Tradisi Rebo Wekasan, Berikut Pandangan Islam tentang Ritual Tersebut

Tradisi Rebo Wekasan, Berikut Pandangan Islam tentang Ritual Tersebut

Gaya Hidup | inews | Selasa, 27 Agustus 2024 - 16:35
share

JAKARTA, iNews.id - Tradisi Rebo Wekasan, sebuah ritual yang digelar pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Jawa.

Dianggap sebagai hari penuh berkah sekaligus hari turunnya bala, Rebo Wekasan menjadi momen penting untuk memohon perlindungan dan keselamatan dari Sang Pencipta.

Melalui serangkaian amalan dan doa, masyarakat Jawa berharap dapat terhindar dari segala macam musibah serta meraih keberkahan di sepanjang tahun.

Tradisi ini juga mencerminkan perpaduan harmonis antara nilai-nilai Islam dan kearifan lokal, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Jawa.

Tradisi Rebo Wekasan

Tradisi Rebo Wekasan adalah sebuah upacara yang dilakukan setiap hari Rabu pada bulan Safar dalam kalender Islam.

Pada hari ini, masyarakat melakukan berbagai amalan seperti salat, zikir, doa, dan menyebut asma Allah atau ayat-ayat al-Quran yang dikenal dengan ayat Selamat. Tujuannya adalah untuk memohon perlindungan dari segala macam musibah dan cobaan.

Tradisi ini telah ada sejak awal abad ke-17 di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Aceh, Sumatera, Jawa, Riau, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.

Dalam buku Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 karya Karel A. Steenbrink, tradisi ini dijelaskan lebih lanjut.

Di Aceh Selatan, istilah Rebo Wekasan dikenal sebagai tradisi makmegang yang diadakan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.

Ritual tolak bala ini berupa doa bersama di tepi pantai yang dipimpin oleh seorang teungku dan diikuti oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan sebagian warga. Di Pulau Jawa, tradisi ini lebih banyak dilakukan, terutama oleh masyarakat di tepi pantai. Daerah-daerah yang melaksanakan tradisi ini kebanyakan adalah daerah pesisir.

Meskipun cara masyarakat dalam menyikapi Rebo Wekasan berbeda-beda di masing-masing daerah di Jawa, tradisi ini tetap menjadi bagian dari budaya dan kepercayaan lokal.

Bagaimana pandangan Islam terkait Rebo Wekasan?

Dilansir iNews.id dari laman NU Jatim, salah satu topik yang sering dibicarakan masyarakat di akhir bulan Safar adalah Rebo Wekasan. Tradisi ini berkaitan dengan amalan tertentu yang dilakukan pada Rabu terakhir di bulan Safar.

Dalam kitab Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail al-Azminah wash-Shuhur, Abdul Hamid Quds mengungkapkan bahwa banyak wali Allah yang memiliki tingkat spiritual tinggi menyebutkan bahwa setiap tahun, Allah menurunkan 320.000 jenis bencana ke bumi, dan semua itu pertama kali terjadi pada Rabu terakhir di bulan Safar.

Karena itu, hari tersebut dianggap sebagai waktu paling berat sepanjang tahun. Maka, siapa saja yang melaksanakan shalat 4 rakaat (shalat sunah), dengan setiap rakaat setelah membaca al-Fatihah, membaca surat al-Kautsar sebanyak 17 kali, surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq, dan surat an-Naas masing-masing sekali, kemudian dilanjutkan dengan doa setelah salam, maka Allah dengan rahmat-Nya akan melindungi orang tersebut dari semua bencana yang turun pada hari itu hingga setahun penuh.

Mengenai amalan ini, KH Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, menjelaskan bahwa banyak ulama yang menolak konsep bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan. Ada tiga alasan utama yang mereka ajukan:

Tidak ada hadits yang sahih yang secara khusus menyebutkan Rabu terakhir di bulan Safar sebagai hari nahas, kecuali hadits dlaif yang menyebutkan bahwa setiap Rabu terakhir di setiap bulan adalah hari sial. Namun, hadits dlaif ini tidak dapat dijadikan dasar keyakinan.

Tidak ada anjuran khusus dari syariat mengenai ibadah tertentu pada hari tersebut. Meskipun ada anjuran dari beberapa ulama tasawuf, landasannya belum bisa dianggap sebagai hujjah syari.

Shalat khusus seperti yang disebutkan hanya boleh dilakukan dalam konteks shalat hajat untuk menolak bala yang ditakutkan atau sebagai shalat sunah mutlak, sebagaimana diizinkan oleh syariat, dengan tujuan agar manusia bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah.

KH Miftachul Akhyar, Rais Aam PBNU, menegaskan bahwa hadits tentang kesialan pada Rabu terakhir setiap bulan harus dipahami secara kontekstual.

"Kesialan itu berlaku bagi mereka yang mempercayainya. Namun, bagi orang yang beriman, mereka meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan, dan tahun memiliki manfaat dan mudaratnya sendiri. Hari tertentu bisa membawa kebaikan bagi seseorang, namun bisa juga membawa kesialan bagi orang lain, kata KH Miftachul Akhyar.

Oleh karena itu, hadits tersebut tidak seharusnya dijadikan pedoman bahwa setiap Rabu terakhir di bulan Safar adalah hari yang harus dihindari, karena pada hari itu, ada yang mengalami keberuntungan, dan ada pula yang tidak. Manusia harus tetap berusaha dan percaya bahwa semuanya adalah anugerah dari Allah.

Demikianlah penjelasan mengenai Tradisi Rebo Wekasan. Semoga bermanfaat.

Topik Menarik