Ini Respons Bos Pentagon setelah Rencana Perang AS Melawan Houthi Bocor
Bos Pentagon atau Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Pete Hegseth angkat bicara setelah recana perang Amerika melawan kelompok Houthi Yaman secara tak sengaja dibagikan kepada wartawan.
Jeffrey Goldberg, jurnalis Amerika yang juga pemimpin redaksi The Atlantic, tiba-tiba dimasukkan ke dalam grup obrolan Signal oleh Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Mike Waltz.
Grup obrolan bernama “Houthi PC small group” tersebut berisi18 pejabat termasuk Wakil Presiden JD Vance, Menteri Luar Negeri Marco Rubio, Menteri Pertahanan Pete Hegseth, Utusan Khusus Trump untuk Timur Tengah Steve Witkoff, dan Direktur CIA John Ratcliffe.
Grup tersebut aktif membahas potensi operasi militer AS terhadap Houthi selama berhari-hari sebelum Presiden Donald Trump memerintahkan serangan terhadap Yaman pada 15 Maret lalu.
Menhan Hegseth meremehkan signifikansi pengungkapan obrolan di grup Signal tersebut. Dia pun menyebut Goldberg sebagai jurnalis "penipu".
Goldberg mengeklaim bahwa salah satu pesan terakhir Hegseth sebelum serangan 15 Maret berisi rincian operasional serangan yang akan datang terhadap Yaman, termasuk informasi tentang target, senjata yang akan dikerahkan AS, dan urutan serangan.
Ketika ditanya tentang kebocoran tersebut, Hegseth justru meledek Goldberg. ”Seorang jurnalis yang suka menipu dan sangat tidak dipercaya yang berprofesi sebagai penyebar berita palsu,” katanya.
"Tidak ada yang mengirim rencana perang melalui SMS, dan hanya itu yang harus saya katakan tentang itu," ujar Hegseth ketika didesak tentang isi pesan tersebut.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih Brian Hughes mengatakan kepada Reuters, Selasa (25/3/2025), bahwa rangkaian pesan obrolan yang bocor itu "tampaknya asli" dan mengonfirmasi bahwa tinjauan internal telah diluncurkan untuk mengetahui bagaimana nomor yang tidak disengaja ditambahkan ke grup Signal tersebut.
"Rangkaian pesan itu menunjukkan koordinasi kebijakan yang mendalam dan cermat antara pejabat senior," imbuh Hughes, tanpa menjelaskan apakah protokol keamanan nasional telah dilanggar atau apakah tindakan disipliner akan menyusul.
Presiden Trump memerintahkan tindakan militer yang kuat terhadap militan Houthi yang bermarkas di Yaman Sabtu lalu, menuduh mereka melakukan "kampanye pembajakan, kekerasan, dan terorisme yang tak henti-hentinya terhadap kapal, pesawat, dan drone Amerika, dan lainnya."
Kelompok itu, yang secara resmi dikenal sebagai gerakan Ansar Allah, telah menguasai sebagian besar wilayah Yaman—termasuk ibu kota, Sanaa—sejak pertengahan 2010-an.
Dalam apa yang digambarkan The Atlantic sebagai "diskusi kebijakan yang menarik”, pejabat senior AS dilaporkan mengakui kesulitan membangun dukungan publik untuk kampanye militer baru.
"Ada risiko nyata bahwa publik tidak memahami ini atau mengapa itu perlu," kata akun yang diberi label “JD Vance”, dengan alasan bahwa "alasan terkuat untuk melakukan ini adalah, seperti yang dikatakan POTUS, untuk mengirim pesan."
POTUSadalah singkatan dari President of the United Statesatau PresidenAS.
Sebagai tanggapan, Hegseth setuju, dengan menyatakan: "Saya pikir pengiriman pesan akan sulit apa pun yang terjadi—tidak ada yang tahu siapa Houthi—itulah sebabnya kita perlu tetap fokus pada: 1) Biden gagal & 2) didanai Iran."
Trump telah mengeklaim serangan Houthi "berasal dari, dan diciptakan oleh, Iran”, memperingatkan bahwa mulai sekarang, Washington akan melihat setiap tembakan yang dilepaskan oleh kelompok Yaman seolah-olah ditembakkan oleh Teheran.
“Iran akan dimintai pertanggungjawaban dan menanggung akibatnya, dan akibatnya akan sangat mengerikan,” tulis presiden di platform Truth Social miliknya.