Rupiah Diproyeksi Lanjutkan Tren Pelemahan di 2025, Ini Alasannya

Rupiah Diproyeksi Lanjutkan Tren Pelemahan di 2025, Ini Alasannya

Ekonomi | inews | Kamis, 2 Januari 2025 - 20:52
share

JAKARTA, iNews.id - Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diproyeksi masih akan mengalami tren pelemahan di tahun 2025. Pergerakan rupiah tahun ini akan sangat dipengaruhi oleh keputusan pemangkasan suku bunga oleh The Fed.

“Pergerakan rupiah akan sangat dipengaruhi oleh The Fed dynamics, karena diproyeksikan The Fed hanya akan memangkas suku bunga acuan sebanyak dua kali di tahun ini,” ujar Senior Investment Information Mirae Asset Nafan Aji Gusta dikutip, Kamis (2/1/2025).

Nafan menambahkan, ekspansi kebijakan moneter The Fed di tahun ini disebut akan membuat pergerakan mata uang garuda dalam tren negatif. Rupiah berpotensi tertekan dari apresiasi US Dollar Index.

“Itu dari sisi kebijakan moneter The Fed ya. Belum lagi nanti adanya kebijakan-kebijakan dari Trump yang akan menimbulkan strong US Dollar,” katanya.

Analis Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto menuturkan, Bank Indonesia di tahun 2025 akan sangat berhati-hati dan tetap bergantung pada data dalam memutuskan arah kebijakan moneter. 

BI diperkirakan akan menjajaki kemungkinan penurunan suku bunga, hal itu dikarenakan ekonomi membutuhkan stimulus tambahan untuk mengatasi tantangan signifikan yang diantisipasi pada tahun ini. 

“Elemen-elemen lain dari bauran kebijakan BI, sejalan dengan pandangan kami, mempertahankan sikap pro-pertumbuhan,” ucap Rully.

Keputusan di masa depan akan sangat bergantung pada volatilitas Rupiah. Rully memperkirakan bank sentral akan memangkas suku bunga kebijakan sebesar 50 basis poin tahun ini menjadi 5,5 persen. 

Rully menjelaskan, dolar AS melonjak dan imbal hasil UST meningkat setelah The Fed memberi sinyal pemangkasan suku bunga di tahun 2025. Menanggapi keputusan The Fed dan sinyalnya mengenai arah kebijakan moneter di tahun 2025, pasar bereaksi negatif. 

Adapun, indeks dolar AS melonjak, melampaui level 108 untuk pertama kalinya sejak September 2022. Imbal hasil obligasi AS juga meningkat, dengan imbal hasil 2 tahun dan 10 tahun masing-masing naik 11 bps dan 11,5 bps menjadi 4,35 persen dan 4,51 persen. Hal tersebut didorong oleh meningkatnya ketidakpastian mengenai arah kebijakan moneter AS. 

Rully mengatakan, kontributor terbesar dari ketidakpastian ini adalah potensi dampak dari kebijakan ekonomi Donald Trump yang akan datang terhadap prospek inflasi AS di masa depan. 

“Kami percaya bahwa hal ini akan terus memberikan dampak yang besar terhadap pasar global dalam jangka pendek hingga menengah termasuk pasar Indonesia,” tuturnya.

Topik Menarik