Aksi Protes Kertas Putih Refleksikan Masalah Mendalam di China

Aksi Protes Kertas Putih Refleksikan Masalah Mendalam di China

Global | sindonews | Senin, 6 Januari 2025 - 09:05
share

China kerap dipersepsikan sebagai negara otoriter yang secara sistematis membungkam perbedaan pendapat. Aksi protes di China jarang diliput secara rinci oleh kantor berita pemerintah atau media global, namun sebenarnya terjadi dan kerap kali mencerminkan keluhan mendalam di tengah masyarakat.

Dari aksi protes Kertas Putih (White Paper Protests) di pada akhir 2022, hingga ketidakpuasan yang memuncak di internal militer China, terdapat berbagai studi kasus yang menunjukkan bagaimana warga biasa mengukir cara mereka sendiri untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka di negara yang dijalankan melalui penyensoran.

Di antara protes besar, salah satunya adalah White Paper Protests atau biasa disebut juga dengan Revolusi A4. Aksi protes ini dipicu kebakaran tragis di Urumqi, Xinjiang, yang menewaskan sedikitnya sepuluh orang.

Kala itu, kebijakan lockdown Covid-19 yang ketat menghalangi upaya penyelamatan korban kebakaran, sehingga meningkatkan kemarahan publik China. Meski merupakan peristiwa tunggal, insiden tersebut mengkristalkan rasa frustrasi yang meluas terhadap kebijakan nol-Covid ala China, yang telah mengurung jutaan orang di rumah mereka di bawah aturan keras dan sering kali sewenang-wenang.

Mengutip dari European Times, Senin (6/1/2025), White Paper Protests bukanlah peristiwa terisolasi.

Sebaliknya, protes tersebut merupakan bagian dari pola perbedaan pendapat yang lebih luas, yang sering kali terwujud dalam demonstrasi lokal yang spesifik terhadap suatu isu. Dari pemogokan buruh hingga protes lingkungan, warga China terus menantang negara dalam berbagai isu.

Menghindari Penyensoran

Model tata kelola China, yang menekankan kontrol dan stabilitas, secara historis berupaya menetralkan perbedaan pendapat sebelum memperoleh momentum. Media pemerintah sering kali menghindari pelaporan tentang aksi unjuk rasa, sementara sensor digital dengan cepat menghapus bukti perbedaan pendapat dari media sosial.

Namun, tindakan ini tidak dapat memadamkan kemarahan publik. Sebaliknya, tindakan tersebut telah memunculkan bentuk-bentuk perlawanan inovatif, di mana warga China menggunakan simbolisme, bahasa berkode, dan organisasi yang terdesentralisasi untuk menghindari deteksi.

White Paper Protests menunjukkan bagaimana aksi protes dapat berkembang, bahkan di tengah lingkungan otoriter. Simbolisme lembaran kertas kosong berhasil menghindari penyensoran sekaligus menarik perhatian penonton domestik dan masyarakat internasional.

Protes tersebut juga menyoroti peran teknologi dalam mengorganisasi perbedaan pendapat, karena aplikasi pengiriman pesan dan alat komunikasi terenkripsi menjadi penting untuk mengoordinasikan demonstrasi.

Segera setelah protes tersebut, pemerintah China beralih dari kebijakan nol Covid-19, mencabut banyak pembatasan yang melumpuhkan kehidupan sehari-hari dan aktivitas ekonomi.

Namun, pembalikan kebijakan ini disertai tindakan keras. Para pengunjuk rasa ditahan, didakwa dengan pelanggaran yang tidak jelas seperti "memicu pertengkaran dan memprovokasi masalah," dan dalam beberapa kasus, dipaksa mengasingkan diri.

Meski meredakan kerusuhan untuk sementara waktu, konsesi tersebut gagal mengatasi ketidakpuasan yang lebih luas yang mendasari aksi protes. Tantangan ekonomi, khususnya pengangguran di kalangan pemuda dan kesenjangan pendapatan yang semakin melebar, tetap menjadi sumber frustrasi yang kuat.

Lebih jauh lagi, perubahan kebijakan yang cepat membuat penduduk bergulat dengan konsekuensi penyebaran Covid-19 yang tidak terkendali, menambah lapisan lain pada keluhan mereka.

Katalisator Protes di China

Unjuk rasa seperti White Paper Protests, di antara banyak protes yang telah terjadi di China, merupakan pengingat bahwa perbedaan pendapat di negara tersebut bukanlah hal yang tidak ada atau dapat diabaikan. Sebaliknya, perbedaan pendapat muncul dalam bentuk yang disesuaikan dengan kondisi politik dan sosial spesifik di China.

Ketika Partai Komunis China (CCP) memperketat cengkeramannya pada kekuasaan di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, jalan bagi ekspresi politik konvensional telah menyempit, mendorong warga negara ke arah metode perlawanan alternatif.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah taktik protes baru seperti itu menandakan titik balik atau tetap menjadi episode tunggal.

Para analis berpendapat bahwa selama masalah struktural yang mendorong ketidakpuasan, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan pembatasan kebebasan terus berlanjut, potensi kerusuhan akan tetap ada. Hal ini terutama berlaku saat generasi muda, yang lebih terpapar pada ide-ide global dan kurang bersedia menoleransi kendali otoriter, tumbuh dewasa.

Sejumlah aksi protes di China, meski sering tidak terlihat dan tidak diakui, sangat nyata. Gerakan tersebut menunjukkan masyarakat China yang bergulat dengan ketegangan akibat modernisasi yang cepat, kontrol terpusat, dan warga negara yang semakin sadar akan hak dan keluhannya.

Aksi-aksi protes yang sedang berlangsung di China berfungsi sebagai jendela untuk melihat ketegangan ini dan bukti ketahanan perbedaan pendapat, bahkan dalam menghadapi aparat negara yang kokoh. Memahami gerakan-gerakan ini tidak hanya memerlukan perhatian pada penyebab langsungnya, tetapi juga pengakuan akan implikasinya yang lebih luas bagi masa depan China.

Untuk setiap lembar kosong yang diangkat tinggi-tinggi dalam keheningan, ada cerita yang menunggu untuk diceritakan, cerita tentang perlawanan, ketahanan, dan keinginan abadi untuk kebebasan dan keadilan di China.

Topik Menarik