Menenggak Tuak Menelisik Adat Batak
JEMBER, NETRALNEWS.COM - Budaya menenggak tuak di Nusantara eksis jauh sebelum bangsa Eropa bertandang. Diriwayatkan dalam Kitab Pararaton saduran tahun 1478 dan 1486 bahwa Raja Kertanegara mangkat di kala meneguk tuak.
Jayakatwang menyerang Raja Kertanegara pada 1291 sebagaimana tersua Sira Bathara Siwa Buddha pijer anadhah sajeng (Kertanegara masih meminum minuman keras) dilanjutkan bahwa kematian Kertanegara di tempat minum tuak Sambi atutur kamoktanira bhathara sang lumah ring panadhahan sajeng .
Konon, Kertanegara mempraktikkan ritus Buddha Tantrayana. Aliran ini bertujuan akhir sunyaparamananda , yaitu tingkatan hidup sebagai Adhibuddha yang abadi, yang mengecap kebahagiaan tertinggi ( paramananda ), yang hakikatnya adalah kesunyatan ( sunyata ).
Dengan menjalankan pelbagai upacara suatu individu akan mampu mencapai tingkatan sunyaparamananda dan semasa hidup akan ditahbiskan sebagai Jina . Individu yang demikian itu disebut jivanmukta atau bhumityaga .
Profil dan Biodata Almira Tunggadewi Yudhoyono, Anak AHY yang Juga Cucu Pertama Presiden RI Ke-6
Djoened, M., Poesponegoro, Nugroho dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid 2: Zaman Kuno (1990) menyebutkan bahwa dalam tingkatan tersebut individu tidak lagi terkena akibat-akibat pancakama upabhoga , untuknya tidak ada lagi hal yang terlarang. Oleh karena itu raja kertanegara dengan sadar menikmati kamapancikam atau pancamakara , salah satunya adalah madya (minuman yang memabukkan).
Tuak tercantum pula dalam Prasasti Pangumulan A yang digubah pada 842 Saka bersama dengan jenis madya lain demikianlah minuman keras yang diminum ada tuak, siddhu, ada jatirasa dan air kelapa ( dun ni nyung ).
Tuak dijadikan hidangan utama dalam berbagai prosesi upacara, khususnya upacara sima , yakni upacara pembebasan pajak bagi suatu daerah. Tuak turut disajikan dengan ikan asin, daging ayam, daging kerbau dan telur berasaskan guratan dalam Prasasti Taji (901).
Menurut Kitab Negarakertagama pada pupuh 90 Lwir nin pana surasa tan, pgat mawantu, twak nyu twak iwalan, harak hano kilan brm, mwan tampo sin adika tan hane harp, sk, sarwwa mas, wawan ika dudw anekawarnna.
Ada dua jenis tuak, twak nyu dan twak siwalan . Bahan baku tuak berasal dari nira kelapa, pohon enau maupun pohon tal atau siwalan. Tiap daerah mempunyai versi tuaknya masing-masing, Jawa dengan ciunya, Bali dengan arak balinya dan NTT dengan sopinya.
Meskipun persentase alkohol pada tuak terhitung rendah apabila dibandingkan dengan minuman botol pabrik, minuman hasil fermentasi nira ini bila dikonsumsi berlebihan jelas memabukkan penikmatnya.
Namun, siapa sangka bahwa dalam beberapa komunitas minuman ini diterima dengan baik sebab diyakini membawa pengaruh positif. Terutama dalam masyarakat Batak Toba, ketenarannya menjadikan tuak sebagai minuman simbolik Suku Batak.
Orang-orang Batak percaya bahwa tuak memiliki khasiat yang baik untuk kesehatan jika dikonsumsi secara teratur. Sering kali tuak diminum guna menghangatkan tubuh dan menjaga stamina. Selain itu, menurut tradisi Batak, perempuan yang baru melahirkan dianjurkan untuk mengonsumsi tuak dengan syarat tak lebih dari segelas perhari.
Akses untuk menikmati tuak tidaklah sulit. Lapo tuak banyak bertebaran baik di kota maupun desa. Lazimnya pengunjung lapo tuak adalah kaum adam.
Mereka datang tidak hanya untuk mengenyangkan perut tetapi juga sebagai sarana pelepas penat. Lapo tuak berfungsi sebagai sarana informasi dan komunikasi untuk mempererat hubungan antar masyarakat tanpa memandang status sosial.
Sejak kedatangan Belanda eksistensi tuak sempat mengalami kegamangan. Tuak dinilai tidak sesuai moral dan keimanan. Belanda menaikkan bea cukai minuman keras impor, razia dilakukan dengan sasaran utama pembasmian arak gelap. Arak gelap dapat berarti arak yang dibuat secara tidak sah menurut ketentuan hukum, (Kasijanto, 1925).
Organisasi politik dalam negeri pun turut gencar melakukan kampanye anti alkohol. Sarekat Islam terang-terangan menentang minuman berakohol. Mereka meminta pemerintah untuk membuat undang-undang pelarangan konsumsi minuman keras. Tak jauh beda dengan Budi Utomo, mereka menyerukan untuk memilih pemimpin bebas alkohol yang disambut baik Bupati Sedya Mulya untuk mendirikan perkumpulan anti alkohol.
Tahun 1914 pemerintah merespons dengan pembuatan aturan yang memperketat izin usaha rumah-rumah minum yang hanya diperbolehkan menjual tiga liter minuman keras setiap jam buka dan harus mengantongi izin polisi.
Pemerintah membentuk alcoholbestrijding commisie alias komisi pemberantasan alkohol yang bertugas memerangi masalah yang timbul dari penyalahgunaan alkohol di Hindia Belanda.
Selama 5 lustrum periode 1900-1925 upaya pembasmian dilakukan mati-matian. Namun adanya sikap tahu sama tahu membuat aturan antialkohol sulit diterapkan hingga saat ini.
Penulis: Raden Ayu Diva La Diva Al-Mohtar