AMLI Protes PP Kesehatan, Tolak Larangan Tayangan Videotron Rokok di Atas Jam 10 Malam

AMLI Protes PP Kesehatan, Tolak Larangan Tayangan Videotron Rokok di Atas Jam 10 Malam

Ekonomi | inews | Rabu, 18 September 2024 - 14:56
share

JAKARTA, iNews.id - Pengusaha periklanan dan reklame yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Media Luar-Griya Indonesia dan Periklanan angkat bicara mengenai protes mereka terhadap larangan periklanan yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 atau PP Kesehatan.

Selain PP 28/2024, para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Media Luar-Griya Indonesia (AMLI) itu menolak Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang produk tembakau dan rokok elektronik.

Ketua Umum AMLI, Fabianus Bernadi menuturkan, pihaknya menyatakan keberatan terkait pasal 449 ayat 1 (d) dalam PP 28/2024.

"Untuk itu kami menyatakan sikap penolakan yang sebenarnya sudah kita mulai sejak RPP Kesehatan pada bulan November 2023. Sikap ini disampaikan oleh seluruh pemangku kepentingan media luar griya di seluruh Indonesia," kata Fabianus di Tangerang Selatan, Rabu (18/9/2024).

Dalam pasal tersebut, pria yang akrab disapa Fabi ini menyebut, batasan waktu penayangan iklan berbentuk videotron pukul 22.00–05.00 waktu setempat. Selain itu, larangan iklan dan penjualan produk tembakau dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak pada Media Luar-Griya.

"Larangan dalam pasal PP Kesehatan itu, kita lihat cukup menyedihkan. Artinya industri media luar griya sama sekali tidak boleh berusaha, yakni mematikan usaha kami," tuturnya.

Lebih lanjut, Fabi menerangkan bahwa PP 28/2024 mengandung aturan yang bias. Pihaknya menilai penerapan pasal-pasal tersebut sulit diterapkan dan terkesan pelarangan tayangan iklan produk tembakau sama sekali.

"AMLI menilai bahwa ketentuan ini akan sulit diimplementasikan karena kurangnya kejelasan definisi mengenai satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta potensi timbulnya pemahaman yang berbeda di masyarakat, penegak hukum, dan pelaku usaha," ucapnya.

Fabi juga menerangkan adanya ketentuan penjualan rokok dengan kemasan polos, tanpa pembeda. Kemasan polos tersebut, menurutnya, sebagai kebijakan yang lebih parah karena tidak memiliki dasar acuan jelas.

"Ini tentu lebih parah lagi, bagaimana produsen rokok yang akan mempromosikan produknya tanpa identitas, tidak ada pembeda. Apalagi kalau ditelusuri ternyata rokok tersebut produk ilegal, sehingga samar dibedakan dengan yang resmi membayar cukai tembakau," ujarnya.

Karena itu, Fabi menerangkan AMLI menyatakan sikap menolak atas pasal-pasal periklanan dan ketentuan kebijakan penjualan tembakau tersebut. Dia menyarankan kebijakan baru terkait penjualan produk tembakau lebih ditujukan kepada edukasi dan sosialisasi soal larangan konsumsi prevalensi rokok.

"Kami juga berkomitmen untuk mematuhi Peraturan Pemerintah dan Etika Pariwara Indonesia. AMLI percaya bahwa edukasi kreatif mengenai bahaya rokok jauh lebih efektif daripada kebijakan pelarangan yang sulit diimplementasikan," kata dia.

Diketahui berdasarkan survei yang diprakarsai AMLI, yang melibatkan 57 perusahaan dari 29 kota dan daerah di Indonesia terkait dampak kebijakan inisiatif Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tersebut. Survei menunjukkan bahwa 86 persen perusahaan media luar-griya diperkirakan akan terdampak oleh PP No. 28/2024, terutama karena pengiklan rokok merupakan sponsor utama dalam industri ini akan dibatasi secara ketat.

Dampak dari peraturan baru ini diperkirakan akan sangat berat, dengan 44 persen perusahaan Media Luar-Griya terancam gulung tikar akibat penurunan pendapatan signifikan dari iklan sponsor rokok. 

Rinciannya, 21 persen perusahaan akan kehilangan 50-75 persen dari pendapatan mereka, sementara 23 persen lainnya akan kehilangan 75-100 persen dari pendapatan. Selain itu, 59 persen lebih dari tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung, berisiko terkena pemutusan hubungan kerja.

“Dikhawatirkan dampak ini akan menyebabkan PHK massal dan potensi kebangkrutan yang dapat memperburuk kondisi ekonomi di sektor ini.  Pendapatan mereka diperkirakan akan menurun, dan ancaman PHK mencapai 59 persen. Mirisnya, mayoritas dari persentase tersebut merupakan pengusaha kecil dengan skala bisnis menengah ke bawah,” ujarnya.

Topik Menarik