Kontribusi Pesantren dalam Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia

Kontribusi Pesantren dalam Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia

Gaya Hidup | netralnews.com | Rabu, 14 September 2022 - 13:46
share

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Pendidikan agama Islam yang telah ada di pesantren, mesjid, dan musala dianggap tidak membantu pemerintah Belanda. Para santri pondok masih dianggap buta huruf latin, yang secara remi menjadi acuan pada waktu itu.

Bahkan, untuk membatasi gerak pendidikan Islam, dikeluarkan beberapa aturan seperti:

1. Pada 1882, dibentuk badan khusus yang mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden .

Dari nasihat badan ini, tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan aturan baru yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran atau pengajian agama Islam harus meminta ijin pada pemerintah Belanda.

2. Pada 1925 keluar aturan yang lebih ketat terhadap pendidikan pendidikan agama Islam. Tidak semua orang (kiai) boleh memberikan pelajaran mengaji kecuali telah mendapat rekomendasi/persetujuan dari pemerintah.

3. Pada 1932 keluar lagi aturan berupa kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda, atau disebut Ordonansi Sekolah Liar ( Wilden School Ordonantie ).

Dalam praktiknya, politik Islam dan politik pendidikan yang dijalankan pemerintah kolonial yang menomorsatukan anak-anak pejabat dan pembesar justru membatasi pendidikan pribumi dan menggiring putra pribumi tersebut pergi ke pondok-pondok pesantren.

Proses ini justru mendasari kuatnya kepercayaan beragama penduduk pribumi yang beragama Islam. Banyak pula tokoh-tokoh Islam yang mendapatkan brosur dan majalah terlarang dari Timur Tengah, serta jumlah jemaah haji Indonesia pun tetap melimpah.

Seperti dikemukakan Wertheim, bahwa apa pun politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non-Islam, hasilnya akan berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasaan tersebut (Ridwan saidi, 1984:3).

Tekanan demi tekanan sama sekali tidak menggoyahkan mereka. Kondisi pendidikan Islam itu sendiri tumbuh dan berkembang, meskipun berbagai kebijaksanaan telah diterapkan.

Pendidikan Islam sebelum Tahun 1900

Pada masa ini, pendidikan berlangsung lebih bersifat perorangan, secara rumah tangga, dan secara surau/langgar atau masjid. Pendidikan tersebut mengutamakan pelajaran praktis, misalnya tentang ketuhanan, keimanan, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah. Pemisahan mata pelajaran tertentu belum ada dan pelajaran yang diberikan pun belum secara sistematis (Sidi Ibrahim Boechari, 1981:62).

Pendidikan surau mempunyai dua tingkatan yaitu: pelajaran Alquran dan pengkajian kitab. Pada pelajaran Alquran diberikan pelajaran huruf hijaiyah, Juzamma dan Alquran. Setelah menyelesaikan pelajaran Alquran, dilanjutkan pengkajian kitab. Pada pengkajian ini diajarkan ilmu sharf, tafsir, dan ilmu-ilmu lain.

Pendidikan Islam pada masa itu mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:

a. Pelajaran diberikan satu demi satu,

b. Pelajaran ilmu sharf didahulukan dari ilmu nahu,

c. Buku pelajaran dikarang oleh ulama Indonesia dan diterjemahkan ke dalam bahasa daerah setempat,

d. Kitab yang diajarkan umumnya ditulis tangan,

e. Pelajaran suatu ilmu diajarkan dalam satu macam buku saja,

f. Toko buku belum ada, dilakukan dengan menyalin buku dengan tulisan tangan,

g. Karena terbatasnya bacaan, materi ilmu agama sangat sedikit,

h. Belum lahir aliran baru dalam Islam.

Pada periode ini sulit untuk menentukan secara pasti kapan surau atau langgar dan pesantren yang pertama berdiri. Namun demikian, pada abad ke-17 M di Jawa telah terdapat pesantren Sunan Bonang di Tuban, Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti Giri dan sebagainya (Timur Djaelani, 1980:17).

Namun sebenarnya, jauh sebelum itu telah ada sebuah pesantren di hutan Glagah Arum (Selatan Jepara) yang didirikan oleh Raden Fatah pada tahun 1475 M (Mahmud Yunus, 1984:217).

Sementara itu di Sumatera tempat pengajian berupa surau jauh sebelum itu sudah dikenal, namun sulit untuk mengetahui secara pasti tahun berapa dan di mana.

Pendidikan Islam di Masa Peralihan (1900-1908)

Dalam periode ini telah banyak berdiri tempat pendidikan Islam terkenal di Sumatera, seperti surau Parabek Bukit Tinggi (1908) yang didirikan oleh Syekh Ibrahim Parabek dan di Pulau Jawa seperti Pesantren Tebu Ireng, namun sistem madrasah belum dikenal.

Periode ini dipelopori oleh Syekh Khatib Minangkabau dan kawan-kawannya yang banyak mendidik dan mengajar pemuda di Mekkah, terutama pemuda-pemuda yang berasal dari Indonesia dan Malaya.

Murid-muridnya seperti H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) yang mengajar di Surau Jembatan Besi Padang Panjang, K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, K.H. Hasyim Asyari pendiri pesantren Tebu Ireng dan NU, dan K.H. Adnan di Solo (Sidi Ibrahim Boechari, 1981:79). Mereka ini ketika kembali dari Mekkah ikut andil dalam pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia sekembalinya ke tanah air.

Pembaharuan Islam di Indonesia diilhami pula oleh pengaruh yang datang dari Mesir. Syekh Thaher Jalaluddin dianggap sebagai pembaharu di Indonesia karena banyak memperkenalkan paham Muhammad Abduh melalui majalah al-Imam yang diterbitkan di Singapura sekitar tahun 1906.

Majalah ini memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar tentang kejadian-kejadian penting di dunia, terutama di dunia Islam juga mengenai maslaah-masalah agama. Majalah al-Imam tersebar di kawasan Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

Majalah ini mengilhami H. Abdullah Ahmad untuk menerbitkan Majalah al-Munir di Padang tahun 1911 (Deliar Noer, 1980:41).

Pelajaran Islam pada masa peralihan berciri:

a. Pelajaran untuk dua sampai enam ilmu dihimpun secara sekaligus,

b. Pelajaran ilmu Nahwu didahulukan atau disamakan dengan ilmu sharf,

c. Semua buku pelajaran karangan ulama Islam kuno dan dalam bahasa Arab,

d. Buku-buku semua dicetak,

e. Suatu ilmu diajarkan dari bermacam-macam buku, rendah, menengah dan tinggi,

f. Telah ada toko buku yang memesan buku-buku dari Mesir atau Mekkah,

g. Ilmu agama telah berkembang luas,

h. Aliran baru dalam Islam seperti dibawa oleh Majalah al-Manar di Mesir mulai lahir.

Pendidikan Islam masa ini sudah mengalami kemajuan, meski saat itu kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam sangat ketat.

Di samping itu pemerintah kolonial juga sedang gencar mempropagandakan pendidikan yang mereka kelola, yaitu pendidikan yang membedakan antara golongan pribumi dengan golongan priyayi atau pejabat bahkan yang beragama Kristen.

Pendidikan Islam sesudah Tahun 1909

Sejak 1908 muncul kesadaran baru tentang nasionalisme yang menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa perjuangan kedaerahan sulit untuk mencapai keberhasilan. Karena itu sejak 1908 timbul kesadaran baru dari bangsa Indonesia untuk memperkuat persatuan.

Kesadaran demikian juga muncul di kalangan pendidik Islam. Para ulama saat itu menyadari bahwa sistem pendidikan langgar dan pesantren tradisional mereka sudah tidak begitu sesuai lagi dengan iklim Indonesia dan jumlah murid yang ingin belajar semakin bertambah. Dirasakan kebutuhan untuk memberikan pelajaran agama di madrasah atau sekolah secara teratur.

Maka, berdirilah seperti madrasah Adabiyah pada tahun 1909 di Padang oleh Syekh Abdullah Ahmad, madrasah diniyah di Padang Panjang oleh Zainuddin Labai El Yunusi tahun 1915 (Mahmud Yunus, 1985:63).

Surau pertama yang memakai sistem kelas dalam belajar mengajar adalah Sumatera Thawalib Padang Panjang yang dipimpin Syekh Abdul Karim Amrullah tahun 1921. Pada tahun yang sama diikuti Sumatera Thawalib Parabek Bukit Tinggi yang dipimpin Syekh Ibrahim Musa (Mahmud Yunus, 1985:73).

Sedang madrasah pertama di Aceh adalah Madrasah Saadah Adabiyah yang didirikan oleh Jamiyyah Diniyah Pimpinan T. Daud Beureuh tahun 1930 di Belang Paseh Sigli (Mahmud Yunus, 1985:177).

Kemudian di Jawa pada tahun 1919 K.H. Hasyim Asyari mendirikan madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang (Timur Djaelani, 1980:19).

Dapat disimpulkan bahwa madrasah dikenal pada awal abad ke-20. Sistem ini membawa pembaharuan antara lain:

a. Sistem pengajaran, dari perorangan/sorogan menjadi klasikal,

b. Pengajaran pengetahuan umum di samping pengetahuan agama dan bahasa Arab.

Pendidikan madrasah mulai dikenal dan berkembang di seluruh wilayah Indonesia, banyak didirikan baik dengan usaha pribadi atau oleh organisasi-organisasi Islam, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi.

Meskipun pemerintah kolonial berusaha menghalangi perkembangannya, karena kekhawatiran pendidikan tersebut dapat mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, juga berfungsi mengembangkan ajaran-ajaran Isam di kalangan remaja sehingga membahayakan posisi pemerintah Hindia Belanda.

Akhirnya kekhawatiran mereka memang menjadi kenyataan.

Penulis: Wahyudi Azharief

Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Yogyakarta

Topik Menarik