi, penyambutan tamu secara resmi, disertai dengan hongi atau menempelkan hidung saat menyapa. Terkadang dengan ritual tantangan dan memasak makanan dalam oven tanah di atas batu yang dipanaskan terlebih dahulu.
Rumah-rumah berukir, berfungsi sebagai pusat pertemuan dan upacara, di desa-desa Maori, masih dibangun.
Bagi banyak orang Maori, masalah paling penting di Selandia Baru adalah tanah. Berkaca dari masa lalu, mereka sangat menyadari ketidakadilan dalam transaksi tanah dengan orang Eropa pada abad ke-19. Mereka curiga terhadap setiap gerakan menuju perubahan hukum tanah yang diprakarsai oleh pemerintah.
Dahulu, tanah yang didefinisikan sebagai "tanah Maori" dapat dijual oleh pemiliknya hanya setelah mendapat persetujuan dari pengadilan khusus, namun kemudian UU mempermudah Maori untuk menjual tanah leluhur mereka.
Suku Maori telah memainkan peran dalam pemerintahan Selandia Baru sejak pertengahan abad ke-19. Saat itu untuk pertama kali anggota Suku Maori menjadi anggota parlemen. Tujuh dari total 120 kursi disediakan untuk Suku Maori di parlemen. Selain itu ada juga menteri yang diangkat dari Suku Maori.
Semua pemilih keturunan Suku Maori bisa memberikan suara di distrik pemilihan suku Maori. Meski demikian aturan berkembang, seorang Maori boleh mendaftar di distrik pemilihan sukunya atau umum.