Pemerintah Harus Fokus Tarik Investasi yang Ciptakan Lapangan Kerja

Pemerintah Harus Fokus Tarik Investasi yang Ciptakan Lapangan Kerja

Ekonomi | sindonews | Senin, 10 Maret 2025 - 14:08
share

Realitas ditutupnya sejumlah pabrik yang diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan pekerja harus dipandang sebagai persoalan serius, terkait dengan iklim berusaha di Indonesia. Kementerian terkait selayaknya fokus memperbaiki berbagai kendala investasi dan mendorong masuknya modal asing bagi terciptanya lapangan kerja baru.

Pengamat hubungan internasional Zenzia Sianica Ihza memandang, untuk mengatasi gelombang PHK, pemerintah perlu melakukan transformasi ekonomi jangka panjang dengan berbagai langkah strategis. Mengingat fenomena PHK ini terkait dengan perlambatan sektor industri manufaktur, yang menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.

“Kita perlu kebijakan reindustrialisasi, peningkatan iklim usaha, optimalisasi hilirisasi sumber daya alam, dan mendatangkan investasi yang dapat membuka lapangan pekerjaan,” kata Zenzia dalam keterangannya dikutip di Jakarta, Senin (10/3/2025).

Dalam pandangan Zenzia, upaya kementerain terkait menghadapi krisis PHK ini masih kurang memadai, lambat, dan belum konsisten.

“Untuk jangka pendek pemerintah harus fokus pada upaya menjaga daya beli masyarakat. Itu bisa dilakukan dengan pemberian subsidi kepada korban PHK, menyediakan program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan agar mereka bisa bekerja di sektor lain, dan menghubungkan mereka dengan peluang kerja baru,” katanya. Mengutip data BPS yang dirilis 5 Nov 2024 lalu, Zenzia menyebut, masih ada 7,47 juta orang yang menganggur dan jumlah ini dipastikan akan bertambah seiring banyaknya PHK di awal 2025 ini. Bahkan, data International Monetary Fund (IMF) menunjukkan, level pengangguran di Indonesia menempati level tertinggi di ASEAN. Per April 2024 lalu tingkat pengangguran kita mencapai 5,2 persen, disusul Filipina (5,1), Brunei Darusallam (4,9), Malaysia (3,52), Vietnam (2,1), Singapura (1,9) dan Tahiland (1,1).

“Sampai dengan akhir Februari lalu, mereka yang terkena PHK itu sudah mencapai sekitar 80 ribu orang. Tak ada cara lain untuk mengatasi ini, kecuali memperbaiki kesempatan berusaha di Indonesia sehingga mampu menciptakan lapangan kerja baru,” tandas Zenzia.

Iklim Investasi

Zenzia juga memandang, meskipun peringkat daya saing Indonesia mengalami peningkatan, sinyal positif ini belum cukup untuk menarik investor jika tantangan lain tidak dibenahi.

“Memang kita berhasil naik dalam peringkat daya saing, tetapi faktor lain seperti stabilitas hukum, birokrasi yang berbelit, dan kebijakan yang sering berubah harus segera diperbaiki untuk mendorong lebih banyak investasi,” ujarnya.

Berdasarkan laporan World Competitiveness Yearbook 2024, Indonesia berhasil naik ke posisi 44 dari 64 negara dalam hal daya saing global. Namun, katanya, tantangan besar masih ada, khususnya dalam hal birokrasi dan kebijakan yang tidak konsisten.

“Negara ini masih perlu menata ulang regulasi yang sering berubah, terutama seiring pergantian pemerintahan, yang membuat investor merasa tidak memiliki kepastian untuk berinvestasi dalam jangka panjang,” terang Zenzia.

Zenzia sepakat dengan pandangan pemerintah bahwa penutupan pabrik-pabrik besar seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), PT Sanken Indonesia, PT Yamaha Indonesia dan PT Yamaha Music Product Asia disebabkan oleh penurunan permintaan pasar ekspor, ketatnya persaingan global, dan strategi bisnis perusahaan yang berfokus pada efisiensi biaya.

Namun, lanjut Zenzia, kebijakan pemerintah yang menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) turut memberi tekanan besar pada sektor manufaktur.

“Beban produksi bertambah dengan kebijakan kenaikan UMP yang terjadi setiap tahun, tanpa disertai dengan peningkatan produktivitas yang signifikan. Kenaikan UMP ini berimbas langsung pada biaya tenaga kerja yang semakin tinggi, yang kemudian menurunkan daya saing produk di pasar global.”

Menurut Zenzia, banyak perusahaan, terutama yang bergerak di sektor manufaktur dan tekstil, merasa tertekan dengan biaya produksi yang terus membengkak, sementara di sisi lain, pasar domestik dipenuhi dengan produk impor yang lebih murah."Ketika UMP terus naik tanpa disertai perbaikan dalam efisiensi dan teknologi produksi, maka beban biaya akan terus meningkat. Hal ini membuat banyak perusahaan kesulitan bersaing, baik di pasar domestik maupun global," katanya.

Hal lain yang tak kalah krusial menyangkut jaminan keamanan bagi investor. Menurut Zenzia, tanpa adanya jaminan yang jelas mengenai perlindungan hukum, investor akan ragu untuk menanamkan modalnya.

“Keamanan investasi tidak hanya mencakup perlindungan atas aset dan hak-hak investor, tetapi juga jaminan terhadap keberlanjutan usaha yang mereka lakukan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menyediakan kerangka hukum yang kuat dan transparan, yang mampu mengurangi risiko dan ketidakpastian bagi investor,” jelasnya.

Zenzia menambahkan, "Investor hanya akan menanamkan modal mereka dalam lingkungan yang stabil dan aman, di mana hak mereka dihormati dan dilindungi. Tanpa adanya kepastian hukum, investasi akan terhambat dan perekonomian akan kesulitan berkembang."

Keamanan investasi, kata Zenzia, tidak hanya melindungi investor secara individu, tetapi juga mendorong peningkatan investasi asing yang pada gilirannya dapat meningkatkan lapangan pekerjaan, memperbaiki infrastruktur, dan memperkuat perekonomian nasional. Selain itu, jaminan hukum juga dapat menarik investor yang mencari kestabilan untuk merencanakan investasi jangka panjang.

Topik Menarik