Senjata Sakti Suku Dayak yang Mematikan selain Mandau
JAKARTA, iNews.id - Suku-suku yang ada di Indonesia punya sejumlah tradisi yang masih bertahan hingga saat ini. Salah satunya tradisi sipet atau sumpit yang kerap digunakan suku Dayak di kawasan Kalimantan.
Awalnya, sipet atau sumpit disebut damek. Senjata ini digunakan untuk berburu hewan liar atau hewan untuk di makan. Berdasarkan cerita turun-temurun, sipet itu menjadi senjata khas Dayak saat terjadinya pertempuran selain tombak (Lunju) dan Mandau.
Bentuk sumpit boleh bisa dibilang cukup sederhana. Dikutip dari InfoPublik, senjata ini terdiri atas batang atau badan sumpit itu sendiri. Batang sumpit biasanya menggunakan kayu tampang, ulin, tabalien, plepek, dan kayu resak.
Batang ini dibentuk seperti pipa. Panjangnya berkisar 1,5 hingga 2 meter. Kemudian bagian tengah dilubangi sekitar 1 sentimeter.
Saat zaman penjajahan, sumpit ini merupakan senjata andalan suku Dayak untuk melumpuhkan musuh. Senjata ini sangat ditakuti tentara penjajah. Sebab jika terkena anak sumpit, musuh akan merasakan tersiksa sebelum akhirnya tewas.
Untuk kepentingan berburu atau melumpuhkan musuh, ujung anak sumpit (damek) yang lancip itu biasa direndam dalam racun dalam bahasa suku Dayak disebut kunyung dari getah tumbuhan ipu atau siren yang sangat mematikan. Binatang buruan atau musuh yang tertancap di ujung damek dipastikan akan mati dalam waktu 30 detik hingga 3 menit.
Bagian daging di sekitar damek menancap akan berwarna biru dan harus dibuang karena berbahaya jika di makan. Sumpit ini tergolong senjata senyap atau senjata tradisional jarak jauh untuk melumpuhkan sasaran. Disebut senyap, karena senjata ini memang tak mengeluarkan suara berisik (silent killer).
Bagi suku dayak, manyipet atau menyumpit merupakan kebanggaan karena dulu para lelaki bisa mendapatkan lauk bagi keluarga dari berburu hewan di hutan. Pria dewasa suku Dayak zaman dulu, harus bisa menyumpit dengan tepat. Kepiawaian tersebut dijadikan penanda, seorang pria telat melewati fase remaja. Saat ini manyipet masih dilakukan, tetapi hanya untuk sambilan ketika pergi ke ladang.
Dalam buku Sumpitan Koleksi Museum Kalteng menyebutkan asal muasal senjata ini beberapa versi. Antara lain seorang pandai besi mendapati bambu (puputan) yang dipakai meniup api tersumbat. Dia kemudian meniupnya sekuat tenaga sehingga sumbatannya terlempar keluar.
Ada juga kisah peniup seruling (serunai) yang lubangnya tersumbat dan kemudian dia meniupnya. Ada yang menuturkan sumpit hasil kreasi pemburu saat melihat buaya menyemprotkan air ke monyet. Dari mana pun asal dan bagaimana muasal penggunaannya, sumpit sudah sangat lama menjadi senjata Dayak.
Menurut budayawan Dayak, Syaer Sua U Rangka, sumpit punya nilai kearifan lokal. Itu tercermin saat pembuatan sumpit itu. Dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran untuk mengebor (membuat lubang berdiameter sekitar 1 sentimeter) di dalam batang kayu ulin yang keras itu selama berbulan-bulan.
Berpikir harus lurus, kata Syaer Sua U Rangka.
Untuk melestarikan kebudayaan leluhurnya itu, pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah kerap menggelar lomba menyimpet atau menyumpit. Lomba ini menjadi agenda tahunan pemerintah setempat.