Cerita Masjid Bungkuk Malang Jadi Tempat Menggembleng Pejuang 10 November hingga Kebal Senjata
MALANG, iNews.id - Perlawanan Arek-arek Jawa Timur (Jatim) dilakukan kepada Belanda dan sekutunya pada November 1945. Saat itu, Belanda dan sekutu berusaha kembali merebut Indonesia dari kemerdekaan, termasuk di Surabaya yang menjadi akses masuk menuju wilayah-wilayah lain di Jatim.
Tentara santri dan tokoh agama se-Malang Raya ikut andil dalam perjuangan melawan Belanda dan sekutu kala itu. Salah satunya di Masjid Bungkuk Malang, yang menjadi markas pejuang Islam dari berbagai wilayah di Malang Raya.
Masjid dan pondok pesantren yang ada di Bungkuk ini mengirimkan beberapa kader pilihan untuk berjihad bergerilya melawan penjajah dan sekutu saat agresi militer Belanda.
Generasi keempat pendiri Masjid Bungkuk KH Moensif Nachrawi mengatakan, meski tidak secara resmi digunakan markas gerilyawan, masjid dan pondok pesantren tertua se-Malang Raya ini menjadi area penggemblengan para pejuang.
Di sini para pejuang 10 November 1945 digembleng baik fisik maupun spiritual untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Tidak secara resmi markas begitu, tapi seperti Anda tahu gerilya itu setelah (tahun) 45 merdeka, 45 Agustus merdeka, November 45 Belanda datang lagi bersama sekutu-sekutu waktu itu Inggris, sebetulnya itu urusannya sekutu. Tapi Belanda ndompleng (ikutan) ingin masuk lagi ke Indonesia," ujar Moensif ditemui di rumahnya di Jalan Bungkuk, Kelurahan Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang beberapa waktu lalu.
Saat itu Belanda dan sekutu memasuki Indonesia mulai dari kawasan Surabaya. Mereka terus bergerak mencoba menguasai kembali beberapa daerah di selatan Surabaya. Kawasan ini sempat dikuasai sebelum kedatangan Jepang.
"Waktu itu mulai masuk dari Surabaya yang diincar mulai terjadi rundingan gagal, rundingan gagal, perang lagi hingga ada perang enam hari matinya Jenderal Mallaby. Belanda bertahan (tahun) 45 akhir 46, (tahun) 47 di Surabaya, 47 mulai merangsek ke selatan," katanya.
Dia menambahkan, saat itu wilayah Malang dan sekitarnya memang belum dalam penguasaan Belanda. Namun pergerakan Belanda terus merangsek ke selatan memasuki daerah Porong, membuat pejuang sekitar Malang bersiaga.
Antisipasi pun dilakukan para pejuang termasuk tokoh-tokoh ulama Islam di Malang dan sekitarnya. Mereka bersama-sama rakyat dan gerilyawan berlatih perang dan membekali dengan ilmu spiritual yang akan dikirim ke Porong untuk berjuang.
"Saat gerilya itu yang dikirim rata-rata dibekali, istilahnya tahan peluru, minum telur ayam, dikasih doa ditelan. Biar orang-orang yang mau berangkat untuk gerilya biasanya diangkut menuju perbatasan frontnya di daerah Porong dikirim ke sana," ucap penasihat takmir Masjid At Thohiriyah, Bungkuk.
"Dari mana-mana, dari Jember ke sana, dari Malang ke sana, Singosari. Ini tempat mengemblengnya, mengebalkan di sini. Nggak ada markas, tentara-tentara nggak ada baru berdiri Oktober, nggak ada waktu itu yang ada gerilyawan," ujarnya.
Dia mengaku masih ingat betul selain di Bungkuk, Singosari, rumah orang tuanya KH Nachrawi juga digunakan para pejuang gerilyawan berkumpul. Di sana para pejuang ini dibekali ilmu agama, peperangan dan terpenting kebal saat ditembak senjata api oleh Belanda dan sekutunya.
Bahkan KH Nachrawi turut turun langsung membekali para pejuang untuk berperang, termasuk ilmu kebal terhadap senjata.
Deklarasi Milenial untuk SAKO: Fokus pada Pemimpin Muda dan Perubahan Kabupaten Sorong Selatan
Dia masih ingat ketika SD, samurai, pedang dan senjata tajam lainnya menjadi hal yang sering dilihat, bahkan dipegangnya. Perbekalan pertempuran itulah yang menjadikan modal gerilyawan asal Malang dan sekitarnya.
"Banyak (yang mengajarkan ilmu kekebalan terhadap senjata) salah satunya Nachrawi, ayah saya di Lawang itu juga sama saja. Jadi Peta itu kumpulnya di sana, waktu itu saya masih kecil, SD, ada samurai diam-diam melihat, masih kecil saya," kata pria berusia 87 tahun ini.
Namun selain di Singosari dan Lawang disebutnya ada beberapa daerah lainnya terutama di pondok-pondok pesantren yang memiliki tokoh-tokoh ulama mengajarkan hal serupa. Yakni ilmu kekebalan dengan memakan telur mentah.
"Nyebar di mana-mana, banyak memang yang ditokohkan mampu bisa nyuwuk. Jadi orang bukan di tempat sini saja ada di tempat lain. Itu telur mentah bawa sendiri-sendiri, didoakan (sama kiai), dipecah, dimakan, jadi tanpa dimasak, namanya telur mentah. Setelah itu berangkat perang," katanya.