Lumpia Samijaya, Sensasi Rasa yang Mungkin Hilang dari Malioboro

Lumpia Samijaya, Sensasi Rasa yang Mungkin Hilang dari Malioboro

Gaya Hidup | mojok.co | Sabtu, 29 Januari 2022 - 08:46
share

Lumpia Samijaya di Malioboro sudah dijalankan turun temurun tiga generasi. Hari-hari ini, seperti pedagang kaki lima lainnya di kawasan tersebut, mereka menunggu untuk relokasi.

***

Tiga generasi penjual lumpia di Malioboro

Malioboro basah malam itu. Hujan turun deras jelang magrib tadi, selepas Teras Malioboro, pusat pedagang kaki lima (PKL) yang baru, diresmikan, Rabu (26/1). Sisa-sisa gerimis masih terasa di ubun-ubun dan genangan-genangan kecil di sepanjang jalan yang sebentar lagi akan bersih dari PKL itu.

Namun, seperti malam-malam lain, apalagi jelang boyongan PKL awal Februari nanti, Malioboro seakan menampik sepi. Salah satu titik keramaian malam itu datang dari sebuah gerobak, persis di gedung eks Hotel Mutiara yang kosong dan sepi, setelah dibeli Pemda DIY dan akan difungsikan sebagai pusat UMKM.

Dua pembeli rela basah oleh gerimis karena menunggu di depan gerobak. Itu karena di sisi belakang gerobak antrean pesanan lebih panjang lagi. Para pembeli disediakan tempat dengan bangku-bangku plastik kecil. Meski dapat dikemas untuk jadi oleh-oleh, jajanan ini enaknya disantap begitu mentas dari wajan.

Jangan khawatir si pedagang menyediakan tempat yang cukup untuk berteduh dari panas di siang hari atau hujan seperti malam itu. Tempat ini bukan di jalur pedestrian, tapi di sebuah gedung kosong yang sebagian besar areanya dijadikan tempat parkir sepeda motor.

Di tempat inilah, duduk di pojok parkiran itu, kita bisa menyantap hangat-hangat lumpia terpopuler di Malioboro, Lumpia Samijaya.

Tiap malam, Dede Wahyu Krismanto (31) datang ke usaha yang dirintis kakek dan neneknya itu, yakni Mbah Tukiran dan Mbah Dalimun. Saat pamannya, Om Winur, yang menahkodai usaha itu tak datang seperti malam itu, ia yang mengoordinasi para peracik dan pemasak lumpia.

Dede adalah generasi ketiga dari usaha Lumpia Samijaya. Tak sekadar cucu sang pendiri, ia pun piawai meracik penganan yang terdiri dari kulit tepung berisi sayuran itu. Dari 10 orang cucunya simbah, tiga orang sekarang batu-bantu di sini, kata dia kepada Mojok.

Dede bercerita, usaha jualan lumpia dirintis oleh kakek dan neneknya pada 1983. Simbahnya itu tinggal di Kampung Sosrokusuman, di belakang Hotel Mutiara. Kala itu, ia ditawari untuk mengelola gerobak milik adiknya. Waktu itu jualan adiknya simbah lumpia juga. Usaha jalan, tapi sepi, kata Dede.

Namun, karena tak enak jika mengelola gerobak secara cuma-cuma, gerobak itu dibeli Tukiran dan meneruskan usaha itu. Pertimbangannya sederhana. Jika gerobak itu dijual, usaha akan berpindah ke orang lain.

Sayang saja, karena gerobak itu mangkal di lokasi strategis, sebuah toko serba ada yang dianggap paling ramai kala itu, Toko Samijaya. Dari nama toko itulah, lumpia ini beroleh nama. Orang-orang kerap menyebutnya lumpia di depan Samijaya hingga pada medio 1990-an lumpia itu mulai dikenal sebagai Lumpia Samijaya.

Beda lumpia gagrak Yogya dan Semarang

Lumpia Samijaya mengikuti gagrak lumpia ala Yogyakarta. lumpia ini berbeda dari lumpia Semarangkota yang identik dengan penganan iniyang berisi rebung atau bambu muda hingga didominasi rasa manis dengan versi kering dan basah. Di sini sama sekali nggak pakai rebung, katanya.

Lumpia ala Jogja termasuk Lumpia Samijaya berisi sayuran dan hanya mengenal mode goreng kering. Simbah cuma ngamati dari orang-orang kampung Sosrokusuman yang masak lumpia. Dicoba sendiri, jadi. lalu dijual, ujarnya.

Saat dinikmati, setelah merasakan kulitnya yang krispi, terasa isian utama Lumpia Samijaya yang meriah, berupa toge, wortel, daun bawang, dan irisan bengkoang. Sayurnya ini juga fresh, enggak dimasak, tapi disiram air panas, jelas Dede.

Bahan-bahan itu dibeli di pasar, sayuran disiapkan di rumah simbahnya, dan di gerobak tinggal dibungkus dan digoreng saat ada pembeli. Varian rasanya adalah ayam dan spesial, yakni ayam plus telur puyuh yang menjadi bonus di salah satu ujung lumpia. Lumpia isi ayam dibanderol Rp5000 dan lumpia spesial Rp6000.

Seperti laiknya usaha kuliner lain, Lumpia Samijaya mengalami modifikasi. Apalagi menu kuliner ini juga meneruskan produk sebelumnya. Semula lumpia itu juga berisi tahu. Tapi karena rasanya jadi kurang, bahkan rasanya jadi asam, jadi nggak dipakai, tuturnya.

Simbahnya juga menambahkan citarasa lain pada lumpia itu. Selain dilengkapi acar dan cabe, lumpia disajikan dengan toping remahan putih-putih basah. Banyak yang salah ngira itu kepala atau keju, padahal itu bengkoang, jelas Dede.

Namun, layaknya usaha yang lain pula, Lumpia Samijaya tak serta merta langsung diserbu pembeli. Proses untuk merebut lidah dan hati pengunjung Malioboro untuk mencicipi lumpia Samijaya butuh waktu panjang. Apalagi, kata Dede, lumpia itu bukan satu-satunya lumpia di Malioboro, bahkan salah satunya seumuran dengan Samijaya.

Toh, sebagai warga Malioboro, mental dagang Tukiran sudah teruji. Sebelumnya, ia sudah berdagang makanan kecil dan rokok. Simbah memang basic- nya jualan. Dia yakin sama yang dia jual. Simbah juga sangat sabar, kata Dede.

Pada 1990-an, lumpia Samijaya mulai dikenal dan sejak itu kian populer. Dari wisatawan yang penasaran, pembeli yang jadi langganan, termasuk turis-turis bule, hingga media lalu kini media sosial yang terus menyebutnya. Dari mulut ke mulut saja. Ada pasang surutnya, tapi volume penjualan naik terus, ujarnya.

Saat ini, sekitar 3000 lumpia terjual per hari. Jumlah itu melonjak lagi tatkala masa libur panjang. Lumpia Samijaya pun membuka cabang di Jalan Mataram. Peminat datang dari luar kota, seperti Jakarta, Bandung, dan Kalimantan. Bahkan ada pemesan dari Malaysia dan Singapura. Untuk itu, lumpia Samijaya kini juga melayani pembelian online dan paket frozen atau beku.

Seorang ibu-ibu wisatawan asal Semarang yang membeli lumpia Samijaya, Nur Ani (50), mengakui kontrasnya lumpia itu dengan lumpia ala Semarang. Memang beda banget dari lumpia Semarang yang isinya rebung dan manis. Ini lebih rame dan gurih, katanya.

Usaha keluarga, anak, cucu, dan keluarga besar

Pasangan Tukiran-Dalimun memiliki lima anak. Suami istri itu berpulang di usia 60-an tak berselang lama di tahun yang sama, 2015. Usaha lumpia paling kondang di Malioboro itu semula dikelola oleh anak keduanya, Winarto. Namun kemudian Winarto sakit dan meninggal hingga usaha itu dilanjutkan saudaranya yang lain. Simbah minta ini dikembangin keluarga, Enggak usah jauh-jauh kerja, tapi ngelola bareng-bareng, ujar Dede.

Sejak kelas 4 SD, Dede tinggal bersama simbahnya di Sosrokusuman, sementara orang tuanya berada di Tegalpanggung. Dede adalah cucu dari anak pertama, Winarti. Karena dekat dengan kakek-neneknya, Dede mengalami langsung kedua simbahnya itu menjalani usaha. Beliau sama cucunya gemati (telaten). Simbah langsung ngajari. Nggak cuma omongan, tapi kasih conto, katanya.

Oleh simbah putrinya, Dede ditunjukkan cara mengolah lumpia dan menyajikannya. Saat SMP sampai SMA, Dede juga kerap diajak berjualan. Bahkan sempat karena pengurus lain belum datang karena suatu acara, Dede dan simbah putrinya sempat jualan lumpia berdua.

Praktik lapangan ini membuat Dede kini menjadi generasi ketiga yang mendapat tanggung jawab besar dalam usaha ini. Dari berbagai pengalaman dengan simbahnya itu, Dede juga belajar banyak soal mengelola usaha dan melakoni kehidupan.

Banyak ilmu dari simbah. Ilmunya itu bukan dari apa yang diucapkan, tapi dari yang dicontohkan. Usaha itu ya harus jalan. Gerak. Kita ikhtiar saja, Rezeki itu wallaahualam (hanya Tuhan yang tahu), kata Dede yang mengaku tak punya usaha lain selain dari lumpia ini.

Lumpia Samijaya pun menjadi usaha bersama di antara anak, cucu, dan keluarga besar mendiang Tukiran-Dalimun. Terbagi dalam dua sif kerja, mereka melayani pembeli sejak jam 9 pagi sampai 10 malam dibantu 15 pekerja di dua gerobak jualan.

Salah satu pekerja Lumpia Samijaya, Pak Joko, bilang bekerja di situ sejak 1998 saat ia pulang kampung dari perantauannya di Sumatera karena terdampak krisis moneter. Habis merantau enggak ada gawean. Saya lalu diajari ngleteki (memilah) kulit lumpia ya manut, kata Pak Joko, yang sehari-hari bertugas menyiapkan kulit lumpia.

Berharap masih bisa jualan di tempat semula

Sejak awal buka, gerobak Lumpia Samijaya tak berpindah tempat dari depan Samijaya. Buah dari kesabaran inilah yang membuat lumpia ini mendapat tetenger bahkan brand kendati empunya nama yang asli sudah tiada.

Berdiri sekitar 1970-an, toserba itu satu dari tiga toko lain yang ada kala itu. Menjual aneka rupa keperluan, Dede mengingatnya sebagai toko baju paling lengkap. Ini jadi semacam mal yang paling ramai di Malioboro waktu itu, kenang Dede.

Toko itu akhirnya tutup sekitar 2010. Menurut Dede, gedung bekas Samijaya dibeli sebuah toko busana di sebelahnya. Namun karena belum difungsikan, sementara ada ketentuan penataan parkir, gedung kosong itu digunakan sebagai tempat parkir. Pojok depan parkiran itu jadi tempat menikmati lumpia Samijaya begitu mentas dari penggorengan.

Kini Dede mencemaskan usahanya itu terdampak relokasi pedagang kaki lima (PKL) yang telah dicanangkan hari itu. Dalam sejarah lumpia ini, sepengetahuan Dede, usaha kakeknya ini tak pernah kena garukan. Namun, Lumpia Samijaya pernah terimbas penertiban yakni diminta mengatur ruang jualan agar tak mencaplok seluruh jalur pedestrian dan ada ruang untuk pejalan kaki.

Dalam relokasi kali ini, Lumpia Samijaya telah mendapat tempat jualan baru di Teras Malioboro 2, shelter PKL di sisi utara Malioboro, bersama sekitar 1000 PKL lain. Boyongan dijadwalkan mulai 1 Februari. Yang di sana tetap dikejar, tapi sepertinya enggak langsung digunakan untuk jualan karena kami enggak tahu kondisinya, kata Dede.

Ia berharap gerobak Lumpia Samijaya tetap dapat berjualan di tempat aslinya. Rencananya, gerobak dapat masuk ke gedung bekas Samijaya. Selain tak melanggar ketentuan berjualan di trotoar Malioboro, Lumpia Samijaya dapat mempertahankan nama itu sembari merawat kenangan di toko populer yang kini tinggal nama itu. Passion -nya jualan di sini dari dulu, katanya.

Reporter : Arif Hernawan
Editor : Agung Purwandono

Topik Menarik