Masih Berstatus Perang dengan Korea Utara, Darurat Militer Jadi Hal Sensitif di Korea Selatan

Masih Berstatus Perang dengan Korea Utara, Darurat Militer Jadi Hal Sensitif di Korea Selatan

Global | sindonews | Kamis, 5 Desember 2024 - 14:55
share

Keputusan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol untuk memberlakukan darurat militer telah memicu krisis politik terbesar dalam beberapa dekade di negara Asia Timur tersebut dan mengirimkan gelombang kejut ke seluruh dunia.

Pasalnya, Korea Selatan masih berstatus perang dengan Korea Utara. Selain itu, sebagai aliansi utama Amerika Serikat, apa yang terjadi di Korea Selatan juga dipantau.

Yoon memberlakukan undang-undang darurat tersebut setelah menuduh oposisi utama Partai Demokrat bersimpati dengan Korea Utara dan melakukan kegiatan antinegara.

Beberapa jam kemudian, Yoon terpaksa mencabut status darurat militer setelah anggota parlemen oposisi memaksa masuk melewati pasukan keamanan untuk memasuki parlemen. Semua 190 anggota parlemen yang hadir dalam majelis beranggotakan 300 orang itu memberikan suara bulat untuk mencabut perintah darurat militer.

Seruan untuk memakzulkan Yoon, pemimpin Partai Kekuatan Rakyat yang konservatif, telah meningkat saat negara itu terhuyung-huyung akibat pergolakan politik.

Namun, hanya sedikit negara dengan ekonomi maju yang memiliki sejarah panjang dengan darurat militer dan pemerintahan yang penuh skandal seperti Korea Selatan.

Darurat militer memastikan pemerintahan sementara oleh otoritas militer selama keadaan darurat. Namun, sebagian besar anak muda Korea Selatan tidak ingat pemberlakuan terakhirnya, pada akhir tahun 1970-an.

Meskipun penerapan darurat militer singkat oleh Yoon adalah yang pertama dalam empat dekade, Korea Selatan memiliki sejarah panjang pemerintahan militer.

"Demokrasi Korea Selatan masih sangat muda, baru dimulai pada tahun 1988 setelah hampir tiga dekade pemerintahan otoriter, yang sebagian besar merupakan kediktatoran yang sangat keras di bawah tiga diktator yang berbeda," kata Katharine Moon, seorang profesor ilmu politik di Wellesley College, di Massachusetts, Amerika Serikat, kepada Al Jazeera.

Masih Berstatus Perang dengan Korea Utara, Darurat Militer Jadi Hal Sensitif di Korea Selatan

1. 15 Agustus 1948

Melansir Al Jazeera, Republik Korea, nama resmi Korea Selatan, didirikan pada tahun 1948 setelah Semenanjung Korea terbagi menjadi Korea Selatan dan Korea Utara. Syngman Rhee, seorang antikomunis yang gigih, menjadi presiden pertamanya, yang memberlakukan darurat militer untuk menindak tegas kaum komunis.

Perang Korea dimulai pada tanggal 25 Juni 1950, ketika pasukan Korea Utara memasuki Korea Selatan dalam upaya untuk menyatukan kembali keduanya. Pertempuran berkecamuk selama tiga tahun antara pasukan utara yang didukung Tiongkok melawan pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didukung AS. Perang tersebut menewaskan sekitar dua juta orang pada saat gencatan senjata ditandatangani pada tahun 1953.

Pada tahun 1960, protes meletus terhadap korupsi pemilu, yang juga disebut Revolusi April. Rhee kembali memberlakukan darurat militer. Namun, karena protes meningkat, Rhee terpaksa mengundurkan diri. Majelis Nasional memilih Yun Bo-seon sebagai presiden pada 13 Agustus 1960.

2. 16 Mei 1961

Dalam kudeta pertama yang berhasil di negara itu, perwira militer Korea Selatan Park Chung-hee memimpin ribuan pasukan ke Seoul dan mengambil alih kekuasaan, menggulingkan Yun.

Park sesekali mengumumkan darurat militer untuk menindak para pembangkang dan lawan politik.

3. 26 Oktober 1979

Park dibunuh pada tahun 1979. Awalnya, Choi Kyu-hah dari partai liberal korporatis dan antikomunis Rhee naik ke jabatan puncak.

Namun, Choi digulingkan oleh kudeta militer. Pemerintahan militer awalnya ditempatkan di Seoul dan kota-kota besar lainnya, tetapi diperluas ke seluruh negeri pada Mei 1980 oleh pemimpin militer Chun Doo-hwan.

Pemerintahan Chun selama delapan tahun ditandai dengan kebrutalan dan penindasan.

Hal ini menyebabkan pemberontakan Gwangju, protes massal yang pecah pada tanggal 18 Mei 1980, di kota selatan Gwangju. Ratusan pengunjuk rasa dikhawatirkan tewas dalam tindakan keras oleh pasukan keamanan.

Pada tahun 1995, Chun didakwa dengan pemberontakan dan pengkhianatan. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati tetapi diampuni pada tahun 1997. Pengadilan Tinggi Seoul meringankan hukumannya sebagai pengakuan atas peran Chun dalam pembangunan ekonomi yang pesat.

Topik Menarik