Gara-Gara Pembangunan Jalan, Diponegoro Memberontak di Bulan Agustus Batal
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Seperti sudah menjadi takdir, bahwa saat itu di Jawa keadaan terus memburuk. Peristiwa demi peristiwa pilu terus berparade yang berdampak pada rakyat semakin sengsara. Adanya gerbang cukai jalan tol yang membuat kepedihan rakyat, peredaran opium yang membuat rakyat semakin banyak yang ketagihan sehingga melupakan keluarganya.
Faktor internal itu masih ditambah dengan faktor eksternal misalnya sekitar tahun 1821-1822 di mana terjadi gagal panen sehingga banyak rakyat mulai kelaparan. Kemudian pada tahun 1821 terjadi wabah kolera. Dan, yang paling memilukan rakyat adalah terjadinya peristiwa Gunung Merapi meletus sangat dahsyat yakni pada 28-30 Desember 1822.
Diponegoro sendiri dan banyak orang Jawa saat itu percaya bahwa meletusnya Gunung Merapi itu sebagai ungkapan marahnya Ilahi. Peristiwa meletusnya Gunung Merapi sebagai tanda-tanda zaman, bahwa Jawa akan memasuki zaman baru yang sangat berat.
Untuk itulah, antara bulan Mei 1824 dan bulan Mei 1825 Diponegoro mencoba berkontemplasi dengan alam mengunjungi pasantren dan makam-makam leluhur serta gua-gua yang dianggap keramat oleh leluhurnya, raja-raja Mataram Islam.
Hubungan memanas antara Sang Pangeran dengan pemerintah Belanda terus berlanjut. Saat itu Sultan Hamengku Buwono IV (bertakhta 1814-1822) tiba-tiba wafat di usia muda pada 6 Desember 1822.
Tentu saja meninggal di usia 18 tahun sangat mengagetkan beberapa pihak. Apalagi, meninggalnya ada indikasi diracun setelah makan siang dalam pesiarnya. Dia meninggal setelah keluar dari pesiar.
Untuk itulah disebut Sultan seda bersiyar (Sultan wafat tatkala keluar dari pesiar). Diponegoro menuduh Patih Danurejo IV-lah yang memberikan racun pada nasi dan makanan Jawa. Sementara itu Sang Patih balik menuduh, bahwa Diponegoro dalangnya, dengan memberikan racun hingga setelah makan tubuhnya bengkak mengerikan.
Kematian raja ini mengindikasikan bahwa di dalam keraton penuh dengan intrik-intrik politik. Karena raja di kesultanan tidak boleh kosong, maka Putra Mahkota yang masih kecil berusia 3 tahun harus diangkat menjadi raja. Untuk itulah Putra Mahkota dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Sultan Hamengku Buwono V (bertakhta 1822-1826, 1828-1855).
Raja masih kecil sehingga perlu dibentuk dewan perwalian. Anggotanya adalah Patih Danurejo IV, Ratu Ageng (nenek Sultan), Ratu Kencana (ibu Sultan), Pangeran Mangkubumi (putra HB II), dan Pangeran Diponegoro.
Patih Danurejo IV tugasnya menata urusan kesultanan saja. Untuk pengasuhan dan pendidikan Sultan yang masih kecil, dilimpahkan kepada empat orang wali lainnya.
Ratu Ageng dan Ratu Kecana mengurusi perawatan dan pengasuhan Sultan, sedangkan Pangeran Mangkubumi dan Diponegoro bertugas mengelola keuangan dan urusan lain di kesultanan selama perwalian.
Pada tahun 1825 Residen Yogyakarta dijabat oleh Anthony Hendrik Smissaer. Sejak itu, semua menjadi semakin kacau balau. Residen yang terkenal ceroboh ini merusak hubungan antara wali raja dengan dengan Sultan yang masih kecil.
Dia menghapus pajak tanah dan ganti rugi yang harus dikeluarkan oleh para pengusaha Eropa dan Tionghoa terhadap tanah-tanah para bangsawan yang disewa para pengusaha tersebut. Kecerobohan itu semakin parah setelah residen tidak mengakui lagi Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi sebagai wali. Kedua wali itu seakan-akan ditendang dari pemerintahan kesultanan.
Sejarawan Belanda Gerrit Pieter Rouffaer mengatakan sebagian besar pecahnya Perang Jawa karena saat itu pejabat tidak diisi oleh orang yang tepat, the right man on the ringht place atau orang yang tepat pada tempatnya dan menduduki jabatan sesuai kemampuannya. Dampaknya, timbul perlakuan yang sangat ceroboh terhadap Pangeran Diponegoro yang dilakukan oleh pejabat Belanda yang tidak becus.
Merasa tidak dibutuhkan lagi dan tidak lagi dihargai di keraton, Sang Pangeran mengembalikan cap perwalian kepada pamannya Pangeran Mangkubumi. Setelah mendapat cap itu Mangkubumi kemudian mengembalikan ke keraton sebagai tindak lanjut dari pemecatan terhadap dirinya dan Diponegoro.
Dengan demikian, Diponegoro tidak menjadi pejabat lagi yang menunaikan kewajiban keuangan keraton sebagai wali Sultan yang selama ini digeluti bertahun-tahun. Untuk itulah, sejak tahun 1824 hubungan antara Diponegoro beserta tokoh-tokoh pendukungnya dengan pihak keraton dan Kolonial Belanda semakin memburuk.
Saat itu, residen bodoh yang bernama Hendrik Smissaer memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta agar segala mobilisasi untuk militer dan ekonomi berjalan dengan lancar karena akses jalan yang mudah dan diperlebar.
Proyek itu ternyata melewati pagar sebelah timur Tegalrejo daerah kekuasaan Pangeran Diponegoro yang diwariskan Ratu Ageng, janda permaisuri mendiang Sultan Mangkubumi.
Pada 17 Juni 1825, di jalan itu dipasangi tiang-tiang patok tanpa seizin atau pemberitahuan dari pemiliknya atas perintah Patih Danurejo IV. Rupanya Patih Danurejo IV sengaja melecehkan Sang Pangeran karena Sang Pangeran bukan lagi pejabat keraton.
Danurejo IV masih dendam dengan tamparan sepatu sendal terhadap dirinya yang dilakukan Diponegoro. Untuk itulah orang-orang Diponegoro dan penduduk desa di sekitar Tegalrejo tidak terima pangerannya dilecehkan Patih Danurejo IV dan Kolonial Belanda.
Setelah orang-orang diberbagai desa di sekitar Tegalrejo berdatangan mengungkapkan rasa kekesalannya karena Sang Pangeran tidak dihargai penguasa. Mereka bermaksud membela Sang Pangeran.
Dari dorongan akar rumput itulah rencana Diponegoro yang ingin memberontak pada bulan Agustus 1825 menjadi batal karena diajukan untuk sesegera mungkin melakukan tindakan militer.
Diponegoro kemudian memerintahkah kepada pengikutnya untuk mengganti tiang-tiang patok pancang tanpa izin pemiliknya itu dengan tombak yang ditancapkan sebagai wujud tantangan kepada penguasa yang memperlakukan Sang Pangeran tidak baik.
Menurut laporan Belanda di saat-saat situasi mencekam itu, Sang Pangeran memindahkan istri, orang tua jompo dan anak-anak beserta harta benda termasuk emas berlian untuk biaya perang dari Tegalrejo ke Selarong yang menjadi lungguh nya (wilayah kekuasaannya).
Pernyataan Belanda ini dibantah oleh Sang Pangeran dalam Babad Diponegoro bahwa istri, orang tua dan anak-anak dipindahkan setelah terjadi penyerangan dan pembakaran Tegalrejo.
Saat itu kesibukan militer di Tegalrejo mulai terlihat jelas. Pangeran Mangkubumi dan para bangsawan lain yang simpati dengan Diponegoro mulai nampak di Tegalrejo. Suasana ini kemudian dilaporkan oleh mata-mata kolonial ke Residen Hendrik Smissaer.
Sang Pangeran menuntut kepada residen agar Patih Danurejo IV dipecat. Tetapi tuntutan Sang Pangeran itu sia-sia saja, karena Sang Patih adalah tangan kanan yang sangat setia kepada Kolonial Belanda melebihi setianya kepada Sultan Yogyakarta.
Hendrik Smissaer mengundang Diponegoro ke keraton, tetapi undangan itu ditolak oleh pendukung Diponegoro karena dikhawatirkan setelah tiba di keraton, Sang Pangeran ditangkap dan dipenjarakan.
Para pengikutnya bersumpah untuk bertempur habis-habisan dan tidak membiarkan Sang Pangeran ke keraton untuk berunding dengan Residen Hendrik Smissaer. Untuk itu, utusan-utusan yang dikirim oleh Residen Hendrik Smissaer dan Patih Danurejo IV ke Tegalrejo antara tanggal 18 sampai 20 Juli 1825 semua gagal total.
Utusan yang memicu perang berkobar dilakukan pada hari Rabu 20 Juli 1825. Utusan dipimpin oleh Raden Tumenggung Sindunegara II dan Mas Ario Mandura. Mereka dikawal dengan diperkuat oleh gabuangan pasukan keraton dan pasukan kolonial atas perintah Residen
Hendrik Smissaer. Mereka birniat menangkap dan memenjarakan Diponegoro maupun Mangkubumi. Dari kebijakan sembrono inilah yang kelak akan meluluhlantakkan perekonomian Belanda yang hampir bangkrut karena Perang Jawa (1825-1830).
Penulis Lilik Suharmaji
Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta