Heboh Peternak Mandi Susu Protes Pembatasan Kuota, Amran Perintahkan Hal Ini
JAKARTA, iNews.id - Heboh di media sosial memperlihatkan puluhan peternak di Boyolali, Jawa Tengah mandi susu memprotes pembatasan kuota susu yang masuk ke pabrik atau industri pengolahan susu (IPS). Mereka terlihat membuang ribuan liter susu sapi dengan menyiram ke seluruh tubuh.
Merespons hal ini, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mewajibkan industri susu untuk menyerap susu dari peternak lokal. Ia meminta seluruh industri wajib menyerap susu peternak, kecuali susu memang mengalami kerusakan.
Ia meyakini kebijakan ini akan berdampak pada meningkatnya gairah para peternak sapi perah dalam berproduksi.
“Seluruh industri wajib menyerap susu peternak. Kami sudah sepakati, tandatangani, dan kirim surat ke dinas peternakan provinsi dan kabupaten untuk ditindaklanjuti,” ucap Amran dalam konferensi pers seusai pertemuan di kantor pusat Kementan, Jakarta pada Senin (11/11/2024) siang.
“Kami harapkan industri bersama pemerintah turun tangan untuk membina para peternak dan membantu meningkatkan kualitas susu dalam negeri. Ini sesuai dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang meminta pemerintah untuk hadir di tengah, industri dan peternak harus bisa tumbuh bersama,” tutur dia.
Amran menegaskan bahwa Kementan akan melakukan evaluasi ketat terhadap pelaksanaan kebijakan ini. Untuk sementara, lima perusahaan pengolahan susu ditahan izin impornya untuk memastikan mereka memenuhi kewajiban menyerap produksi peternak.
“Saya yakin industri akan mematuhi kebijakan dari kami. Tapi jika mereka menolak, kami akan cabut izin impor mereka selamanya. Ini ketegasan kami dari pemerintah untuk melindungi peternak,” ujar Amran.
Sebagai informasi, kebijakan Kementan tersebut akan diikuti oleh Peraturan Presiden (Perpres) yang mewajibkan industri menyerap produksi susu dalam negeri. Aturan ini diharapkan dapat membalikkan kebijakan yang berlaku sejak krisis ekonomi tahun 1997/1998.
Waktu itu, Inpres No 2 Tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional yang dicabut pada awal 1998 karena mengikuti letter of intent antara Pemerintah RI dengan IMF. Sejak saat itu, ketergantungan pada impor meningkat drastis, dari 40 persen pada 1997 menjadi 80 persen saat ini.