Biografi Ahmad Tohari, Sastrawan yang Karyanya Mengalir dari Desa hingga Kancah Internasional
JAKARTA, iNews.id - Biografi Ahmad Tohari seorang sastrawan dan budayawan Indonesia yang menembus batas desa dengan karya-karyanya hingga ke ranah internasional. Dia lahir pada tanggal 13 Juni 1948 di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah.
Trilogi magnum opusnya Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Jepang. Kumpulan cerpennya, Senyum Karyamin juga telah memperoleh banyak pujian.
Bagian bawah kehidupan desa menjadi kanvas utama karyanya, mencerminkan kesadaran dan wawasan alam yang tajam.
Sebelum merambah dunia sastra, Tohari berkiprah sebagai tenaga honorer di BNI pada tahun 1946, mengurusi majalah perbankan pada 1966-1967. Dia juga aktif di dunia jurnalistik sebagai staf redaktur Harian Merdeka, majalah Keluarga dan majalah Amanah di Jakarta.
Selain itu, pengalamannya tidak terbatas hanya di Indonesia saja. Pada tahun 1990, Tohari mengikuti International Writing Program di Amerika selama 3 bulan.
Pendidikan yang Tidak Terbatas, Karya yang Meluas
Tohari menempuh pendidikan di berbagai bidang, termasuk Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1974-1975) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976).
Meskipun dia menjelajahi bidang-bidang ini, Tohari tidak menemukan ketertarikan yang cukup untuk mengejarnya dengan tekun.
Penghargaan dan Pengakuan Internasional
Karya-karya Tohari tidak hanya mencuri perhatian di dalam negeri, tetapi juga di tingkat internasional. Triloginya yang fenomenal telah diadaptasi ke dalam film layar lebar berjudul Sang Penari.
Karya-karya lainnya, seperti Kubah, Bekisar Merah dan Orang-Orang Proyek membawa pulang sejumlah penghargaan. Novel Kubah yang menggambarkan konflik nasional Indonesia pada peristiwa G30S, menjadi sorotan karena persepsi yang berbeda di kalangan pembaca.
Kontroversi dan Perjuangan
Perjalanan kepengarangan Tohari penuh liku-liku. Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang terbit tahun 1982, mengisahkan pergolakan di dusun kecil selama masa pergolakan komunis dan dianggap kontroversial oleh Orde Baru. Pemerintah memandangnya sebagai karya yang terlalu kiri. Bahkan Tohari diinterogasi selama berminggu-minggu.
Hanya melalui bantuan sahabatnya Gus Dur, Tohari bebas dari intimidasi tersebut.
Ciri Khas Karya, Desa dan Religiositas
Karya Tohari kaya dengan nuansa kehidupan pedesaan dan religiositas. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk memperlihatkan kehidupan masyarakat kecil dan pergulatan internal tokoh-tokohnya. Tohari mengangkat tema-tema nasional melalui cerita-cerita pedesaan, memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan.
Puncak Kreativitas dalam Cerpen-Cerpen
Mata Yang Enak Dipandang, kumpulan cerpennya yang terbit pada 2013, mencerminkan kekhasan gaya penulisan Tohari. Dalam 15 cerpennya, dia menyuguhkan gambaran kehidupan sosial dan budaya di pedesaan.
Melalui cerpen-cerpen seperti Penipu yang Keempat dan Warung Penajem, Tohari menyoroti konflik moral dan spiritual di tengah masyarakat pinggiran.
Penghargaan dan Legitimasi Karya
Karya Tohari memetakan kompleksitas kehidupan manusia pedesaan, dan penghargaan-penghargaan yang diterimanya, seperti novel "Kubah" yang memenangi hadiah Yayasan Buku Utama pada tahun 1981, yang melegitimasi kepiawaiannya dalam mengangkat isu-isu kehidupan.
Meskipun perjalanan kepengarangannya penuh gejolak dan keresahan pribadi, Tohari tetap teguh pada pendiriannya hingga menciptakan karya-karya yang tak hanya menghibur tetapi juga meresapi kearifan lokal.
Biografi Ahmad Tohari dengan jejak karyanya yang mengalir dari pedesaan hingga kancah internasional, telah membuktikan bahwa seorang sastrawan tidak hanya menulis untuk generasinya sendiri, tetapi juga untuk semua generasi yang akan datang. Karya-karyanya bukan hanya cermin kehidupan desa, tetapi juga refleksi mendalam tentang keberagaman dan kompleksitas manusia.