HIKMAH JUMAT : Hijrah Kekinian

HIKMAH JUMAT : Hijrah Kekinian

Gaya Hidup | serpong.inews.id | Jum'at, 5 Juli 2024 - 06:10
share

Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang.

JUM'AT INI adalah hari Jum’at terakhir di tahun 1445 H. Ini artinya tahun baru 1446 H sudah di depan mata. Dalam hitungan kurang lebih 2x24 jam saja tahun 1445 H akan berlalu dan berganti dengan tahun baru 1446 H.

Setiap pergantian tahun Hijriyah, kita semua pasti akan teringat dengan sejarah hijrahnya Baginda Rasulullah SAW yang kemudian disusul oleh para sahabatnya dari Makkah ke Yatsrib atau Madinah sekarang.

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa hijrah pada era perjuangan Baginda Rasulullah SAW beserta para sahabatnya merupakan sebuah solusi sekaligus strategi untuk membangun kekuatan Islam di kota Madinah. Hijrah seperti ini disebut hijrah makaniyah.

Secara bahasa, hijrah berarti meninggalkan, menjauhkan diri, dan berpindah tempat. Dengan kata lain, seseorang dikatakan berhijrah jika ada sesuatu yang ditinggalkan dan ada sesuatu yang dituju. Pertanyaannya adalah bagaimana memaknai hijrah versi kekinian?

Sebelum kita bahas makna hijrah versi kekinian, mari kita samakan persepsi kita terhadap kata kekinian. Kesamaan persepsi ini menjadi penting agar kita tidak terjebak dengan pikiran liar kita terkait dengan makna kekinian.

Kata kekinian sering kita jumpai dalam berbagai hal di seputar keseharian kita. Mungkin kita sering menjumpai kata-kata seperti minuman kekinian, makanan kekinian, hingga istilah kekinian yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekinian memiliki dua makna. Makna yang pertama, kekinian dimaknai sebagai keadaan kini atau sekarang. Makna yang kedua, kekinian dimaknai mengikuti perkembangan zaman.

Selanjutnya, mari kita simak sabda Baginda Rasulullah SAW: “Seorang muslim adalah seseorang yang menghindari menyakiti muslim lainnya dengan lidah dan tangannya. Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah SWT.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto: Ist)
 
 

Berdasarkan hadits di atas, maka kita dapat melihat bahwa makna hijrah tidak hanya dikaitkan dengan berpindahnya tempat tinggal seseorang secara fisik atau administratif, namun hijrah juga dapat dimaknai dengan berpindahnya perilaku seseorang dari yang buruk menjadi baik.

Dengan pemaknaan hijrah seperti di atas, maka sejatinya kita memaknai hijrah secara maknawi atau hijrah hakiki. Memaknai hijrah secara maknai atau hakiki inilah yang membuat makna hijrah selalu relevan sepanjang masa atau selalu kekinian.

Dalam konteks kekinian, hijrah tidak hanya dikaitkan dengan kondisi atau waktu tertentu saja. Hijrah dalam konteks kekinian justru harus dilakukan secara kontinu di setiap waktu. Dengan kata lain, hijrah kekinian merupakan proses perbaikan diri yang dilakukan secara berkelanjutan.

Hijrah kekinian dapat dilakukan seseorang dengan cara senantiasa melakukan peningkatan terhadap kualitas diri dalam berbagai hal. Hijrah dapat diwujudkan dengan meninggalkan perilaku buruk dan menggantinya dengan perilaku yang baik.

Perhatikan firman Allah SWT yang artinya: “Dan dari segala perbuatan dosa, maka tinggalkanlah” (QS. Al-Muddassir [74]: 5). Pada ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada seluruh hamba-hamba-Nya untuk berhijrah yakni meninggalkan seluruh perilaku atau perbuatan dosa.

Meninggalkan perbuatan dosa kemudian menggantinya dengan melakukan berbagai amal shalih, itulah makna hijrah secara hakiki. Oleh karena itu, setidaknya ada empat jenis hijrah kekinian yang dapat kita lakukan.

Hijrah dari Syirik Menuju Tauhid

Betapa banyak di era sekarang ini orang-orang yang mempertuhankan atasannya, hartanya, jabatannya, pasangannya atau hal-hal lain di dalam kehidupannya. Apapun yang mereka perintahkan, pasti dia lakukan, sekalipun harus bertentangan dengan ajaran Islam.

Kondisi ini sungguh ironi, karena prinsip utama dalam Islam adalah bertauhid atau mengesakan Allah dalam segala bentuk peribadatan. Tidak ada ketaatan kepada makhluk, siapa pun itu, jika dalam perintah atau ketaatan tersebut mengandung maksiat kepada Allah dan Rasul-nya.

Allah SWT berfirman yang artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam, padahal mereka hanya diperintah untuk menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah [9]: 31).


Hijrah kekinian dapat dilakukan seseorang dengan cara senantiasa melakukan peningkatan terhadap kualitas diri dalam berbagai hal. (Foto/Ilustrasi: Ist)
 
 

Hijrah dari Kekufuran Menuju Keimanan

Secara bahasa kufur artinya menutup, melupakan, dan mengingkari. Secara terminologi kufur adalah tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakan atau tidak mendustakannya.

Sementara itu, kekufuran adalah segala bentuk perbuatan yang menutup, mendustakan, dan mengingkari keimanan seseorang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kekufuran dapat dipicu oleh beberapa hal seperti rasa sombong, dengki, amarah, dan syahwat.

Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kekufuran. Salah satunya adalah ayat yang menceritakan tentang kekufurannya Fir’aun dan pengikut-pengikutnya yang terdapat dalam surat An-Naml [27] ayat ke-14 yang artinya: “Dan mereka mengingkarinya karena kedzaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka, perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” 

Hijrah dari Kegelapan Menuju Cahaya

Istilah kegelapan di sini adalah beramal tanpa dilandasi ilmu yang sesuai dengan ajaran Islam. Sementara itu, cahaya adalah ilmu yang melandasi setiap amal shalih yang dilakukan seseorang sesuai dengan tuntunan agama Islam.

Islam adalah agama yang dilandasi oleh ilmu. Ilmu menjadi cahaya dalam menjalankan segala bentuk amal shalih sebagai wujud keislaman seseorang. Oleh karenanya, dalam konsep hijrah yang ketiga ini, seseorang yang awalnya beramal tanpa landasan ilmu, kini beramal senantiasa berlandaskan kepada ilmu.

Perhatikan firman Allah SWT yang artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra [17]: 36).

Hijrah dari Jahiliyah Menuju Islam

Jahiliyah adalah sebuah kondisi atau perilaku dimana seseorang hidup tanpa bimbingan dari Islam dan jauh dari Al-Qur’an. Dengan melakukan hijrah, maka perilakunya berubah menjadi selaras dan sejalan dengan Islam. Al-Qur’an dijadikannya sebagai way of life, yang senantiasa membimbingnya dalam kehidupan sehari-hari.

Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia. Namun, tidak semua manusia dapat mengambil petunjuk dari Al-Qur’an. Allah SWT berfirman yang artinya: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 2).  

Dengan hijrah dari jahiliyah menuju Islam, maka akan membawa seseorang dari segala bentuk kejahiliyahan (keburukan) menuju Islam yang penuh dengan berbagai kebaikan. Hijrahnya seseorang ke dalam Islam akan membawa perilaku seseorang dari kemaksiatan menuju kemashlahatan. (*)


Hijrah tidak hanya berpindahnya tempat tinggal seseorang secara fisik atau administratif, namun hijrah juga dapat dimaknai dengan berpindahnya perilaku seseorang dari yang buruk menjadi baik. (Foto/Ilustrasi: ist)
 

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

 

Topik Menarik