Makna Filosofis Simbol Surya dalam Kehidupan Beragama Masyarakat Majapahit
BEKASI, iNewBekasi.id - Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar di Nusantara pada masa lampau yang sangat dipengaruhi oleh agama Hindu. Agama Hindu Siwa menjadi agama utama yang berkembang pesat di wilayah kerajaan ini. Meskipun begitu, terdapat juga kepercayaan lain yang diakomodir.
Dalam kehidupan beragama pada masa Majapahit, dikenal kultus terhadap dewa-dewa seperti dewa matahari. Konsep kosmogoni sangat mempengaruhi pandangan hidup masyarakat Majapahit.
Berdasarkan kutipan dari buku 700 Tahun Majapahit (1293-1993): Suatu Bunga Rampai, pandangan hidup masyarakat Majapahit didasarkan pada konsep kosmogoni dunia yang dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti arah mata angin, bintang, dan planet. Kesejahteraan dan kemakmuran akan terwujud jika ada keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos.
Susunan bangunan dan benda-benda keramat pada masa Majapahit merefleksikan konsep kosmologi yang dipegang. Penyusunan letak bangunan mengikuti orientasi mata angin yang dianggap penting. Kultus terhadap dewa matahari juga sangat populer, terlihat dari banyaknya simbol surya dalam kehidupan keagamaan. Hal tersebut tercermin dalam 700 Tahun Majapahit (1293-1993): Suatu Bunga Rampai.
Simbol Surya Majapahit terlihat pada beberapa candi seperti Penataran, Rimbi, dan Jabung. Ciri utamanya adalah unsur pusat yang dikelilingi oleh garis atau sinar berjumlah empat atau kelipatannya, melambangkan matahari.
Maka, wujud Surya Majapahit mengikuti arah mata angin atau kosmologi. Penghormatan kepada Dewa Surya dalam kehidupan keagamaan Majapahit didasari oleh konsep penghormatan terhadap matahari yang berkembang sebelum agama Siwa menjadi agama negara.
Keyakinan akan keberadaan Dewa Matahari atau sebagai keturunan Dewa Matahari (Children of the Sun), telah dianut dan berkembang di kalangan pengikut budaya Megalitik, seperti yang masih dianut oleh beberapa suku bangsa di Indonesia saat ini. Di antara suku bangsa yang mengamalkan pemujaan Dewa Matahari adalah mereka yang tinggal di Pulau Timor, Kei, Seram, dan Pulau Sumba.
Dalam konsep tersebut, terdapat keyakinan bahwa matahari memiliki kekuatan magis yang selalu dipancarkan ke seluruh alam sekitarnya. Berdasarkan konsep ini, arah timur dianggap memiliki potensi besar sebagai sumber kehidupan karena merupakan arah matahari terbit.
Sementara itu, arah barat dianggap sebagai arah kematian atau berkurangnya kekuatan karena merupakan arah matahari terbenam. Konsep kepercayaan tersebut tercermin dalam orientasi penguburan mayat yang diarahkan ke timur-barat atau barat-timur, sejalan dengan kepercayaan bahwa kedua arah tersebut memiliki kekuatan magis.
Penempatan kepala mayat di timur mencerminkan keyakinan bahwa arah timur merupakan tempat asal nenek moyang. Oleh karena itu, penguburan dengan kepala mengarah ke timur bertujuan agar arwah orang yang meninggal bisa kembali ke tempat asalnya.
Di sisi lain, penguburan dengan kepala di arah barat sesuai dengan keyakinan bahwa barat adalah arah kematian.