Pelanggaran Wilayah Udara Indonesia
JAKARTA - Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono mengungkapkan, pesawat militer Amerika Serikat (AS) sering melanggar perbatasan wilayah udara Indonesia dalam rentang waktu Januari-Juni 2023.
Selain pesawat militer AS, pesawat militer India juga pernah melanggar batas wilayah udara Indonesia. Hal tersebut disampaikan dalam Rapat Konsultasi antara pimpinan DPR dan pemerintah mengenai evaluasi dan pelaksanaan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan tahun 2023-2024 di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2023).
Panglima TNI menjelaskan, Pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat udara militer, tepatnya dilakukan oleh Amerika Serikat, tercatat sejumlah delapan kali pelanggaran. Dan pesawat militer India pernah dua kali melanggar."
Laksamana Yudo Margono menambahkan, pesawat sipil AS terdeteksi juga melanggar batas wilayah udara Indonesia sebanyak tiga kali. Lalu, ada pula pesawat sipil milik Republik Ceko yang melanggar wilayah udara Indonesia sebanyak satu kali.
"Dari data tersebut, pelanggaran terjadi 13 kali, di FIR Singapura di atas Kepri dan sekali di wilayah udara Kosek I Medan," ucapnya.
Dari uraian kutipan berita di atas, maka sepanjang 2023 sejak Januari sampai dengan Juni 2023 pelanggaran wilayah udara Indonesia terjadi 99% di kawasan Flight Information Region (FIR) Singapura dan satu kali di wilayah udara Kosek 1 Medan.
Pelanggaran wilayah udara Indonesia yang dilaporkan oleh Panglima TNI adalah pelanggaran wilayah udara kita yang berhasil dideteksi. Pelanggaran wilayah udara oleh pesawat asing yang tidak terdeteksi tidak mustahil lebih banyak dari itu. Hal ini sebagai akibat dari perangkat sistem pertahanan udara Indonesia masih memiliki banyak keterbatasan.
Kawasan yang paling banyak berpotensi terjadinya pelanggaran wilayah udara adalah wilayah yang berbatasan dengan negara lain. Dalam hal ini, maka wilayah perairan Selat Malaka, Kepulauan Riau, dan Natuna merupakan wilayah udara yang sangat sering terjadi penerbangan tanpa izin.
Sayangnya, wilayah tersebut pada ketinggian 0 sampai dengan 37 ribu feet telah didelegasikan pengelolaannya oleh pemerintah RI kepada otoritas penerbangan Singapura untuk selama 25 tahun dan akan diperpanjang. Kawasan tersebut dikenal sebagai FIR Singapura.
Dengan demikian, maka sangat dapat dimaklumi pelanggaran wilayah udara teritorial Indonesia pada umumnya terjadi di kawasan tersebut. Penyebab utamanya adalah bahwa Indonesia tidak memiliki otoritas dalam menggelar sistem pertahanan udaranya di daerah tersebut.
Berikutnya tentang airways di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). UNCLOS 1982 yang menyatakan pengakuan internasional terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan, mewajibkan Indonesia memberikan jalur lintas damai bagi kapal-kapal laut negara lain.
Jalur lintas damai atau innocent passage ini dikenal sebagai ALKI. Jalur lintas bebas di ALKI dipersepsikan juga menjadi jalur lintas bebas wilayah udara di atasnya, sering disebut sebagai airways di atas ALKI.
Masalah ini masih menjadi sengketa antara Hukum Udara Internasional dan Hukum Laut, dalam hal ini UNCLOS 1982. Hukum Udara Internasional tidak mengenal jalur lintas bebas di udara (konvensi Chicago 1944), itu sebabnya hukum udara internasional tidak mengenal airways di atas ALKI.
Dengan demikian, maka pelanggaran wilayah udara Indonesia akan tetap dan terus berlangsung, terutama di wilayah udara Selat Malaka, perairan Kepulauan Riau, dan Natuna, karena wilayah udara tersebut otoritas yang berwenang untuk mengelolanya adalah otoritas penerbangan asing.
Pemerintah Indonesia telah memutuskan secara resmi dalam perjanjian antara negara Indonesia dan Singapura untuk mendelegasikan pengelolaan wilayah tersebut untuk selama 25 tahun dan akan diperpanjang.
Itu berarti kita tidak memiliki wewenang menyelenggarakan operasi udara melaksanakan penerbangan pengintaian, pengawasan, dan tindakan terhadap pelanggaran di wilayah udara tersebut, kecuali diizinkan setelah mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada otoritas penerbangan yang berwenang, dalam hal ini Singapura. Sebuah mekanisme operasi udara yang sangat mustahil untuk dapat dilakukan.
Kondisi seperti ini konon kabarnya juga terjadi dalam pengelolaan Bandara Kualanamu yang sudah didelegasikan kepada pihak asing. TNI Angkatan Udara Indonesia tidak dapat melaksanakan operasi udara dengan penerbangan yang menggunakan fasilitas Bandara Kualanamu, kecuali harus bayar seperti halnya dengan penerbangan komersial lainnya.
Sebuah mekanisme yang sangat wajar berlaku dalam proses pendekatan bisnis. Namun pada sisi lainnya, aneh bin ajaib bila TNI Angkatan Udara tidak difasilitasi dalam menggunakan fasilitas aerdrome di negerinya sendiri dan harus bayar untuk melaksanakan operasi udara.
Demikian catatan penting dalam pengelolaan wilayah udara kedaulatan Indonesia dan juga masalah di jalur udara di atas ALKI yang statusnya masih belum jelas antara hukum udara internasional dengan hukum laut, dalam hal ini UNCLOS 1982.
Pelanggaran wilayah udara Indonesia sekarang dan di masa yang akan datang, bila tidak ada perubahan dipastikan akan tetap selalu terjadi. Panglima TNI akan selalu melaporkan tentang masalah tersebut sebagai tanggung jawab atas pelaksanaan tugas pokok TNI. Sebuah tantangan besar dalam menjaga martabat Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa.






